Ariana duduk diam di dalam limusin hitam yang melaju cepat menembus malam kota New York. Gaun pengantinnya yang mewah kini terasa seperti beban berat yang menekan dadanya. Ia melirik ke samping, ke arah pria yang kini resmi menjadi suaminya—Leonardo Devereaux.
Pria itu duduk dengan tenang, jas hitamnya masih rapi tanpa sedikit pun kerutan, dasi sutra biru gelap terikat sempurna di lehernya. Wajahnya tetap dingin, tatapan matanya lurus ke depan, seolah pernikahan yang baru saja terjadi bukanlah hal yang perlu ia pikirkan.
Keheningan yang menyesakkan memenuhi ruang limusin.
Ariana menggigit bibirnya, tangannya mengepal di atas pahanya. Haruskah dia mengatakan sesuatu?
Tapi sebelum dia sempat membuka mulut, Leonardo berbicara lebih dulu.
“Mulai sekarang, kau akan tinggal di penthouseku,” katanya tanpa menoleh, suaranya rendah dan penuh wibawa. “Ada beberapa aturan yang harus kau patuhi.”
Ariana mengerutkan kening. “Aturan?”
Leonardo akhirnya menoleh, mata hitamnya menusuk seperti belati.
“Pernikahan ini adalah kesepakatan. Aku tidak ingin masalah, dan aku yakin kau juga tidak,” katanya, nada suaranya begitu dingin hingga membuat Ariana menggigil. “Jadi, dengarkan baik-baik.”
Dia mengangkat jarinya, menghitung aturan yang akan dia tetapkan.
“Pertama, kita akan menjalani kehidupan pernikahan ini di depan publik, tapi di balik pintu tertutup, kita adalah orang asing.”
Ariana mengepalkan tangannya lebih erat, tapi dia tidak menyela.
Leonardo melanjutkan. “Kedua, tidak ada pertanyaan. Kau tidak bertanya tentang urusanku, dan aku tidak akan bertanya tentang urusanmu.”
Ariana ingin tertawa sinis. Sejak awal, dia memang tidak ingin menikah dengannya, jadi aturan ini terdengar seperti berkah.
“Ketiga,” Leonardo menatapnya lebih tajam. “Jangan pernah mencoba mencari tahu tentang masa laluku.”
Ariana menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kuduknya berdiri. Seolah, di balik ketenangan pria ini, ada sesuatu yang gelap.
Limusin berhenti di depan gedung pencakar langit Devereaux Tower—salah satu bangunan paling megah di kota ini. Leonardo keluar lebih dulu, kemudian berjalan ke sisi lain dan membuka pintu untuknya.
Dia menjulurkan tangan, memberi isyarat agar Ariana turun.
Untuk sesaat, Ariana ragu. Ada sesuatu dalam sikap Leonardo yang membingungkan—dia dingin, tetapi juga penuh kontrol. Dia tidak terlihat seperti pria yang bisa didekati, tapi juga bukan pria yang kejam.
Dengan hati-hati, Ariana menyambut uluran tangannya dan turun. Begitu kakinya menyentuh lantai marmer di depan gedung, Leonardo langsung menarik tangannya kembali, seolah sentuhan mereka tadi tidak berarti apa-apa.
Tanpa sepatah kata pun, pria itu melangkah masuk, meninggalkan Ariana yang terdiam sejenak sebelum akhirnya mengikutinya.
Selamat datang di dunia barumu, Ariana.
Penthouse Leonardo berada di lantai teratas gedung Devereaux Tower.
Begitu pintu lift terbuka, Ariana langsung disambut oleh interior yang begitu mewah dan luas. Dinding kaca raksasa mengelilingi ruangan, memberikan pemandangan kota yang berkilauan di bawah langit malam.
Semuanya tampak sempurna—sofa kulit mahal, meja kayu mahoni berukiran elegan, lukisan-lukisan seniman terkenal menggantung di dinding. Tapi ada satu hal yang langsung disadari Ariana.
Tidak ada kehangatan di tempat ini.
Segalanya terlalu bersih, terlalu teratur, seolah tempat ini lebih mirip museum daripada rumah.
Leonardo melepas jasnya, meletakkannya di sofa, lalu menatap Ariana sekilas. “Kamar tidurmu di sebelah kiri. Aku akan meminta seseorang mengantarkan barang-barangmu besok.”
Ariana mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Dia menunggu pria itu mengatakan sesuatu lagi, mungkin ucapan selamat malam atau apa pun. Tapi Leonardo hanya menatapnya sebentar sebelum berbalik dan berjalan menuju ruang kerjanya, menghilang di balik pintu tanpa menoleh lagi.
Ariana menghela napas panjang.
Jadi, seperti inikah pernikahannya?
Malam itu, Ariana tidak bisa tidur.
Dia duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap langit malam melalui jendela besar di kamarnya. Begitu banyak hal yang terjadi dalam waktu singkat.
Dua hari yang lalu, dia masih seorang wanita biasa yang berusaha menyelamatkan keluarganya dari kebangkrutan. Kini, dia adalah istri seorang miliarder—tetapi tidak ada cinta di antara mereka, hanya kesepakatan yang dingin dan tanpa emosi.
Siapa sebenarnya Leonardo Devereaux?
Dia tahu pria itu kaya, berkuasa, dan terkenal dingin dalam dunia bisnis. Tapi ada sesuatu tentang dirinya yang terasa... misterius. Seolah, dia menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin diketahui siapa pun.
Ariana menggigit bibirnya, mencoba mengusir rasa penasaran yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Tapi sebelum dia bisa lebih jauh berpikir, pintu kamarnya diketuk.
Ariana bangkit, membuka pintu, dan terkejut melihat Leonardo berdiri di sana.
Pria itu masih mengenakan kemeja putihnya, lengannya tergulung hingga ke siku, memperlihatkan lengan kuatnya. Rambutnya sedikit berantakan, dan ekspresinya tampak lebih santai dibanding sebelumnya.
“Kenapa belum tidur?” tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dibanding sebelumnya.
Ariana sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku… hanya belum mengantuk.”
Leonardo menghela napas, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. “Besok ada acara makan malam bersama beberapa rekan bisnis. Kau harus bersiap.”
Ariana mengerutkan kening. “Aku harus ikut?”
Leonardo menatapnya tajam. “Kau adalah istriku sekarang, Ariana. Semua orang akan mengawasi kita.”
Ariana terdiam.
Dia ingin membalas, mengatakan bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan dan dia tidak seharusnya terlibat dalam dunia Leonardo. Tapi dia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan pria ini.
Jadi, dia hanya mengangguk. “Baiklah.”
Leonardo memandangnya sejenak, lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia berbalik dan berjalan pergi.
Ariana menutup pintu, menghela napas panjang.
Hari pertama pernikahan ini sudah cukup melelahkan, dan besok akan ada lebih banyak hal yang harus dihadapinya.
Satu hal yang dia tahu pasti—suaminya adalah pria yang penuh misteri, dan dia tidak yakin apakah dia bisa bertahan dalam dunia yang begitu dingin ini.