Bab 5

1056 Words
"Lari, Nissa! Lari!" Aku bingung, berlari dari apa? Meski demikian, kaki ini tetap mengikuti instruksi dari suara yang entah milik siapa. Tidak ada tujuan, tidak ada arah. Hanya kegelapan yang terlihat. Entah langkah ke berapa, kaki ini salah menginjak. Jalan yang licin membuat tubuhku goyah ke depan. Aku memekik keras saat menghantam sesuatu. "Aw ... Nissa!" Aku membuka mata. Jantungku terasa melompat dari tempatnya saat menemukan wajah Adit tepat di depanku. "Turun, Nissa! Kamu berat!" Aku tersentak oleh ucapannya, lalu beringsut menjauh dengan rasa gugup yang melanda. "Kamu kenapa tidur di lantai, sih?" Aku berbicara dengan nada kesal, untuk menyembunyikan malu yang kurasa. Adit berdecak pelan. "Kamu kan lagi sakit. Ya saya jagain." "Nggak harus di lantai juga, kan, tidurnya?" "Terus kamu mau saya tidur di mana, Nissa? Di sampingmu?" tutur Adit, yang membuatku kembali tersentak oleh kenyataan. Ah, dia tidak akan mau tidur bersamaku. "Kenapa bangun tengah malam?" Adit melarikan pandangannya ke arah jam weker. "Mimpi ...." "Buruk?" Adit melanjutkan ucapanku yang terhenti. Entah apa nama mimpi itu. Buruk atau apa? Semuanya kurang jelas. Aku menggaruk kepala dengan pelan sambil meringis. Eh, kepala? Aku memeriksa rambut yang terbuka begitu saja. "Adit, apa ini?" Aku berteriak, sambil buru-buru menutupi seluruh tubuh dengan selimut yang melilit sedari tadi. "Kamu sakit, Nissa. Kamu tidak ingat kejadian tadi?" Kejadian tadi? Apa? Aku memutar otak untuk mencari memori yang bersangkutan dengan kejadian tadi. Hanya ada bayangan aku berada di tempat gelap sambil memandangi jalanan yang dilewati Adit. "Apa? Yang kamu tinggalin aku sendiri di pinggir jalan itu?" Aku rasanya ingin menghajar lelaki yang satu ini. Tega-teganya meninggalkanku sendiri di tempat yang sama sekali tidak kukenali. "Maaf tentang itu. Tapi bukan yang itu, Nissa. Kamu lupa ... semalam?" Adit memelankan suaranya di akhir kalimat. "Apa semalam?" Aku balik bertanya, benar-benar bingung dengan dengan teka-teki yang ia berikan. "Bukan apa-apa. Syukurlah kalau kamu tidak ingat." "Memangnya apa? Jangan membuatku penasaran, Adit!" "Bukan apa-apa. Kamu sudah baikan?" Adit menarik paksa selimut yang kugunakan hingga turun ke leher. Sekuat apapun dipertahankan, tetap lelaki ini yang menang. "Tidak sepucat tadi. Kamu mau lanjutin tidur, atau makan dulu? Kamu belum makan sejak tadi sore," tawar Adit. Aku melirik jam sekilas. Masih ada waktu untuk salat tahajud. "Mau sholat." "Sholat? Kamu nggak kedinginan lagi?" Aku menggeleng pelan. "Sedikit." "Oke. Ayo!" Adit berdiri terlebih dahulu. Aku baru menyadari jika ia hanya mengenakan baju kaus putih tipis dan celana pendek selutut. Tangannya yang terasa lembab menarikku dengan lembut. "Saya panaskan air dulu buat kamu. Kamu siapin alat sholatnya. Kita sholat bareng." "Bareng?" Aku mengulang kata terakhir yang ia ucapkan dengan nada tidak percaya. "Ya. Sebagai imam kamu. Tidak boleh?" Aku tersenyum, merasakan letupan-letupan halus di dalam d**a. Kepalaku mengangguk antusias. "Boleh." ***** Memutar-mutar ponsel di atas meja adalah kegiatan yang kulakukan sedari tadi. Sangat membosankan, membuatku lelah sendiri. Adit bolak-balik masuk dapur dan ruang makan. Dengan telaten, ia menghidangkan semuanya dengan rapi. Hari ini, dia tidak berangkat bekerja karena keadaanku yang katanya sakit. Padahal, aku sedikit pun tidak merasakan sakit. "Adit ... aku gerah!" Ini juga yang menjadi biang kekesalan; jaket tebal yang menutupi tubuh. Entah kesambet apa lelaki ini hingga begitu over protective padaku. Adit menatapku sejenak. Ia sudah duduk dengan baik di kursi depanku. "Nggak dingin lagi?" "Adit, ini ada apa, sih? Aku makin penasaran. Emang semalam ada apa?" Adit memalingkan wajahnya, terlihat sedikit memerah. Mungkin penglihatanku yang sedikit salah. Tidak mungkin warna wajahnya itu disebabkan oleh malu, kan? "Bukan apa-apa, Nissa." "Dari semalam kamu bilangnya 'bukan apa-apa, bukan apa-apa'. Aku yakin, pasti ada apa-apa." Kali ini, butuh sedikit paksaan agar dia mau mengakui apa yang sebenarnya terjadi. "Sudah, Nissa. Jangan bahas itu. Sekarang makan ini. Nanti saya masih harus jemput Naura dari rumah sakit." "Adit ...." Aku memanyunkan bibir, merujuk karena sikapnya itu. "Nissa ...." Hening sejenak. Matanya lurus padaku. "Kamu tidak perlu tahu. Karena itu hanya akan membuatmu membenci saya." "Jangan-jangan kamu ...." Aku mendelik, sambil menempelkan tangan di depan d**a. "Jangan berpikiran aneh, Nissa." Adit menyendok makanan ke dalam mulutnya dengan begitu teratur. Seolah semuanya harus diperhitungkan. Wajahnya enggan mengarah padaku. Aku terkekeh pelan, menertawakan pikiranku barusan. Adit saja mungkin jijik padaku, hingga enggan kami sekamar. Tidak mungkin dia melakukan hal yang aneh. "Adit ... kamu sejak kapan pinter jadi tukang masak?" Aku bertanya setelah memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut. Tangan Adit yang memegang sendok berhenti di udara. "Tidak ada sebutan yang lebih bagus dari tukang masak? Saya merasa seperti pembantu, Nissa." "Terus apa?" Aku menggaruk ujung alis. Memang kan, sebutan untuk orang yang sering masak adalah 'tukang masak'? "Chef, koki, dan lainnya." "Bagusan tukang masak, lebih Indonesia." "Terserah kamu saja, Nissa." Adit melanjutkan makannya yang sempat tertunda. "Jadi sejak kapan kamu pintar masak seenak ini?" Aku mengulang pertanyaan lagi. "Senak kecil. Saya hidup bersama paman dan bibi yang tinggal di kota ini. Bekerja, sekaligus sekolah. Setelah paman dan bibi meninggal karena kecelakaan, saya benar-benar harus mandiri. Saat itu, saya baru lulus SMP." Aku membulatkan bibir setelah mendengar penuturannya. Ternyata, hidup Adit tidak semulus yang kukira. "Adit, kalau kamu berangkat kerja, sisain kerjaan buat aku. Aku bosen di rumah nggak ngerjain apa-apa. Emang kamu nggak capek apa, jadi tukang nyapu, tukang ngepel, tukang ...." "Saat kamu bilang 'tukang', saya semakin merasa seperti pembantu, Nissa." Adit diam sejenak. "Kamu tahu kegiatan Rasulullah di rumah, Nissa? Beliau membantu istrinya mengurus rumah, mencuci piring, menjahit pakaian sendiri. Tidak ingin membuat repot istrinya." Apa karena itu yang menjadi alasan Adit melakukan ini semua? Aku tidak tahu jika ia se-sholeh ini. Namun, kenapa dia melakukan permainan ini jika menganggap Rasulullah sebagai panutan hidup? "Adit ...." "Makan, Nissa. Atau saya kurung kamu di kamar." "Terima kasih, sudah mau peduli sama aku," ucapku tulus. Jujur, meski kurang nyaman, tetapi sikapnya seharian ini tak hentinya membuat jantungku berdebar-debar, merasa begitu damai atas semua perhatian yang ia berikan. "Ya." Ternyata, dia belum berubah. "Nissa ...." Aku menyendokkan nasi ke dalam mulut saat panggilannya terdengar. Kepala cukup mendongak untuk menanti ucapannya. "Kamu punya penyakit?" tanyanya dengan hati-hati. "InshaaAllah, tidak," jawabku setengah yakin. Jujur, selama ini aku jarang memeriksakan diri ke rumah sakit. Uang ongkos ke rumah sakit dan biaya perawatan bisa ditabung untuk keperluan penting lainnya. Meski harus menahan sakit ketika rasa dingin menyerang. "Baguslah." Adit mengalihkan wajahnya. Untuk selanjutnya, keheningan mengambil alih suasana. Entahlah, tapi ... aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini. Tapi ... apa? *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD