Ariana Laurent berdiri di depan cermin besar di kamar hotel mewah, mengenakan gaun pengantin putih yang terasa lebih seperti belenggu daripada sebuah impian.
Jari-jarinya gemetar saat menyentuh renda halus di sepanjang lengannya. Gaun ini sempurna—terbuat dari satin mahal dengan bordiran mutiara yang berkilauan di bawah lampu kristal. Tapi tidak ada yang terasa sempurna dalam pernikahan ini.
Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi seorang wanita. Namun baginya, ini adalah hukuman.
Dia melihat bayangannya di cermin—seorang gadis dengan mata cokelat keemasan yang dipenuhi kecemasan, bibirnya pucat, dan rambut panjang bergelombang yang ditata dengan anggun, seolah dia benar-benar pengantin yang bahagia. Tapi hanya dia yang tahu betapa kosongnya hatinya saat ini.
Pintu kamar terbuka pelan. Sophie Laurent, kakaknya, masuk dengan langkah anggun yang selalu penuh percaya diri.
“Aku tidak percaya kau benar-benar akan menikah dengan Leonardo Devereaux,” kata Sophie dengan senyum miring.
Ariana menoleh, menatap kakaknya melalui cermin. “Seolah aku punya pilihan lain.”
Sophie mendekat, menyentuh kain gaun Ariana dengan ujung jarinya. “Kau beruntung, Ariana. Tidak semua wanita bisa menikahi miliarder tampan. Banyak orang membunuh untuk mendapatkan kesempatan seperti ini.”
Ariana mengepalkan jemarinya, menahan emosi yang bergejolak di dadanya. “Menjadi alat transaksi bisnis bukanlah keberuntungan, Sophie. Aku menikah bukan karena cinta, tapi karena Ayah menandatangani kesepakatan yang tidak bisa aku tolak.”
Sophie tertawa pelan, lalu berbisik di telinganya, “Permainan ini jauh lebih besar dari yang kau pikirkan, Ariana. Kau pikir ini hanya tentang bisnis? Percayalah, kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Sebelum Ariana bisa bertanya, seorang pelayan mengetuk pintu. “Nona Laurent, waktunya.”
Ariana menelan ludah. Inilah saatnya.
Dengan langkah berat, dia keluar dari kamar, berjalan melewati koridor panjang menuju ballroom tempat pernikahan akan berlangsung. Dunia yang selama ini dia kenal akan segera berubah.
Di sisi lain ruangan megah itu, Leonardo Devereaux berdiri tegap di altar, menunggu dengan ekspresi dingin yang tak terbaca.
Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, dengan dasi sutra yang melingkar di lehernya. Matanya tajam dan dingin seperti es, seolah dia adalah raja yang baru saja mempersiapkan dirinya untuk menandatangani perjanjian perang, bukan pernikahan.
Xavier Callahan, pria yang selalu menjadi saingan beratnya, berdiri di samping, menatapnya dengan seringai penuh arti.
“Menikah dengan seorang gadis biasa? Itu bukan gayamu, Leonardo,” ujarnya dengan nada mengejek.
Leonardo tidak menoleh. Wajahnya tetap dingin, tetapi rahangnya mengeras. “Bukan urusanmu.”
Xavier tertawa kecil. “Ah, tapi itu menarik, bukan? Kau, yang terkenal tak tersentuh, tiba-tiba menikah dengan gadis sederhana yang bahkan bukan bagian dari dunia kita. Kau yakin dia bukan kelemahanmu?”
Leonardo menatap Xavier dengan pandangan tajam yang bisa menusuk siapa pun yang berani menantangnya. “Kau terlalu banyak bicara.”
Xavier mengangkat bahu. “Aku hanya memperingatkanmu, Leo. Jangan sampai pion yang kau remehkan berubah menjadi ratu… dan menggulingkan raja.”
Leonardo tidak menjawab. Pandangannya tetap lurus, tepat saat pintu ballroom terbuka.
Ariana melangkah masuk.
Ruangan yang luas dan megah itu langsung hening saat semua mata tertuju padanya. Para tamu yang berasal dari kalangan elit berbisik di antara mereka, memandangnya dengan berbagai ekspresi—ada yang kagum, ada yang iri, ada pula yang menatapnya seolah dia hanyalah wanita biasa yang beruntung bisa menikahi pria seperti Leonardo.
Dia bisa merasakan tatapan tajam dari para wanita sosialita yang merasa dirinya tidak pantas berada di sini. Ariana menegakkan punggungnya, berusaha menampilkan keberanian yang sebenarnya tidak ia rasakan.
Tapi saat matanya bertemu dengan Leonardo, napasnya tertahan.
Pria itu menatapnya tanpa ekspresi. Matanya gelap, nyaris seperti lubang hitam yang sulit diterjemahkan. Dia tidak tersenyum, tidak menunjukkan tanda-tanda emosi.
Apakah dia juga merasa terjebak dalam pernikahan ini?
Ariana terus melangkah, meski lututnya hampir lemas. Saat ia akhirnya berdiri di samping Leonardo, hawa dingin dari pria itu terasa menusuk hingga ke tulangnya.
Pendeta berdiri di depan mereka, mulai membacakan janji pernikahan.
“Ariana Laurent, apakah Anda bersedia menikahi Leonardo Devereaux?”
Ariana menutup mata sesaat, menahan gejolak yang berkecamuk di hatinya. Apakah dia bersedia?
Tidak.
Tidak pernah.
Tapi ini bukan tentang apa yang dia inginkan. Ini tentang apa yang harus dia lakukan.
Dengan napas tertahan, ia membuka mata dan berkata dengan suara pelan namun tegas, “Ya, saya bersedia.”
Dia merasakan tatapan Leonardo yang tetap tak terbaca, tetapi pria itu menjawab dengan suara rendah yang menusuk, “Saya bersedia.”
Detik berikutnya, sebuah cincin dingin melingkar di jarinya.
Dan saat bibir Leonardo menyentuh punggung tangannya sebagai formalitas, Ariana tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.