01 | Menghantui Mimpi

1053 Words
CLARA terbangun secara paksa dari mimpi panjang yang begitu menyiksa. Sebuah mimpi dari masa lalu yang datang untuk menghantuinya dan tak pernah sekalipun melepaskannya. Mimpi buruk berisi kebodohannya yang termakan rayuan pria dan berakhir menderita. Perempuan itu bangkit dari ranjang, berjalan keluar dari kamar, lalu menuju dapur. Dia butuh kopi untuk menemaninya hingga pagi. Karena sekali dia bermimpi, dia akan memimpikan hal yang sama lagi dan lagi. Seperti kutukan tiada henti. Ini bukan kali pertama atau kedua kali, melainkan sudah ribuan kali sejak peristiwa itu terjadi. Mimpi itu terus datang dan menghantui. Berulang-ulang diputar kembali. Layaknya memori yang terus menerus berputar untuk mengingatkan Clara akan kejamnya dunia ini. *** "Astaga, lo nggak tidur dari semalam?" Stevany atau yang biasa dipanggil Stevy terlonjak kaget saat melihat penampakan mengenaskan Clara di dapur apartemen mereka berdua. Perempuan tomboi berambut pendek seleher yang lebih suka menganggap dirinya tampan itu menarik kursi di sebelah Clara, lalu duduk di sana. "Lo mimpi buruk lagi?" "Ya, kayak biasa. Mimpi sialan itu merusak tenangnya malam kesayangan gue." Clara mendengkus pelan. Dia menyukai malam, karena setelah seharian bekerja keras, akhirnya dia bisa beristirahat dengan cara memejamkan mata dan menikmati ketenangan. Namun, mimpi itu kerap kali datang dan menjadi pengganggu hidupnya. Clara mengembuskan napas kasar. Dia lelah. Tentu saja, dia sangat lelah. Dia telah memimpikan hal yang sama selama bertahun-tahun terakhir. Mimpi yang begitu menghantui dan terasa selayaknya menyiksanya tiada henti. Padahal selama ini, Clara telah berhenti berharap. Dia tidak pernah lagi membayangkannya, juga memikirkannya kembali. Memang benar dia pernah menyesali apa yang telah terjadi, tapi semua itu telah berlalu. Clara telah lama melupakannya, karena kini dia sudah membuka lembaran baru. Akan tetapi, mimpi itu masih terus menerus datang menghantui malam tenangnya. Seolah-olah mengatakan, agar Clara tidak lupa, apa saja yang telah menimpa hidupnya jauh sebelumnya. "Lo baik-baik aja, kan?" tanya Stevy tampak khawatir. Stevy adalah anak dari malaikat yang telah menyelamatkan hidupnya beberapa tahun lalu. Saat Clara berpikir jika dia tidak sanggup lagi bertahan dan ingin mati dengan cara bunuh diri. Tuhan masih berbaik hati dengan cara mengirimkan seorang malaikat bernama Silva yang menemaninya tumbuh hingga saat ini. Walaupun awalnya begitu buruk, tapi mereka adalah sekumpulan orang baik. Silva yang merasa bersalah, juga kasihan atas nasib yang tengah menimpa Clara berniat untuk menebus rasa bersalahnya dengan cara mengadopsi Clara. Clara berniat menolak. Dia sudah mengatakan penolakannya sejak awal, tapi Silva tidak membiarkannya begitu saja. Dia membawa Clara pulang dan mengenalkannya pada Stevy, satu-satunya anak yang dia miliki. Di situlah dia mengenal Stevy yang ternyata satu tahun lebih tua darinya. Tiba-tiba saja mereka telah berteman dengan akrab. Silva tidak pernah membahas apa pun tentang pengadopsian, tapi dia selalu merawat Stevy juga Clara selayaknya anak kandungnya sendiri. Hingga saat ini. Sebagai bentuk balas jasa Silva padanya, Clara merawat Stevy yang kurang bisa merawat dirinya sendiri. Sedangkan Stevy pun selalu mengkhawatirkan Clara yang masih tampak terjebak dengan masa lalu pedihnya. Clara tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Lo tenang aja, cuma mimpi, nggak mungkin bisa bikin gue kenapa-kenapa." Stevy menatapnya penuh luka. Perempuan itu tidak tahu bagaimana cerita persisnya. Dia hanya tahu jika Clara hamil dan dicampakkan oleh pacarnya tepat sebelum lulus SMA. Namun, efek yang ditimbulkan laki-laki itu ternyata tidak seringan apa yang ada dalam bayangannya. "Gue jadi curiga, kalau lo sebenarnya udah diguna-guna sama dia." Stevy mengernyitkan dahi, matanya menyipit, tatapannya menajam langsung menatap lurus kedua mata Clara. Clara balas menatap kedua matanya. "Maksud lo?" "Coba aja lo bayangin. Peristiwa itu udah lama terjadi. Lo udah nggak pernah mikirin dia lagi, apalagi sampai ngarep bisa balikan sama dia, kan? Terus, ngapain lo masih mimpiin hal yang sama selama ini? Kecuali, kalau lo emang udah diguna-guna sama si Donald Duck itu!" jelasnya berapi-api. Clara terdiam. Dalam hati dia mengiyakan ucapan Stevy, karena dia heran dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Namun, Clara tidak percaya namanya santet, guna-guna, apalagi dukun. "Apa perlu kita ke dukun buat mastiin apa yang terjadi sama lo? Gue nggak rela, kalau lo beneran diguna-guna sama dia!" usul Stevy yang terdengar serius. Clara mendengkus pelan. "Masih aja lo percaya yang begituan. Nih, ya, kalaupun kita emang jadi pergi ke dukun, daripada mastiin gue diguna-guna atau enggak, mending juga gue kirim santet ke dia sampai mati. Karena gue nggak mau ketemu dia lagi." Stevy berdecak. "Dasar, malah diniatin beneran sama ini anak!" Clara tertawa pelan. "Mau gimana lagi? Gue kan nggak mau rugi." Stevy melirik gelas kosong di tangan Clara, lalu beralih memandangi dapur yang masih bersih. "Lo nggak masak apa-apa pagi ini, Ra? Gue laper banget." Clara menggeleng dengan wajah lesu. "Gue juga laper banget, tapi males mau ngapa-ngapain. Kepala rasanya mau pecah, badan rasanya cape semua. Sumpah, gue mau rebahan dan tidur seharian, tapi hari ini kita masih harus berangkat kerja." Clara mengembuskan napasnya berat. Setelah lulus kuliah, mereka memang berencana untuk tinggal terpisah dari orang tua. Kemudian mereka diterima bekerja di tempat yang sama dan mereka pun melaksanakan niatnya. Silva awalnya keberatan, tapi Clara mengatakan jika inilah saat yang tepat agar mereka bisa belajar hidup mandiri. Silva pun mengizinkan dengan beberapa syarat tambahan. Clara dan Stevy tidak boleh tinggal terpisah. Dia masih akan mengirim uang bulanan seperti biasa. Walaupun baik Clara dan Stevy kini sudah bekerja dan berpenghasilan tetap, tapi Silva tetap mengirimkan uang bulanan itu. Stevy menatapnya prihatin. "Kita beli sarapan di kafetaria kantor aja deh kalau gitu. Gue juga males masak," katanya sambil meringis. "Lo bukannya malas masak, tapi nggak bisa masak. Uang masih cukup, kan?" Clara bertanya dengan serius. Stevy memamerkan cengirannya. "Masih lebih dari cukup buat makan selamanya! Emang kita ngapain aja, kalau nggak buat nongkrong berdua di malam minggu." Clara meringis, kemudian tertawa pelan. "Ya udah, kita beli aja sarapannya. Gue beneran males mau ngapain-ngapain sekarang. Kepala juga terasa pusing bukan main." Stevy mengangguk setuju. "Ntar kalau udah pulang, lo langsung tiduran aja. Kurang tidur nggak baik juga buat kesehatan soalnya. Kalau begadang buat sesuatu yang baik sih nggak masalah, tapi lo begadang buat Donald Duck yang nggak ada faedahnya apa!" Clara mendengkus. "Kalau gue bisa ngatur, gue juga nggak mau begadang buat dia kali!" Stevy tertawa, Clara pun tertawa bersamanya. Apa yang telah terjadi di masa lalu memang layak untuk disesali, tapi tidak untuk dijadikan penyesalan yang berlarut-larut. Clara menyukai kehidupan barunya yang menenangkan bersama Silva, Stevy, dan temannya yang lain. Asalkan dia bisa bahagia. Dia tidak akan mempermasalahkan apa pun lagi nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD