Yang Tak Terlupakan

1618 Words
Satu tahun sebelumnya. Rutinitasku di weekend sejak pandemi, kalau nggak bantuin ayah merawat tanaman hidroponik, ya maraton drakor. Tapi berhubung adikku yang bekerja sebagai masinis kereta itu sedang off, jadi dia lah yang sedang menemani ayah menyirami ‘anak’ barunya. Sejak pandemi dua tahun lalu, ayah terpaksa pensiun meski masih kurang tiga tahun lagi sebelum usia pensiunnya. Banyak perusahaan yang pailit dan mengumumkan bangkrut, hingga terpaksa merumahkan seluruh karyawan. Ayahku salah satu karyawan yang terpaksa dipensiunkan karena kondisi itu. Sejak saat itu, ayah yang terbiasa beraktifitas pun mencari kegiatan lain. Teknologi memudahkan ayah mencari banyak hal di kanal youtube dan lainnya, hingga akhirnya beliau mencoba hal yang sedang hits di kalangan para pegiat tanaman. Awalnya kegiatan ini murni keisengan ayah dan sekedar menanam untuk diri sendiri, eh tapi kok hasilnya cukup memuaskan dan banyak. Mulai lah ayah membagikannya ke beberapa tetangga terdekat hingga saudara. Kemudian, tanpa disadari banyak juga orang yang ingin mencoba hasil panen urban farming ayah yang kecil – kecilan. Puncaknya ketika tukang sayur langganan ibu justru mulai mengajak ayah berbisnis dengan menjadikan ayahku sebagai suppliernya. Kegiatan yang diniatkan iseng itu pun berbuah menjadi sumber penghasilan baru untuk ayahku, sebagai anak, aku hanya dapat mendukung dan membantu sebisanya. Senin sampai Jumat aku memang masih bekerja, tapi pandemi sempat membuat pekerjaanku berkurang banyak. Kantor kekurangan orderan, meski masih membayar gaji kami secara rutin, tapi komisi dan tunjangan profesi yang kudapatkan merosot tajam. Tak kehabisan akal, aku memanfaatkan situs kerja remote demi mencari job. Lumayan banget pekerjaan sampingannya, paling nggak, jatah belanja parfum bulananku tidak downgrade. Aku sanggup berjalan keluar rumah tanpa make up dan alis, tapi tidak dengan wewangian. Dan sekarang meski keadaan sudah berangsur membaik, bisnis perusahaan tempatku bekerja tidak sepenuhnya membaik. Ingin resign, tapi perusahaanku saat ini adalah milik sahabat terbaikku Alex. Dia pemilik modal dengan dua orang lainnya, tapi yang kukenal hanya Edward. Satu orang lain katanya pengusaha ternama se-Asia Tenggara dan lebih suka identitasnya dibuat anonim. Edward menjadi Direktur Utama di perusahaan sekaligus pengontrol budget. Susah banget minta budget operasional darinya, kadang Alex harus menambahkan dari kocek pribadi kalau aku sudah sambat misuh dan ‘berdendang ria’. Hubungan kami rumit. Aku menyebutnya sahabat, tapi kadang sikapnya lebih dari itu. Mantan pacarku terakhir, Andra, bahkan memutuskanku karena kedekatan aku dan Alex yang dianggapnya tidak wajar. Aku dan Alex berteman sejak kuliah. Aku yang mendekatinya lebih dulu, karena Alex terkesan pemalu saat pertama kali bertemu. Dari sana mulanya kedekatan kami hingga kini. Bukannya aku buta atau tutup mata mengenai sikap Alex yang memang kadang tidak wajar dikatakan sebagai teman, bukan sekali – dua kali pula dia menolak perempuan yang menyukainya lebih dulu. Alex selalu mencari alasan dan kekurangan perempuan yang menyukainya itu ketika kutanya. Tapi, aku lah yang lebih tahu alasan dia mengada – ada itu semua. Perbedaan di antara kami begitu tinggi. Bukan lagi soal kasta atau background sosial, tapi masalah keyakinan. Aku pikir, jika sulit mengakhirinya nanti, sebaiknya jangan pernah memulai sama sekali. Maka dari itu, tak sekalipun aku memandang Alex lebih dari seorang teman. Bagaimana perasaannya terhadapku, biar menjadi urusannya. Toh Alex tidak pernah membuatku berada di posisi yang tidak nyaman. Dia tidak pernah menuntut apapun, seperti memaksaku membalas perasaannya atau melarangku dekat dengan orang lain. Dia bahkan saksi tunggal bahwa aku pernah mencintai seorang pria yang tidak seharusnya aku cintai. Saat itu pun Alex tidak menghakimi, ia hanya mencoba mengerti dan sabar mendengar segala cerita tidak pentingku. Sekarang setelah dewasa, kami menertawakan masa - masa itu dan ya Alex mendapat bahan untuk mengejekku semaunya karena hal itu. Bertahun – tahun kami kerja bersama, tak sekalipun Alex menyulitkanku. Sebaliknya, dia lah yang selalu menjadi ‘malaikat penolong’ di setiap kesulitan yang kuhadapi. Di dalam maupun di luar pekerjaan, siang ataupun malam. Seperti saran Kezia, sahabatku yang lain, aku tidak pernah menanyakan alasan Alex melakukan itu semua. Hanya menerimanya saja dan berterima kasih sesudahnya. Sebagai balasan, aku sering memasakkan makanan kesukaan Alex atau menemani maminya saat dirawat inap. Atau sekedar menemaninya nongkrong di luar saat dia butuh teman. Aku dan maminya masih berupaya menjodohkan Alex dengan Leonnore, salah satu teman yang ia kenal sejak kecil. Tapi hingga saat ini, aku belum melihat pergerakan Alex untuk menyambut perasaan Leonnore atau yang biasa kami panggil Lenny. Lenny juga sering mengatakan padaku bahwa dia iri denganku. Aku tidak mencintai Alex tapi mendapat seratus persen perasaannya. Sementara dia harus menanggung perasaan cintanya pada Alex sendirian dan aku tidak bisa melakukan apa – apa untuk membantunya. . . . Aku baru saja membaca pengumuman dalam grup alumni yang memberi kabar bahwa akan ada event akbar di kampus almamaterku. Baru selesai membaca banner informasi di grup alumni, chat masuk dari Kezia memberondong ponselku. Ia semangat turut meramaikan acara ini demi mencari inspirasi untuk pekerjaan kami, katanya. Namun panggilan masuk dari Alex mengalihkan niatku untuk membalas pesan dari Kezia. “Halo.” “Kamu sudah baca di grup alumni?” “Baru baca, ini Kezia juga langsung kirim chat.” “Bakal ada klien potensial juga di sana, Edward ikut nyumbang untuk acara itu. Jadi, kita memang harus datang.” Aku membulatkan bibir di sini mendengar informasi baru dari Alex. “Aku mau kagetin kamu. Jangan kaget ya?” Aku merespon dengan tawa lebih dulu permintaan Alex. Dasar nggak jelas. “Dih, jadi mau kagetin apa nggak?” Dia tertawa renyah di seberang sana. Kemudian Alex meneruskan pembicaraannya, informasi yang tidak hanya membuatku terkejut tapi juga gugup. “Dengar – dengar, mas Nusa yang jadi guest star-nya.” Mataku menatap pantulan wajahku sendiri dalam cermin rias. Wajah yang sudah banyak berubah dari jaman aku kuliah dulu. Segala lemak bayi yang dulu berkumpul di pipiku telah lenyap, menyisakan bentuk rahang yang tampak tegas. Kedua sudut bibirku tertarik tanpa sadar, mendengar namanya otomatis menarik memoriku ke masa di mana aku masih menjadi mahasiswa sosok yang telah membuatku merasakan jatuh cinta dan patah hati di waktu yang bersamaan. Elnusa. “Heh, jangan ngayal jorok kamu!” Alex menertawakan kalimatnya sendiri, membuyarkan lamunanku. “Kamu tahu dari mana kalau mas Nusa bakalan hadir di sana?” “Edward, terus anak – anak juga banyak yang sudah spill. Kamu saja kudet. Kurang update!” Ia mencibir, aku terkekeh saja. Pikiranku belum sepenuhnya kembali dari mengenang masa – masa mencintai mas Nusa. Dosen yang juga katanya senior kampus kami dulu. Sehingga panggilan untuknya hanya berupa ‘Mas’ alih – alih ‘bapak’ seperti dosen kami lainnya. “Besok ke kantor nggak?” Meski suara Alex cukup pelan, aku sedikit tersentak dengan pertanyaannya yang baru kusadari kami masih tersambung di telepon. “Ke kantor lah. Memang kamu nggak?” “Siang aku datangnya, ada janji. Sudah tahu kan kalau kita diajak kerjasama sebagai subkontraktor?” “Belum. Memang iya? Sudah sebegitu susahnya dapat project sendiri ya?” “Nggak juga sih. Kebetulan aja main kontraktornya perusahaan bonafid, Edward nggak mau melewatkan kesempatan.” “Dasar si mata ijo.” Aku mencela Edward, Alex menertawakan sikapku. “Mata ijo, mata ijo gitu, dia yang bikin roda perusahaan masih bergerak.” “Iya lah, takut nggak dapat cuan. Makanya effort banget.” Obrolan kami beralih dengan me-review Edward yang kuakui sangat money oriented dan nggak heran dia melebarkan sayap kemana – mana untuk mencari project bagi kantong perusahaannya. Cuma kadang – kadang dia terlampau perhitungan, bikin kita semua karyawannya agak kesel. Namanya juga bekerja dengan mencari tender, entertainment buat calon klien potensial adalah hal wajib dan Edward sangat—sangat tidak ramah untuk pengeluaran yang bersifat entertaint itu. Tak terasa baterai ponselku memberi notifikasi butuh tambahan daya, aku mengabari Alex untuk istirahat juga. Waktu juga sudah beranjak tengah malam. “Yaudah tidur sana, biar besok pagi pup-nya lancar.” Spontan aku terkekeh dan memaki, “juaaancookk!” Alex mematikan sambungan telepon lebih dulu setelah terbahak menertawai reaksiku yang spontan memakinya. Aku bukan orang Jawa Timur, Alex lah yang berasal dari Surabaya dan cara bicaranya hingga kini masih medok Jawa Timuran. Dia juga yang mengajariku cara memaki seperti barusan. Bukannya langsung tidur setelah mencolokkan hape pada chargerannya, aku malah meraih scrapbook yang kususun saat lulus kuliah dan membuka lagi foto – foto di mana ada mas Nusa di dalamnya, juga beberapa photocard hasil jepretannya. Ingatanku membuka kenangan tentang bagaimana aku berhasil mendapatkan photocard itu dan menertawai kekonyolanku saat itu. Tentu saja aku banyak mempelajari mata kuliah yang dibawakan mas Nusa, membaca berbagai buku hingga tengah malam hanya untuk memberinya kesan ‘pintar’ dan berhasil menjadi mahasiswa yang namanya selalu disebut setiap ia mengisi kelasku. Bagaimana saat kami bertemu kembali setelah sekian lama? Entah. Entah ia masih mengingatku atau tidak. Entah rasanya masih akan sama atau tidak. Entah senyumnya apakah masih berefek pada detak jantungku, atau tidak. Meski bekerja dalam bidang yang tidak jauh berbeda, aku tidak pernah bertemu dengannya setelah wisuda. Bahkan sekedar berpapasan di jalan pun, tidak pernah terjadi. Sama sekali. Seolah semesta memang memisahkan kami, menuntutku untuk melupakannya dan mencari hati lain yang bisa kuberi. Banyak kabar simpang siur kudengar, seperti, katanya mas Nusa melanjutkan studi ke luar negeri. Ada juga kabar soal dirinya bergabung dengan perusahaan bergengsi di Negara tetangga dan masih banyak lagi. Tapi tidak ada satu pun kabar yang berusaha aku pastikan, karena Alex tidak pernah membiarkan perasaanku yang haram tercipta itu berkembang. Namun, mendengar namanya lagi setelah sekian lama memunculkan debaran lain yang berbeda. Gugup, cemas dan khawatir menjadi satu. Gugup, karena meski aku yakin cukup pintar menyembunyikan perasaan, namun aku tidak benar – benar yakin dapat mengontrol wajah saat berhadapan dengannya. Dan sebab itu, aku selalu khawatir bahwa mungkin mas Nusa mengetahui soal perasaanku tapi cukup bijak dengan tidak pernah mengkonfirmasinya. Tapi, bagaimana kalau ia justru sama sekali telah lupa? Ada harapan yang terbersit di hatiku untuk diingat, meski sekedar sebagai mahasiswa yang pernah mengikuti kelasnya. ©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD