Latar Belakang Bonita

1358 Words
“Jadi, bagaimana kamu bisa berakhir gentayangan?” Baiklah, aku akui bahwa aku bukanlah ice breaker yang andal, upayaku untuk membuka percakapan sangatlah buruk, bobot pertanyaanku nol besar dengan empati nihil menguar darinya. Akan tetapi, menghabiskan waktu selama tiga puluh menit dengan berdiam diri padahal ada teman di sisi bukanlah perkara yang mudah bagiku. Bibirku terasa gatal, ingin segera membuka dan mengeluarkan apa saja. Aku mencoba menahannya beberapa kali, tapi ya…, keceplosan. Bonita mendecih. Aku anggap itu sebagai gestur tak suka dengan pertanyaanku. Ya, mau bagaimana lagi, ya? Toh, seharusnya dia berusaha untuk menghancurkan es di antara kami berdua. “Aku dibunuh.” Lalu, hening yang panjang. Jika ada satu jarum kecil saja jatuh ke lantai, dapat aku pastikan bunyi yang ditimbulkan akan memecahkan gendang telinga. Baiklah, seharusnya aku membenamkan diriku saat ini juga, karena sungguh! Pertanyaanku sama sekali sensitif dan benar-benar tak berperasaan. Aku meringis, bingung harus bereaksi seperti apa, otomatis takut jika mulutku ini malah melempar ujaran menyebalkan lainnya. Bonita mengibaskan tangannya di udara. “Gak usah merasa tak enak. Santai saja. Kejadiannya juga sudah lewat sepuluh tahun yang lalu.” Aku memandangnya kaget, namun tak mengeluarkan sepatah kata pun. “Aku bisa dibilang sudah sangat tua, jadi penampilanku saat ini adalah penampilan sepuluh tahun lalu. Aku lebih tua darimu,” jeda Bonita dibarengi kerlingan mata. “Saat itu aku tertimpa musibah, rumahku kebobolan maling saat keluargaku pergi berlibur. Aku memilih tidak ikut karena ada ujian susulan di sekolah, kalau-kalau kamu penasaran.” Sungguh, aku tak suka ke mana cerita ini mengarah. “Penjahat itu menemukanku bersembunyi di balik lemari, tipikal pelarian di film-film. Seharusnya aku memilih untuk bersembunyi di kamar mandi atau di manalah, namun aku benar-benar panik saat mendengar suara pintu dibobol. Aku bahkan tidak sempat meraih ponselku dan menghubungi keluargaku.” Bonita menyenderkan bahunya ke bangku yang kami duduki, menutup matanya sembari menghembuskan napas. Ingin rasanya menghentikan dia untuk bercerita namun lidah ini terasa kelu. “Aku berakhir mengenaskan. Diperkosa, lalu dibunuh menggunakan celurit.” Ah, sepertinya luka di leher Bonita berasal dari kejadian tersebut. Refleks, aku memegang leherku, aku merasa ngilu. Tubuhku menegang tanpa adanya kontrol dariku. Bonita membuka mata, memandang garis horizontal langit yang dihiasi warna lembayung. Aku memandang hal yang sama, menatap burung yang beterbangan hingga hilang di ujung pandangan. Malam menjelang, lampu-lampu di rumah sakit pun mulai dihidupkan. Suasana semakin hening, hanya suara jangkrik yang mendominasi udara. Aroma basah jejak hujan tadi sore masih berhembus, membawa berkas dingin yang menggigit. Tampaknya, malam akan berjalan panjang dibanding biasanya. “Lalu, aku merasa melayang, aku tak sempat merasakan sakit yang begitu menyiksa saat jiwaku meninggalkan ragaku. Aku hanya mematung saat melihat ragaku masih dipermainkan oleh mereka. Menjijikkan, tapi aku tidak bisa beranjak. Mereka melakukannya dengan kotor, seolah-olah aku pantas mendapatkannya. Tanpa jeda, tanpa belas kasih, aku memandang mereka yang merusak ragaku. Aku tak bisa berteriak, aku terkurung oleh rasa sakit tak kasat mata. Itu adalah p********n yang sesungguhnya.” Kemudian, aku biarkan keheningan mendominasi. Jika tahu begini, aku biarkan saja tiga puluh menit berubah menjadi satu jam asal aku tidak perlu bertingkah jahat dengan mengungkit luka orang lain. Bonita pasti merasakan sakit akibat kejadian itu. Walaupun sudah sepuluh tahun, aku masih bisa merasakan getir dari suaranya yang bergetar. “Hm, apakah itu alasanmu gentayangan? Kamu ingin membalaskan dendam pada pembunuhmu?” Sumpah, ya! Sebenarnya mulut ini milik siapa, sih? Mengapa aku tidak bisa mengendalikannya? Seenaknya bertanya dengan nada penasaran seakan tidak memiliki empati. Sungguh, aku merasa sangat jahat. Bonita terkekeh, membuatku berjengit heran. Nah, kan! Aku baru saja membuka kotak masalah, aku benar-benar akan dirajam pada kehidupanku selanjutnya. “Kamu tak perlu menjawab,” ucapku yang rasanya tidak lagi penting. Aku sudah melukainya, mengapa baru menyesal sekarang? Menggeleng ringan, Bonita kembali mengibaskan tangannya. “Tak masalah. Ditanya seperti ini hanya membuatku bersemangat kembali, aku kembali teringat akan dendamku terhadap lelaki itu.” Aku berusaha mati-matian menahan lidah sialanku untuk bertanya lebih lanjut. “Bukan pembunuh itu yang membuatku mendendam, Amaya, bukan.” “Lalu?” Aku sudah pasrah dengan mulutku. “Abangku.” Bonita tersenyum getir. Bibirnya memang tersenyum, namun emosi bercampur aduk di matanya; sedih, marah, dendam, rindu, dan bingung. “Abang yang iri akan diriku. Aku hidup sebagai anak bungsu dari keluarga terpandang, apa saja kami miliki; kemewahan, harta, tahta, semua ada di genggaman keluargaku. Berbeda dengan Abang yang memiliki kesenangan yang unik, aku benar-benar tertarik pada bisnis keluarga, bahkan hal itu dimulai saat aku menginjak bangku sekolah menengah pertama. “Abang menyukai seni lukis, seni musik, apa pun itu yang berhubungan dengan seni, sedangkan aku menyukai bisnis keluarga hingga ke akar-akarnya. Apa pun tentang bisnis, akan aku pelajari secara mati-matian. Kemudian, hal itu menyulut api, tanpa sadar, keluargaku mulai terbakar akibat perbedaan itu. Ayah suka memujaku begitu tinggi di hadapan Abang dan Ibu sering menceritakan sikap Abang yang tak sesuai keinginan keluarga di hadapan tetangga.” Aku menahan napas, aku lagi-lagi tak suka ke mana hal ini mengarah. Bonita berdecak, mengacak rambutnya frustrasi. “Seharusnya, aku mencegah apa pun itu, namun aku yang berasa di atas angin dengan naifnya menyangka bahwa semuanya berjalan dengan baik. Aku terpuruk akibat ulahku sendiri. Abang mencapai titik puncaknya, emosinya tak lagi dapat dibendung. Ia mendiamkanku dan tak pernah lagi berinteraksi denganku. “Aku terus mencoba, namun semua terasa sia-sia. Bertahun-tahun kami melewati hari dengan diam dan tatapan dingin. Aku mencoba untuk membicarakan hal ini dengan kakak perempuanku, mencoba mencari jalan keluar agar kami kembali rukun. Namun, karena ia sudah memiliki keluarga sendiri membuatku kesulitan untuk mencari jalan keluar bersama.” Malam semakin pekat, udara di sekitar seakan memadat, membuatku sesak dan sulit bernapas. Bonita tak pantas mendapatkan perlakuan seperti ini, Bonita terlalu…, Bonita. Aku tak tahu apakah jalan di pikiranku adalah benar, namun aku bisa tahu ke mana arah cerita Bonita tentang masa lalunya. “Ayah dan Ibu semakin menjadi-jadi, melarang Abang untuk menjalankan kegiatan seninya dan menyuruhnya untuk mencontohku agar bisa meneruskan bisnis keluarga. Tentu saja, hal itu malah memperparah hubungan kami, Abang semakin meledak. Aku tak tahu bagaimana Abang bisa berpikiran seperti itu, namun kemudian hal itu terjadi. “Abang menyuruh orang lain untuk membunuhku, dia sepertinya sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari karena dia benar-benar mendapatkan waktu yang tepat, dia memilih untuk menghilangkan sumber masalahnya yaitu aku. Bagaimana aku tahu? Entahlah, banyak hal yang mengarahkanku padanya. Awalnya, dendam ini tertuju pada pembunuhku, namun fakta itu terbuka secara perlahan, aku tertampar oleh kenyataan. Abangku adalah pelaku di balik pembunuhanku.” “Bon…” Aku sudah kehilangan kata-kata, aku merasa kesal dengan apa yang terjadi pada Bonita. Marah akan fakta bahwa walaupun ia dendam pada abangnya, namun ia beberapa kali menyalahkan dirinya, beberapa kali berharap bahwa ia tak bertindak naif dan memancing emosi abangnya. Aku tahu, jauh di dalam hatinya, ia pun merasa bersalah atas apa yang terjadi. “Jadi, aku gentayangan karena hal itu. Kapan aku akan berhenti? Entahlah, bahkan pemikiran tentang kematian Abangku pun tak membuatku senang, berkali-kali aku mengikutinya, melihatnya tersiksa dengan perasaan bersalah, berkali-kali ia terjatuh, dan aku tetap belum merasa puas. Mati pun dia, tak lepas emosiku yang tertahan.” Hatiku serasa diremas-remas, nyeri sekali. Mendengar cerita Bonita membuatku terluka, aku bahkan tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya menjadi dirinya, aku tak akan mampu melewati kejadian tersebut walaupun aku berujung pada kematian maupun rasa hampa. Itu terlalu…, kejam. “Amaya, aku bakal lebih bersyukur jika aku adalah jiwa yang lupa ingatan, aku tak akan sesakit ini.”  Bonita melempar senyum tipis, pahit. Aku tergugu, kembali tak tahu harus menjawab apa, namun sepertinya mulutku ini memiliki kontrolnya sendiri, aku kalah sekian kalinya. “Tapi tetap saja aku gentayangan, di mana enaknya.” Di luar dugaan, Bonita tertawa keras, matanya hilang dan tubuhnya membungkuk sekian derajat. Ia memukul-mukul lututnya tak kuasa menawan geli dan tawa. Wow, bukankah itu berlebihan? Aku tak merasa selucu itu. Seperti tersadar akan sesuatu, Bonita akhirnya menghentikan tawanya lalu mengangguk kecil. “Ah, ya, aku tak sadar akan hal itu.” Memilih untuk tak merespon, aku melempar pandanganku ke batas horizontal, menatap warna kelam yang menguasai langit. Aku bersyukur bisa mengenal Bonita, ia benar-benar tangguh dan mampu memberikanku pandangan baru. Aku sangat bersyukur bahwa Bonita mau menyapaku, menanyakan beberapa pertanyaan dan melebur duniaku yang membingungkan. Jika diingat pun, aku tak ada usaha untuk berkenalan dengan hantu lain. Selain memuja kecantikanku, aku sibuk berdansa dengan angin. Tipikal hantu norak yang baru merasakan eksistensinya. Jika boleh berlebihan, dalam rentang waktu singkat atas pertemuan kami, Bonita menyelematkanku. Bonita memberikanku sedikit arahan. Jikalau tidak ada dia yang mengejutkanku, dapat dipastikan bahwa aku akan menghabiskan waktuku di dalam kamar mandi sambil menari-nari dan memuja kecantikanku. Ya, Bonita memang penyelamatku. “Terima kasih, Bonita,” ujarku berbarengan saat Bonita mengucapkan, “terima kasih, Amaya.” Lalu, kami berdua tersenyum, paham akan makna yang terselip di dalamnya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD