Aku dan Kegilaan

1615 Words
“Hei!” Aku terlonjak kaget, membalikkan badan seraya memelototkan mata pada siapa pun itu yang membuatku terkejut. Astaga, aku sedang mengagumi wajahku di cermin! Bisakah dunia tidak menggangguku? Ketimbang marah, aku malah dibuat bingung. Di hadapanku kini berdiri seorang gadis yang aku rasa seumuran denganku, memiliki rambut sebahu dengan tubuh mungil layaknya lolita. “Eh?” gumamku tak tahu harus bereaksi seperti apa. “Hantu baru, ya?” tanyanya membalas kebingunganku. Ia mengerjap, memandangku antusias. Matanya memindai tubuhku dari atas hingga ke bawah, seolah ingin menemukan sesuatu dariku. Aku menggeleng tak yakin. “Aku hantu, ya?” “Lho, kok malah bertanya balik?” kekehnya dengan bahu bergetar, imut sekali. “Aku benar-benar tidak tahu aku ini apa, anggap saja aku adalah jiwa yang hilang ingatan,” jawabku singkat. Mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki jawaban yang pasti. Aku mau saja sih, mengaku bahwa aku adalah ratu dari kerajaan Inggris, namun aku malah khawatir akan dianggap sebagai jiwa yang gila. Dia mengangguk, berusaha memahami karena aku bisa melihat rasa bingung berkejaran di matanya. “Kamu hantu, ya?” tanyaku ragu. Aku bisa melihat begitu, sih. Tubuhnya transparan dan pucat, lebih pucat dibandingkan dengan diriku. Bibirnya membiru seperti habis memakan permen Pendekar Biru, lalu aku bisa melihat bekas luka memanjang di lehernya, Mengangguk antusias, ia mengulurkan tangan. “Bonita.” Aku menerima tangannya dengan ragu, bisa aku rasakan bahwa tangannya begitu dingin layaknya ubin mesjid. Fix, dia hantu! “Hai, Boni,” balasku sembarang memenggal nama orang lain. “Tanganmu hangat,” gumam Bonita memegang tanganku erat. “Lalu, siapa namamu?” Aku tercenung, memandang Bonita dengan aneh. Padahal, pertanyaannya biasa saja, namun terasa asing bagiku. “Eh?” “Kamu gak punya nama?” Bonita memelototkan matanya lucu. Ujung matanya berkedut tak percaya, padahal aku sama sekali tidak melakukan kebohongan. “Aku hilang ingatan?” ujarku ragu. Ya apalagi? Aku benar-benar merasa baru lahir ke dunia ini dan tentu saja aku tidak memiliki nama. Bonita melepaskan pegangan tangannya, memandangku dengan tatapan menyipit. Ia menggeleng dengan gestur seperti seorang ibu yang merasa kesal dengan tingkah anaknya yang membuang-buang makanan. “Aku tidak bisa percaya akan hal ini.” Menarik bahu ke belakang, aku memandangnya heran. “Hei, aku harus bagaimana lagi?” Kenapa dia bersikap drama sekali? Bonita menggeleng, lalu meraih tanganku dan menariknya, membuatku hampir kehilangan keseimbangan dan tersuruk ke lantai—walaupun tubuhku seperti gas, namun rasanya aneh ditarik dengan cepat. “Eh, eh, eh, santai! Kamu mau bawa aku ke mana?” Melirikku, ia menipiskan bibir seperti menyuruhku untuk diam dan ikut saja dengannya. Namun, aku yakin, jika aku adalah manusia yang dahulunya masih memiliki raga dan ingatan, aku adalah manusia yang tak mau-mau saja diperintah. “Ya gak bisa, dong!” seruku sembari menggoyangkan tanganku untuk melepas, tapi s****n, pegangan Bonita lebih mirip dengan cengkraman, kuat banget. “Kalau aku kenapa-kenapa, siapa yang bakal tanggung jawab?” “Udah, deh, kamu ikut aja dulu.” Oke, mungkin aku dulunya juga merupakan manusia yang mudah luluh. Aku akhirnya mau mengikuti dirinya. “Baiklah.” Kami berdua berjalan melewati lorong. Aku mengedarkan pandangan dan menemukan segelintir manusia yang hilir-mudik dengan pandangan lurus ke depan, melangkah maju tak santai. Lalu, aku beberapa kali bertemu dengan makhluk yang sama dengan Bonita dan aku, sejenis hantu gitu, deh. Hanya saja, mereka kebanyakan terlihat seram dengan darah basah memenuhi wajah atau tubuh mereka. Aku menelan ludah, melirik Bonita yang tampaknya santai saja dengan keadaan sekeliling. Aku pun baru sadar, gila kali ya aku begitu santai ditarik hantu seperti Bonita? Semacam aku sudah berteman lama dengannya dan kemudian merasa nyaman dan tak sedikit pun takut. Aku sedikit mengingat-ingat pertemuan kami barusan dan aku sangat yakin bahwa tak sedikit pun aku ragu berbicara dengannya. Wah, aku rasa aku kehilangan ragaku karena sok berani sehingga melakukan tingkah konyol dan membuatku berakhir gentayangan seperti ini. Manusia seharusnya memiliki rasa takut. “Ke mana, sih?” tanyaku akhirnya, mengabaikan perasaan dan pikiranku yang mulai ke mana-mana. Bonita melirikku, memperlebar langkahnya yang membuatku berlari kecil menyamakan langkah.  “Sebentar lagi,” balasnya lalu berkelok pada ujung lorong. Suasana di sini lebih cerah, cahaya matahari langsung menyinari dengan warnanya yang keemasan. Aku menghela napas, merasa senang dengan suasana seperti ini sehingga aku tak masalah Bonita menyeretku entah ke mana. “Di sini!” Bonita berhenti tanpa aba-aba, membuatku kembali tersandung oleh angin. Aku meringis, melirik kesal pada Bonita yang sepertinya tak sadar dengan pandanganku terhadapnya. Mendongak, aku menyipitkan mata dan bergumam bingung. Mataku terpaku pada papan hijau yang tampak usang. “Ruangan bayi?” “Iya,” balas Bonita yakin. “Apa, sih?” tanyaku akhirnya, tak memiliki gagasan sedikit pun mengenai apa yang ada di pikiran Bonita. Dia benar-benar aneh. Apa coba berdiri di ruangan bayi? Untuk apa? Mencuri bayi lalu memakannya? Pandanganku seketika horror, aku tersedak oleh ludahku sendiri. Membayangkan pikiranku adalah benar, membuatku mengerjap takut. Aku memandang Bonita takut. Aku tidak yakin jika hantu di sampingku ini waras, bisa-bisanya dia… “Kamu kenapa, sih?” Bonita menatapku heran lalu menyeretku untuk masuk ke dalam ruangan, tentu saja kami tak perlu memutar kenop pintu ataupun mengetuk pintu agar terbuka, kami menembus ruang layaknya superhero profesional. Kesopanan bukanlah prioritas hantu. “Kamu gila, Bon!” cecarku histeris, namun agak tertahan. Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam tubuhku, tapi aku bisa merasakan panas menjalar ke seluruh tubuh, aku panik! “Apa sih, ah? Kamu tuh butuh ini, tahu?” Aku menggeleng cepat, yakin bahwa aku tak membutuhkan hal itu. Buktinya aku masih bisa melayang-layang hingga saat ini tanpa perlu memakan bayi atau sebangsanya. “Aku gak mau,” balasku dengan nada final. Bonita berhenti, memandangku asing. “Kamu butuh ini, kamu butuh nama dan kita sedang mencari inspirasi!” serunya dibarengi dengan pelototan sebal. “Kamu tuh mikir apaan, sih?” Kali ini aku yang memandangnya asing, tak paham dengan ucapannya. Bangsa hantu memang aneh seperti dia, ya? “Cepat cari nama yang kamu mau!” Bonita menunjuk kotak-kotak yang berisi bayi dengan dagunya, tak membiarkanku berpikir lebih lama. “Eh?” “Ah eh, ah eh. Ayo, kamu butuh nama. Aku gak mungkinkan memanggilmu dengan jiwa yang lupa ingatan ataupun apalah yang terkesan aneh.” Aku mengedarkan pandangan, memandang sekeliling dengan skeptis. “Kan aku bisa saja memikirkannya sendiri, Bon.” “Ck, butuh inspirasi. Aku yakin kamu butuh inspirasi. Kalau kamu keliling dan melihat nama mereka, kamu setidaknya terpikirkan gitu lho, wahai jiwa yang hilang ingatan. Nama apa yang cocok untuk kamu! Dulu pas lahir, kita dikasih nama tanpa persetujuan kita dan saat ini, kamu bisa memilih nama yang keren menurutmu untuk dirimu sendiri.” Aku menggembungkan pipi, mulai paham dengan jalan pikiran Bonita. Jadi, aku yang lupa ingatan ini bisa memilih namaku sendiri? Memilih nama untuk kemudian menyematkannya pada diriku? Benar, aku butuh identitas dan aku harus memilih yang terbaik. Aku bisa memilih. Memikirkan hal itu cukup membuatku semangat, aku baru saja memulai untuk menentukan masa depanku—walau aku tak yakin akan memiliki masa depan yang panjang, tapi setidaknya aku berbuat sesuatu untuk diriku sendiri. Namun, sebelum aku berkeliling, aku memandang Bonita yang tercenung di tempatnya. Sebuah pikiran tentangnya terlintas di kepalaku. Gadis ini… Merasa sadar, Bonita menoleh padaku, tersenyum tipis dibarengi anggukan kecil. “Iya, aku memilih namaku sendiri dan tidak, aku tidak sempat kehilangan ingatan, aku hanya ingin identitas baru.” Aku mengangguk paham, tak ingin merundungnya dengan berbagai pertanyaan, setidaknya untuk saat ini. Aku masih ingin tahu tentang dirinya, aku butuh banyak informasi mengenai dunia ini untuk bekalku kelak. Tsah, aku tak menyangka jika aku adalah hantu visioner, ini harus diapresiasi penuh. “Aku keliling dulu, ya,” ujarku seraya melangkahkan kaki ke ujung kanan ruangan. Ruangan ini tidaklah terlalu besar, namun terasa lapang dengan pencahayaan yang begitu baik. Kebersihannya pun patut diacungi jempol, aku sebagai jiwa yang lupa ingatan menghargai hasil kerja para pekerja yang berdedikasi tinggi seperti ini. Ruangan didominasi putih, namun ada beberapa poster berwarna tertempel di dinding namun itu tak akan menjadi perhatianku, tujuanku bukanlah itu. Aku memandang seorang bayi mungil yang tengah memejamkan mata, ia tampak tenang di tempatnya. Dadanya naik-turun, bernapas tenang seperti menikmati anugerah yang telah diberikan untuknya berupa kehidupan. “Keanu Fabian?” ujarku memandang nama yang tertera pada papan di sisi kotak bayi, mencebikkan bibir seraya mengangguk. “Cowok ya, ganteng.” Aku kemudian berlabuh ke kotak kedua. Bayi dengan selimut merah muda tengah tidur, ia tampak merengut dalam tidurnya. Ah, mungkin dia sedang bermimpi dikejar dinosaurus? Aku berlalu tanpa melihat namanya. Beberapa kotak aku lewati, namun belum ada yang pas di hati. Nama-nama yang kulihat memiliki pola yang hampir sama, huruf vokal berulang atau gabungan huruf sh dan sy. Mungkin pola itu sedang hangat di masyarakat. Langkahku terhenti pada kotak yang entah ke berapa, mataku langsung tertuju pada papan nama yang bertuliskan Amaya. Satu kata nama dan aku tak tahu artinya. Aku pandangi bayi putih bersih yang tengah mengerjap memandangku, matanya bulat dan besar, cantik sekali seperti aku. Aku melambaikan tangan padanya yang dibalas dengan senyuman manis yang dikulum. “Hai, Amaya. Nama yang bagus.” “Amaya, ya?” Aku terlonjak kaget. “Bonita!” desisku kesal. Pasalnya, dia sudah dua kali mengejutkanku dalam kurun waktu berdekatan. Bukan tidak mungkin jika aku mati karena serangan jantung akibat ulahnya. Iya, aku sempat berkeinginan mati akibat serangan jantung, tapi tidak saat ini juga, ini terlalu cepat. Bonita menggedikkan bahunya merasa tak bersalah. Berdecak, aku berusaha mengabaikan rasa kesalku lalu kembali memandangi bayi perempuan yang pandangannya masih terpaku pada diriku. Apakah aku secantik itu? Aku tahu, tapi aku tak menyangka bahwa bayi pun merasakan hal yang sama. Aku menyengir lalu dibalas dengan senyuman lainnya oleh Amaya. Aduh, hatiku meleleh melihatnya, begitu murni dan menenangkan. Segala anugerah aku panjatkan untuk bayi polos ini. “Amaya, aku pinjam namanya boleh?” Aku mengucapkannya dengan nada harap. Tentu saja aku harus izin, aku tak ingin dicap sebagai pencuri nama dan dihukum cambuk di kehidupanku selanjutnya akibat ulahku ini. Aku bisa mendengar Bonita mendecih mendengar kalimatku tapi aku tak peduli. Aku tetap memandang Amaya dengan pandangan memohon. Lima detik yang terasa setahun akhirnya berakhir saat Amaya mengerlingkan matanya padaku. “Ah, terima kasih!” pekikku senang. Sedetik kemudian, aku mendengar jerit dan tangisan kaget yang berasal dari bayi-bayi yang tengah beristirahat. Aku meringis, terlebih saat melihat Bonita memelototiku dengan marah. Aku melirik Amaya, ia masih saja melempar senyum padaku seakan mengatakan bahwa tingkahku bukanlah masalah besar. Aku melambaikan tangan pada Amaya, disusul dengan tarikan Bonita yang tak tahan dengan teriakan para bayi. Kami berderap menuju luar ruangan tepat saat pintu terbuka diiringi dua suster yang tampak panik dan bingung dengan tangisan serempak yang terjadi. Aku meringis lalu meminta maaf berkali-kali, tak bermaksud menyusahkan mereka. “Amaya,” gumamku puas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD