Setelah kejadian teror yang dialami Karen dan Lani semuanya berubah dengan cepat. Kematian Mila yang masih terus diselediki, Santos yang mulai mengintai kegiatan sehari-hari sikembar, dan juga Rossi yang kini sudah tak dibully oleh Karen maupun Lani membuat Kirana menghela nafas lega namun juga sedikit cemas karena mengingat tuduhan yang tersemat dinama Rossi sebagai tersangka yang membunuh Mila.
Rossa yang mengetahui bahwa kegiatannya selalu diawasi oleh Santos menggeram kesal karena merasa terganggu. Tentu saja Rossa yang memang penyendiri tak suka urusannya dicampuri oleh orang lain merasa terganggu dengan ulah Santos.
"Bagaimana rasanya kau mendapatkan penggemar rahasia sepupu?" ejek Mala yang dibalas dengusan tak suka Rossa yang mengerti kearah mana pertanyaan itu. Sedangkan Rossi hanya memandang kedua nya bingung.
"Menyebalkan" desis Rossa yang mengundang gelak tawa Mala, dan itu membuat Rossi lagi-lagi terlihat bingung dengan arah pembicaraan kedua saudaranya itu.
"Haha... maka nikmatilah. Oh ya, saat aku pergi ke supermarket aku bertemu dengan seseorang yang sepantaran dengan kalian. Kalau tak salah namanya Azka, ya Azka. Apa teman dari kalian" tanya Mala yang diangguki Rossi.
"Lebih tepatnya teman kak Oca" tambah Rossi membuat Mala mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
"Dia tampan, ngomong-ngomong" puji Mala membuat Rossa mendengus malas dan Rossi yang menggangguk menyetujui ucapan Mala.
"Dia bodoh" timpal Rossa yang mendapat delikan tajam dari keduanya. Reaksi Rossa? Dia hanya menampilkan wajah masa bodonya dan merasa tak terganggu dengan tatapan mereka berdua.
"Aku disini" sahut suara bass yang membuat ketiga gadis itu menatap kearah depan dimana asal suara itu berada dan juga orang yang mereka bicarakan. Dan itu membuat Rossi bingung, entah kebetulan atau apa setiap mereka membahas Azka, maka secara tiba-tiba dia selalu berada disekitar mereka. Semacam jin, jika kita memanggil namanya maka dia akan langsung hadir, menakjubkan sekaligus mengerikan.
"Waw... waw... darimana kau masuk? Dan juga siapa yang mengizinkanmu masuk? Bukankah pintu rumah terkunci?" Mala memberondong Azka dengan pertanyaan yang memang membuat Rossi penasaran, Rossa masih anteng dengan kediamannya bahkan tak merasa kaget dengan ulah Azka.
"Jendela" beberapa pertanyaan dan hanya satu kata yang Azka keluarkan sebagai jawaban membuat Mala dan Rossi bingung, sedangkan Rossa mengangguk kecil entah sebagai persetujuan atau apa.
"Oh.... silahkan duduk kak" ujar Rossi dan tanpa dua kali perintah Azka langsung duduk dihadapan mereka bertiga.
"Mau kubuatkan minum?" tawar Rossi dan tanpa persetujuan langsung meninggalkan mereka bertiga dengan keheningan yang melanda. Bahkan Mala yang selalu cerewet dan ceriwis pun ikut diam dan mengubah ekspresinya menjadi datar seperti Rossa dan Azka.
"Bagaimana?" Mala mulai membuka suara dan bertanya kepada Azka dan Rossa. Azka hanya menggedikan bahunya sedangkan Rossa masih diam tak berbicara.
"Masih tahap rencana" setelah sekian lama menghening Rossa membuka suaranya, yang langsung mendapatkan tatapan tak percaya dari Azka dan Mala.
"Rencana? Kau bilang akan secepatnya. Kau benar-benar plin plan. Pasalnya mereka mulai bergerak Rossa ku sayang" gemas Mala yang hanya ditatap datar oleh Rossa.
"Aku masih mencoba" balas Rossa yang diangguki Azka. Mala hanya menghela nafas mendengar dan memikirkan semua ini.
"Jika dia tertangkap?" kini giliran Azka yang bertanya meski tak merubah ekspresinya.
"Akan aku bebaskan" jawab Rossa mantap tanpa ragu sedikitpun.
"Jika dilepaskan?" Mala ikut bertanya membuat Rossa diam sebentar menimbang jawabannya.
"Itu tak akan pernah terjadi" Rossa mengucapkan itu dengan nada yang amat sangat dingin.
"Aku akan bantu" timpal Azka dan disetujui Mala. Dan mereka bertigapun mulai mengeluarkan seringaian andalan mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
****
Sedangkan dilain tempat, Santos tengah meremas rambutnya frustasi setelah sore ini mendapatkan sebuah kotak yang isinya tangan manusia berlumuran darah tengah menggenggam surat. Dan isi surat itulah yang membuat Santos frustasi, inti dalam surat itu adalah ancaman untuk menghentikan suruhannya supaya tidak memata-matai dirinya atau Santos akan mulai kehilangan orang-orang yang berada disekililingnya satu persatu.
Dan itu sudah dimulai, tangan itu milik salah satu orang suruhannya untuk membuntuti sikembar. Dia tahu karena temannya menemukan rekannya sudah tak bernyawa dengan tangan yang terpotong didepan kantor mereka tadi.
"Siapa yang melakukannya? Bahkan aku tak menemukan sidik jari ditubuh ataupun kotak ini" kesal Santos pusing sendiri memikirkan semua ini. Ini merupakan kasus yang sama pada tahun kemarin, yang membedakan pembunuh ini amat sangat cerdik hingga pihak kepolisian tidak bisa menemukan pelakunya bahkan ia sudah menggerakan banyak anggotanya tapi tetap saja ia tak bisa menemukannya. Jangankan pelakunya, buktinya pun ia tak menemukannya.
Tuduhan pada sikembar patah saat rekannya bilang semua kegiatannya normal seperti yang lainnya, tapi saat membaca surat itu tuduhannya kembali mencuat. Tapi ia yakin bahkan amat sangat yakin, tak ada yang mengetahui bahwa mereka mengintai sikembar. Pertanyaannya, siapa yang menerornya? Rekannya terbunuh sore tadi sedangkan sikembar sore itu tak pergi kemana-kemana. Jadi pelakunya orang lain bukan sikembarkan? Entahlah Santos sangat pusing memikirkan ini semua.
Tak jauh berbeda dengan keadaan Santos, Kirana kini sedang mendekam didalam kamarnya karena kejadian sore tadi yang tak sengaja ia lihat. Kejadian yang sampai sekarang selalu membayanginya, ia melihat orang itu membunuh dan memotong tangan seseorang tanpa belas kasih. Namun sangat disayangkan, Kirana tak sempat melihat wajahnya karena pembunuh itu membelakangi dirinya dan juga ia langsung lari karena ketakutan dan mual melihat darah.
"Aku seperti mengenal dirinya, tapi aku ragu" gumam Kirana pada dirinya sendiri dambil memeluk kedua lututnya.
"Bayangan ini kenapa terus berputar sih? Dan aku bingung apa aku harus melaporkan kepada pihak berwajib atau aku simpan sendiri?" kembali Kirana bergumam namun nada cemas terselip didalamnya. Karena ia takut mengambil jalan yang akan berakhir nyawanya dalam bahaya.
"Tapi...."
Belum sempat Kirana menyelesaikan argumenya, ponselnya berdenting menandakan sebuah pesan masuk dan saat melihat pengirimnya alis Kirana mengerut karena ia tak mengetahui nomornya. Penasaran Kirana membuka pesan itu.
From :0831xxxxxxxxx
"Kau akan mati!! Apapun itu pilihamu!! Ayo bermain."
Tanpa pikir panjang Kirana langsung melempar ponselnya dan beringsut takut setelah membaca pesan itu.
"Kenapa, kenapa aku haus keluar sore ini hingga berakhir seperti ini? Kenapa?? Aku takut ibu... aku takut!! Aku tak bersalah tapi nyawaku terancam" racau Kirana sambil menangis ketakutan dan tubuh yang bergetar hebat. Ia pusing harus melakukan apa, benar-benar sangat bingung. Kirana merasakan apa yang pernah Lani dan Karen alami.
"Sudah kubilang aku akan menyingkirkan semua hambatan yang menghalangiku kan" gumam orang itu sambil meneguk air mineralnya dengan santai sebelum berlalu karena ia pergi terlalu lama.
Kembali kerumah sikembar, yang hanya Azka seorang diri dengan ponsel yang ia genggam dan sesekali tersenyum sinis. Rossa? Ia menyusul adiknya yang sangat lama mengambil air minum yang ternyata habis dan terpaksa membeli keluar rumah. Dan Mala? ia baru saja keluar dari kamar mandi karena haus yang menderanya tapi Rossi dan Rossa masih belum kembali.
"Kenapa mereka lama sekali" gumam Mala sambil mengantongi ponselnya setelah tadi ia mengetikan sesuatu yang entah apa. Azka yang mendengar hanya menatap datar Mala dan kembali fokus pada ponselnya.
"Tadi ada sesuatu yang tertinggal" sahut Rossi yang menenteng kantong plastik hitam yang berisi air minum. Sedangkan Rossa membuntutinya dari belakang dengan botol air ditangan kanannya.
"Oh" Azka beroh ria dan mengambil air minum itu lalu meneguknya dengan cepat.
Rossa, Rossi dan Mala hanya diam sambil termenung dengan pikiran masing-masing. Namun saat Rossi pamit untuk pergi kekamar, sebuah benda berdenting jatuh kekeramik khas seperti suara logam berat yang terjatuh.
"Pisau?" Mala bertanya dan menatap benda yang ternyata pisau kepada Rossi, yang diam mematung dengan pandangan fokus kearah pisau itu. Sedangkan Rossa hanya berdiam diri bertukar pandang dengan Azka yang menyeringai tanpa Rossi dan Mala ketahui.
"Siapa yang membawa pisau ini? Gak ada kerjaan sama sekali" sahut Mala sambil berjongkok untuk mengambil pisau itu dan saat tangannya menyentuh pisau Mala tersenyum bak iblis tanpa disadari seseorang.
"Begitu?" Rossa angkat suara dengan mata yang menatap Rossi dan Mala secara bergantian dengan wajah ramahnya. Percayalah, lebih menyeramkan Rossa dengan wajah ramah dibanding dengan wajah yang dingin dan datar yang selalu ia perhatikan. Dan kini semua pandangan tertuju pada satu benda yaitu pisau. Entah apa yang dilakukannya hingga pisau itu bisa berada diruangan ini. Hanya Tuhan dan dirinyalah yang tahu.