Bab 4

3108 Words
"Nissa ...." Aku mendongak menatap lelaki yang baru saja menyebut namaku dengan nada ragu. Alisku mengerut. Kenapa Adit terlihat bingung? "Ada apa?" Aku menanyakan maksudnya karena ia tidak kunjung melanjutkan ucapannya. "Kamu bisa jaga Naura? Mungkin saya pulang agak larut nanti." Hanya menjaga adiknya ternyata. "Bisa." "Terima kasih." Senyuman lembut tercipta dari bibirnya, membuatku takjub beberapa saat. Hanya mengingat pesan Adit inilah, aku memaksakan diri tetap setia duduk di ruang keluarga. "Ganti lagi, Kak. Jelek!" Aku patuh pada perintah wanita cantik yang sedang duduk di sampingku ini. Memencet remote dan mengganti channel TV adalah kegiatanku sedari tadi. Dia terlihat begitu bosan, sama sepertiku yang bosan karena tidak bisa menonton dengan baik. "Nggak ada yang bagus. Bosen jadinya!" Ia menempelkan punggungnya di sandaran sofa. Matanya bergerak-gerak memperhatikan langit-langit ruang keluarga. "Jadi kamu mau apa?" tanyaku mencoba mencari tahu. Adit sudah menyerahkan kepercayaan padaku untuk menjaga adik bungsunya ini. "Mmm ...," Naura menggumam seolah berpikir. "Masakan Umi," lanjutnya lirih. Kasihan melihatnya. Dia pasti merindukan ibunya. Untuk menenangkannya, aku mengusap lengannya lembut. "Sabar." "Iya, Kak," jawabnya. "Aku ke dapur dulu, ya? Ambil minum." Tubuh mungilnya menjulang tinggi. "Biar aku aja." Aku ikut berdiri hendak mendahuluinya menuju dapur. Namun, ia menahan tanganku sambil tersenyum. "Aku aja. Nggak papa, kok." "Baiklah." Aku mengalah dan membiarkannya. Toh dia cuman ke dapur, bukan ke laut. Segera aku menonton film kesukaanku. Sejak tadi, Naura tidak mengizinkanku menonton. Lama. Kenapa Naura belum kembali? Mungkin sedang makan. Karena dia memang doyan makan. Katanya, faktor ibu hamil. Jadi aku tetap diam menonton televisi. Lama. Kulirik jam putih yang menempel di dinding. Ini sudah lebih dari 30 menit, kenapa belum datang juga? Rasa khawatir mulai merayap menyentuh hati. Aku berdiri hendak mengecek keadaan Naura di dapur. Baru beberapa langkah, terdengar teriakan dari ruang makan. Aku berlari. "Naura ...," gumamku saat melihat gadis berwajah pucat itu kini berbaring di lantai dalam pelukan Adit. "Kamu ke mana saja, hah? Saya sudah nyuruh kamu buat jagain Naura! Apa kerjaan kamu?" Nyaliku menciut seketika mendengar bentakan itu. Sesuatu tak kasat mata seolah meremas jantungku di dalam sana. Sakit, tetapi tidak terlihat. Kepalaku hanya menunduk ketika Adit menggendong Naura lalu melewatiku begitu saja. "Semoga dia baik-baik saja," gumamku cemas. ***** Mungkin karena kebiasaan, aku terbangun saat menjelang salat subuh tanpa alarm atau karena azan. Dengan sisa kesadaran yang ada, aku memerhatikan seisi penjuru ruangan yang kutempati. Putih gading. Terasa asing bagiku. Jelas ini bukan kamar yang selalu menjadi tempatku menyendiri, atau ruang keluarga yang terakhir kali kuingat sebelum kehilangan kesadaran karena tertidur. Di sudut ruangan, ada dua rak berukuran cukup besar yang terdiri lima susun. Keduanya dipenuhi oleh puluhan, bahkan mungkin ratusan buku. Menatapnya saja membuat kepala ini pening, apalagi membacanya. Aku menunduk, mengecek pakaian. Lengkap. Hanya jilbab abu-abu yang menutupi kepala yang sedikit berantakan. Suara derit pintu terdengar. Aku mendongak ke arah lelaki yang keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Aku memalingkan wajah secara refleks. "Sudah siuman, heh?" Aku mendengkus kesal mendengar ucapannya. Masih dengan wajah yang menatap ke arah jendela yang tertutup rapat, aku berujar, "Kenapa bawa aku ke sini?" Aku tidak terlalu yakin, tapi kemungkinan ini kamar Adit. "Kamar kamu terkunci. Saya tidak punya cadangannya. Kamu saya bangunin tidak nyahut, saya kira pingsan. Ya, bawa ke sini saja." "Kenapa nggak biarin aku di ruang keluarga aja?" Penjelasannya itu terasa tidak masuk akal. Bilang saja mau modus! Mengucapkan 'ruang keluarga' aku teringat saat sedang menunggu kedatangan Adit dan Naura. "Gimana keadaan Naura?" Aku melirik takut-takut ke arah Adit. Aku mengembuskan napas lega setelah melihatnya sudah mengenakan baju. "Cuman kecapean. Dia di rumah sakit. Perlu banyak istirahat." "Anaknya, gimana?" "Tidak ada yang masalah." Aku mengucapkan syukur dalam hati mengetahui Naura dan bayinya tidak apa-apa. Semalam, aku tertidur saat pikiran sedang semrawut karena memikirkan keadaan Naura. "Kamu tidak salat, Nissa? Sebentar lagi azan subuh." "Tidak. Aku sedang halangan," jawabku dengan suara pelan. "Oh," balasnya. "Pantas sering marah-marah." "Hah?" Aku memekik kesal. Meski kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya itu sangat pelan, tapi aku masih dapat mendengarnya. Hei. Kapan aku marah-marah? "Saya mengatakan fakta, Nissa. Lagipula itu sudah biasa bagi wanita. Naura juga demikian." "Tapi kapan aku marah-marah?" Aku menggeram kesal. Apa aku masih kurang sabar selama ini? "Ini buktinya, Nissa. Kamu sedang marah." Adit memandangiku dengan sudut bibirnya yang terangkat, tersenyum penuh keangkuhan, membuatku muak seketika. Membuang selimut secara asal, aku turun dari tempat tidur untuk menghampirinya yang masih berdiri di dekat lemari memegang celana training. "Kamu pikir siapa yang bikin aku marah, hah? Kamu, Dit. Kamu biang masalahnya!" Rasa kesal ini sudah mencapai ubun-ubun. Aku memukul dadanya. Entah mungkin karena terlalu keras, ia berusaha mengelak. "Stop, Nissa!" "Kamu harus tahu, Dit. Gimana rasa sakit yang aku rasain selama ini." Aku belum berhenti menghujaninya dengan pukulan membabi buta. "Nissa!" Kedua tanganku dicekal kuat olehnya. Matanya menatapku dengan tajam. Sepertinya, singa galak sudah bangun sekarang. "Argh!" Adit mendorong tubuhku hingga mundur beberapa langkah. Ia memutar tubuh membelakangiku. "Handukku hampir copot gara-gara kamu!" Aku menunduk. Astaga! ***** "Masukkan bumbunya terlebih dahulu, Nissa!" Aku menoleh singkat pada Adit yang sibuk dengan piring-piring kotor. Tanpa menjawab apapun, aku mematuhi perintahnya barusan. Bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih dan kawan-kawan yang sudah halus dimasukkan ke dalam wajan yang terlebih dahulu sudah diisi oleh minyak. Sebenarnya, aku masih malu berhadapan dengannya karena mengingat insiden tadi subuh. Namun karena Naura yang ingin makan masakan rumah, jadilah aku sekarang seperti murid Adit. "Terus?" "Tunggu sampai aromanya keluar, lalu masukkan kankungnya." Sekilas, hampir sama dengan caraku memasak. Namun kenapa rasanya sedikit berbeda? Masakan Adit membuat siapapun akan terus bertambah, termasuk aku. Jika tinggal setahun bersama lelaki ini, bisa-bisa tubuhku akan gempal nantinya. "Abis itu?" Aku kembali bertanya. Mungkin Adit menambahkan bumbu rahasia hingga masakannya begitu sulit ditolak oleh lidah. "Angkat jika sudah matang." "Terus?" Aku kembali bertanya. Masa iya cuman segitu? "Masukin ke mulut, kunyah, lalu telan. Selesai." Lelaki itu melap kedua tangannya dengan handuk kecil yang terletak tak jauh dari rak piring. "Hanya begitu?" Aku menggaruk kepala yang tertutupi jilbab abu-abu tua menggunakan ujung spatula. "Kamu maunya kayak gimana?" Dia menatapku dengan alis terangkat. "Sama aja kayak masakan aku. Tapi kok masakan kamu enak banget?" "Apa yang saya dapatkan kalau bisa jawab pertanyaan kamu itu?" Lelaki ini tersenyum tipis, seolah otak ajaibnya itu tengah membuat rencana yang buruk, untukku. "Kok nggak ikhlas sih?" Aku menatapnya sengit. "Mau uang?" Tawanya mengalun rendah, menjadi salah satu sumber bunyi selain suara masakan kangkung di atas wajan. "Saya sudah punya uang, Nissa. Bahkan lebih dari kata cukup. Penawaran itu saya tolak." "Terus apa? Semuanya kamu sudah punya. Aku bisa kasih apa?" "Patuhi satu permintaan saya tanpa menolak atau membantah. Bagaimana?" "Permintaan apa dulu? Kalau aneh, ya pastinya aku tolak." "Bukan permintaan aneh, Nissa." "Bukannya aku nggak pernah nolak kamu, ya?" "Berarti mau, ya?" "Iya iya. Sekarang, kasih tahu apa rahasianya." Adit melangkah mendekat. Aku masih bergeming di depan kompor, menunggu lelaki itu berdiri di sampingku. "Apa tujuanmu memasak?" Dahiku berkerut mendengar pertanyaannya. "Tentu saja untuk dimakan. Apa lagi?" "Kalau tujuan kamu begitu, berarti yang puas hanya kamu. Tapi kalau kamu niatnya ingin membuat orang merasa puas, maka hasilnya akan bagus," jawabnya panjang lebar. "Sesederhana itu?" Rasanya masih kurang percaya jika memang itu penyebab masakan lebih enak. Senyum di bibirnya terbit, menghilangkan kesan dingin darinya. "Garamnya kurang banyak, penyedap masakannya terlalu berlebihan. Coba cicipi dulu." Aku mematuhi perintahnya. Memang rasanya agak aneh jika dibandingkan buatannya. Aku tidak tahu jika ia seahli ini dalam masalah masak-memasak. "Perbaiki. Setelah selesai, kamu ke kamar." "Kamar siapa?" "Kamu. Atau mau di kamar saya?" Kenapa perasaanku menjadi aneh mendengar ucapannya? "Oke," balasku ragu. Beberapa saat berikutnya, dia pergi, menyisakan diriku sendiri dalam ruangan ini. "Oke. Sekarang perbaiki. Tambahkan air atau bagaimana?" Aku menggaruk jilbab sendiri. Untuk pertama kalinya bingung menghadapi masakan sendiri. **** Tangan kanan baru saja menyentuh kenop pintu kamar yang dingin. Namun, jantungku berdebar aneh. Berbagai pertanyaan masih memenuhi kepala. Ada apa hingga Adit menyuruhku datang ke kamar? Semoga bukan hal-hal yang buruk. Pintu ruangan terbuka lebar. Aku masih berdiri memerhatikan isi dalam kamar yang sama sekali tidak ada yang berubah. Kecuali pada atas ranjang yang terdapat sebuah kotak persegi ukuran sedang berwarna biru muda. Didorong oleh rasa penasaran, aku melangkah memasuki ruangan ini. "Malam ini, jam delapan." Aku membaca tulisan yang tertera pada secarik kertas di atas kotak tersebut. Tanganku bergerak lincah, membukanya. Isinya sebuah gamis berwarna maroon. Aku mengeluarkannya, memperhatikan bentuknya. Sangat indah. Tiga kancing di depan d**a, pita berwarna krem di bagian perut, di bagian pergelangan tangan juga diberikan renda berwarna krem. Tak lupa sebuah jilbab senada dengan pita juga ada. Aku berlari keluar, hendak bertanya maksud semua ini. Ada apa nanti malam? "ADIT!" Bersamaan dengan tubuhku yang berada di depan pintu, Adit juga keluar dari kamarnya. "Kenapa? Tidak sesuai?" "Bukan." Aku menggeleng sekali. "Ini maksudnya apa?" Aku menunjukkan semua benda yang diberikan Adit padaku. "Itu permintaan saya. Kamu haram menolak!" "Ini bukan permintaan, tapi perintah!" "Apapun itu. Kamu harus siap jam delapan malam. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang!" Aku melongo mendengarkan perintah tersebut. Kenapa Adit berubah seperti ini? ***** Aku berdiri terkagum-kagum di depan sebuah hotel yang sangat megah, terdiri 40 lantai. Berkali-kali decakan kagum keluar dari bibir. "Ayo masuk, Nissa!" Adit meraih tanganku, membawaku masuk ke dalam. Bukan seperti pasangan lainnya yang menggenggam lembut tangan wanitanya, lelaki di depanku ini malah menyeretku masuk ke dalam. Tidak tahukah dia jika aku kesulitan melangkah karena sepatu hak ini? Ya, walaupun ini tidak terlalu tinggi, tetap saja menyulitkanku yang belum terbiasa memakainya. "Ini acara apa, Adit?" bisikku saat memasuki aula yang sudah diisi oleh ratusan, bahkan ribuan manusia. "Resepsi pernikahan, Nissa." Adit membawa tanganku berpegangan pada lengan kirinya. Aku yang merasa risih dengan tindakannya ini hanya bisa membiasakan diri. "Selamat malam, Pak Adit." Seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun berdiri di depan kami bersama wanita yang mungkin istrinya. Adit dan lelaki itu berjabat tangan. "Selamat malam, Pak." Adit kulihat tersenyum tipis, sangat tipis hingga sulit terlihat. "Ini istri Pak Adit?" "Iya. Namanya Nissa Maulina." Adit mendorong punggungku pelan agar maju selangkah. Aku tersenyum canggung saat disodorkan oleh Adit. "Salam kenal, Nyonya. Saya Bahtiar Agung, salah satu rekan bisnis Pak Adit." Lelaki bernama Bahtiar itu mengulurkan tangan hendak berjabat tangan. Aku merasa bingung. Ingin menolak, takut dia merasa malu. Jika diterima, sama saja dosa karena bersentuhan dengan lawan jenis. Aku memilih opsi kedua; menyatukan telapak tangan di depan d**a. Dan benar saja, lelaki itu menjadi salah tingkah karena sikapku ini. "Salam kenal, Pak." "Hai, Nissa. Saya Aurrel Saputri, kakak dari Bahtiar." Wanita anggun di samping Bahtiar meruntuhkan tebakanku barusan. Kupikir mereka sudah menikah. "Nissa," balasku sambil berjabat tangan dengannya. "Kalian benar-benar pasangan yang cocok, ya? Nama saja hampir sama. Nissa Maulina, Adit Maulana." Aurrel tersenyum lebar. Nissa Maulina. Adit Maulana. Aku baru menyadari hal itu. Aku menoleh pada sosok Adit yang sedari tadi hanya diam. Ia berdiri kaku, dengan telapak tangan kanan masuk ke dalam saku celana bahan yang membalut kakinya. "Kami ke sana dulu, Pak." Bahtiar pamit kepada kami, lalu bergegas pergi bersama kakaknya. "Nissa, kamu tunggu di sini. Saya mau ke sana sebentar." Tanpa menunggu tanggapan dariku, Adit langsung pergi. Meninggalkanku seorang diri di tengah orang asing. Kakiku terpaku di atas ubin putih, sambil memerhatikan sekitar. Hanya aku yang terlihat bodoh di sini. Tidak punya teman. Adit sudah menghilang dari pandangan mata. Di tengah kebingungan itu, aku memilih duduk di salah satu sofa di sudut ruangan. Pandangan masih menyapu ke seluruh penjuru mencari sosok Adit. Kedua tangan di atas pangkuan saling meremas, meluapkan rasa gelisah yang melanda. "Hay, Nissa." Aku menoleh ke samping. Bahtiar duduk di sofa yang sama denganku. Aku menggeser tubuh menjauhinya. "Di mana Adit?" Bahtiar memainkan salah satu dari dua gelas di tangannya. "Mungkin menemui temannya," jawabku padanya. "Mau minum?" Bahtiar menyodorkan salah satu gelas yang dibawanya padaku. "Tidak. Terima kasih." Aku bergidik takut jika seandainya menerima minuman itu. Bisa-bisa Adit akan langsung menghujamkan tatapan mautnya padaku. "Ini hanya jus jeruk, bukan alkohol." Bahtiar tersenyum seolah ingin meyakinkan diriku. "Tidak. Terima kasih. Adit melarangku meminum sesuatu di sini tanpa izinnya." "O, begitu?" Bahtiar meletakkan gelas di tangannya ke sebuah meja kecil di depan sofa yang kami duduki. Aku bergerak gelisah. Di mana Adit sekarang? Kenapa menghilang begitu saja? "Sudah berapa lama kalian menikah?" "Dua minggu lebih." "Sudah mengadakan resepsi? Adit jahat sekali tidak mengundangku." "Tidak. Kami tidak mengadakan resepsi. Lagipula, Adit mengatakan jika dia sudah memberitahukan pernikahan kami pada khalayak umum. Itu sudah cukup," jelasku. "O begitu? Aku mungkin kurang update hingga tidak tahu pernikahannya. Aurrel juga tidak tahu menahu tentang ini." Bahtiar mencucup minuman dalam gelas berkaki di tangannya. Aku terdiam, sesekali menyapu pandangan seluruh ruangan. Di sini ada ratusan orang yang mengenakan jas hitam dan celana bahan hitam, menyulitkanku untuk mencari sosok Adit. "Kamu tahu, Nissa? Aurrel adalah penggemar berat Adit. Ia seringkali menolak lamaran dari orang-orang terkenal hanya karena berharap suatu hari bisa bersama Adit. Sayangnya ... kamu yang ternyata beruntung mendapatkannya." Aku tercenung mendengar penuturan Bahtiar. Aurrel itu wanita cantik, elegan, dan anggun. Hanya orang bodoh yang menolak wanita seperti dirinya. Dan Adit termasuk orang yang kurang beruntung karena tidak melamar wanita itu. "O ya, Nissa. Kalian berkenalan di mana? Aku hanya sedikit heran saja dengan pernikahan dadakan kalian. Tidak ada yang menyangka lelaki dingin seperti Adit bisa menikah dengan wanita sepertimu." Entah ada maksud apa dalam ucapannya itu, aku tetap tersenyum sebagai penghormatan untuknya. "Di desa. Adiknya menjadi ustaz di desaku. Kami berkenalan lewat dia." "O, seperti itu? Bagaimana sifatnya di rumah? Ramah?" Lama kelamaan, aku semakin risih dengan detail pertanyaan darinya. Jika seandainya aku tahu tempat ini, sudah sedari tadi aku akan pergi dari sini. Aku hanya takut jika kesasar dan malah bertemu orang jahat. Itu lebih berbahaya. "Iya," jawabku singkat. Aku menggaruk telinga kanan sambil memerhatikan salah satu tangan di atas paha. Rapalan doa dalam hati pun tidak berhenti terujar, semoga Adit segera datang. "Nissa, kamu ...." "NISSA!" Aku mengangkat wajah seketika. Sosok yang ingin kutemui segera kini muncul di hadapan dengan wajah paling menakutkan yang pernah kulihat. "Adit ...." Aku berdiri di depannya sambil memperbaiki letak tas pundak. "Kami permisi, Pak Bahtiar. Ada urusan keluarga." Dengan bibir terangkat beberapa senti membentuk senyuman tipis yang terpaksa, Adit menarik tanganku. Jemari besarnya mencengkeram kuat lengan kecilku, tanpa memedulikan rasa sakit yang terasa. "A-Adit ... lepas!" Berulang kali aku menghentakkan tangannya. Namun apa daya, tenaganya jauh berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan diriku. Dengan kasar, ia mendorong tubuhku masuk ke dalam mobil. Ia memutar lalu duduk di kursi kemudi, tepat di sampingku. "Adit, kamu ini kenapa, sih?" Aku memekik kesal. Ada apa lagi dengannya? Tidak ada hujan, tidak ada angin, dia tiba-tiba dikuasai oleh amarah. Apa aku baru saja melakukan kesalahan? "DIAM, NISSA?" "Aku nggak suka jadi pelampiasan kemarahan kamu, Dit. Aku punya salah apa sampai kamu semarah ini?" Aku tetap keras kepala, menuntut jawaban darinya. "Diam, atau saya turunkan kamu di sini!" Ucapan bernada rendah penuh penekanan itu mengalun dari bibir Adit, penuh makna jika aku harus mematuhi perintahnya. Jalanan yang dilewati Adit begitu sepi, berbeda dengan yang kami lewati ke hotel tadi. Adit begitu bebasnya memacu mobil dengan kecepatan yang membuat jantung melompat-lompat. Aku merinding seketika saat sebuah bayangan hingga dalam benak. Bagaimana jika Adit begitu marah hingga membunuhku di sini? Pasti mayatku akan sulit ditemukan. Tubuhku terdorong ke depan, hampir menyentuh dashboard karena tidak mengenakan sabuk pengaman. "Turun, Nissa!" Tatapan tajamnya masih tertuju ke arah jalanan. "Aku salah apa lagi, Adit? Aku sudah diam jadi pelampiasan ...." "TURUN, NISSA!" Adit membentak. Kepalanya menoleh padaku. Kedua rahangnya mengeras kuat. Karena ketakutan yang mendalam, aku mematuhi perintahnya. Turun di tengah jalanan yang begitu sepi tanpa ada sumber cahaya apapun kecuali mobil Adit. Aku tetap berdiri hingga mobil itu kian menjauh. Meski sudah berlari mengejar, Adit tetap enggan menerimaku lagi. Aditya Maulana Yusuf .... Kenapa sulit sekali mengetahui isi kepalamu? Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Aku punya ponsel, tetapi tidak tahu menelpon siapa. Mana mungkin Naura. Dia masih sibuk dengan pengobatannya di rumah sakit. Dengan bersenter ponsel, aku duduk di pinggir jalan, menunggu sekiranya ada angkot atau taksi. Ingin berjalan kaki, aku sama sekali tidak tahu daerah ini. Suasana dingin begitu menusuk kulit. Aku memeluk diri sendiri untuk menghalau semua angin yang bisa membuat tubuh ini menggigil. Kepalaku mendongak, memerhatikan cahaya bulan yang sedikit terlihat karena hampir tertutupi semua oleh awan gelap. Sebentar lagi akan hujan. Benar saja dugaanku. Beberapa saat setelah adanya angin kencang membawa rasa sejuk, hujan deras turun dari langit. Aku berlari ke bawah pohon untuk berlindung. Namun nyatanya, itu tidak membantu banyak. Gamis yang kukenakan basah kuyup oleh hujan. Tubuh ini semakin menggigil di bawah guyuran air. Allah, seluruh tubuhku gemetar. Kakiku mulai goyah menopang tubuh ini. Pandangan sayu tertuju ke arah jalanan yang dilewati Adit, berharap akan ada cahaya mobilnya yang muncul, lalu menolongku. Sayangnya, tidak ada. Sebenarnya apa kesalahanku hingga dia terlihat begitu kesal? Tidak mungkin hanya karena aku berbicara tentang dirinya pada Bahtiar, kan? Jika memang benar, aku harus mencatat dengan baik dalam memori otak; jangan menggosipkan sesuatu tentang Adit atau aku akan ditinggalkan lagi seperti ini. Tubuhku luruh ke tanah yang basah. Ingin berteriak, tapi tidak mampu lagi. Bibir ini begitu bergetar. Ya Allah, bantu aku. Mataku mulai terasa berat untuk terus terbuka. Hanya ada kegelapan yang mengisi indra penglihatan. Dalam keadaan seperti ini, aku hanya bisa pasrah. Jika memang Allah ingin mengistirahatkan diriku dari lelahnya ujian di dunia, aku siap. "Laa ilaaha ...." "Nissa!" Mataku terpejam. Namun, masih dapat kurasakan kepalaku tertahan oleh sesuatu. Pipiku ditepuk pelan, juga suara lembut yang membuat sesuatu di dalam d**a ini bergetar. "Nissa ... Nissa. Bangun, Nissa!" Tubuhku terasa melayang. Terasa ada sedikit kehangatan yang bisa menghalau dingin yang menusuk kulit. Lalu, tubuh ini mendarat di tempat yang begitu nyaman. Kupaksakan mata ini terbuka, berhadapan langsung dengan wajah Adit yang begitu dekat denganku. "Nissa ...." Tepukan halus itu kembali terasa di wajah. "Ding-in ...." Satu kata itu butuh tenaga banyak untuk dikeluarkan. Tubuhku semakin bergetar. "Dingin?" Adit bergerak gelisah. Ia menoleh kanan kiri seolah mencari sesuatu. "Sial. Pakaianku juga basah. Kita pulang sekarang." Kelopak mata perlahan menutup. Perasaanku begitu tersiksa. Hanya ada suara klakson mobil yang membuatku merasa masih sadar. "Nissa?" Adit menempelkan telapak tangannya di pipiku. Sebelum sempat aku membuka mata, aku merasa melayang. "Nissa, kamu masih sadar?" Samar, suara itu terdengar. Aku mengedipkan mata sekali, cukup membuatnya tahu jika aku masih bisa merasakannya. Adit menempatkanku dengan hati-hati di atas tempat yang begitu nyaman. Telapak tangannya yang dingin menempel di wajahku. "Masih dingin?" Aku ingin meneriakinya sekarang. Sudah kukatakan tadi apa yang menyiksa tubuh ini. Namun, dia malah mengulur waktu untuk menghilangkan semua rasa tidak nyaman ini. "Ya ...." Hening ... Aku merasa waktu menemui Allah semakin dekat. "Nissa .... Saya izin buka baju kamu." *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD