Hidup Yang Berjalan Mundur

1985 Words
Ini adalah hari yang kutunggu – tunggu setelah membaca informasi tentang event besar di kampusku dulu. Menghadiri sebuah event di mana mantan crushku sebagai bintang tamunya. Pertemuan yang tidak pernah berani kubayangkan ini akan terjadi akhirnya. Nggak masalah meski harus muncul dengan perasaan yang masih rahasia, aku hanya ingin menunaikan rindu yang mendera sejak beberapa tahun lamanya. Tentu saja, aku ingin meninggalkan kesan untuk mas Nusa dan berupaya tampil semenarik mungkin. Peduli amat dia akan membalas perasaanku atau tidak, asal dia ingat, itu cukup untukku. Lagipula, aku tidak pernah berniat sedikit pun untuk merusak rumah tangganya yang harmonis. “Kamu mau kemana pagi – pagi begini? Kerja atau kondangan?” Aku bertemu ibu yang kini meneliti penampilanku dari kepala hingga kaki dan kembali sambil berdecak sebelum meneruskan langkahnya menuju meja makan. Aku melihat lemari kaca tempat ibu menyimpan banyak pajangan untuk melihat bayanganku dalam pantulan kaca. Apakah dandananku berlebihan? Kepercayaan diriku merosot seketika, aku pun kembali ke kamar dan melihat ulang make up yang sudah kuaplikasikan. Akhirnya aku menghapus lagi bedak plus concealer plus primer, juga bibir yang telah kupulas lipstik berwarna Scarlet. Aku ingin menghadirkan kesan yang lain di pertemuan (pertama) ini dengan mas Nusa. Setelah sekian lama kami tidak bertemu. Tapi dia kan masih married, bisik hati yang ingin kuingkari. Aku memastikan lagi kali ini dandananku tidak akan berbuah komentar yang sama dari siapapun, baru lah aku keluar kamar dan menuju ruang makan untuk sarapan. Ibu tersenyum melihatku menghapus dandanan. Adik laki – lakiku sudah berangkat kerja jam empat tadi pagi, dia bertugas pagi hari ini. Belum kulihat ayah keluar dari kamarnya, meski ibu sudah memanggil – manggil sejak tadi untuk sarapan bersama. “Coba tengok ayahmu, Ra, tumben. Sedang apa, kok nggak nyahut dari tadi.” Aku berdiri dan menuju kamar kedua orangtuaku untuk mengajak ayah sarapan bersama. Pintu kamar terbuka sedikit namun tidak ada suara ayahku di sana. Aku mendorong daun pintu lebih lebar dan mendapati tubuh ayah sudah terbujur kaku di samping kasur. Spontan aku menjerit memanggil ibu dan histeris dalam waktu yang bersamaan. Terlambat. Ketika berhasil mengumpulkan kesadaran dan mencoba membangunkan ayah, aku tidak lagi merasakan denyut nadi hingga tarikan napas. Kedua kakiku lemas, namun, ibu ambruk pingsan di hadapanku. Otakku blank seketika. . . . Saat ini. Kepergian ayah meninggalkan duka yang mendalam pada keluarga kami, terlebih pada ibu. Ibu tidak sanggup lagi tinggal di rumah, di mana banyak kenangan ayah tertinggal. Hingga aku pun memutuskan resign dari tempatku bekerja dan pindah ke kampung ibu semasa kecil sebelum diboyong ayah ke Jakarta. Aku melihat hidupku berjalan mundur di usia yang sudah kepala tiga ini. Namun, aku ikhlas jika harus menemani ibu di kampung halaman. Meski bukan tempat yang kuinginkan untuk melanjutkan hidup, selama bersama ibu, aku yakin duniaku masih baik – baik saja. Dari semua orang, Alex lah yang paling sedih dengan kepindahanku. Ia memaksa ingin mengantarkanku ke kampung halaman kami dan kutolak sekuat tenaga. Sudah waktunya kami menjauh, aku ingin Alex menemukan jodohnya dan menikah seperti yang diharapkan kedua orangtuanya. Jika terus bersama, besar kemungkinan Alex tidak memikirkan pernikahan. Jadi, di sinilah aku sekarang. Desa pesisir yang kecil dan jauh dari hiruk pikuk khas kota besar. Menemani ibu sambil pasrah dinafkahi adik laki – laki semata wayang. Meski begitu, aku masih mendapatkan job freelance dari berbagai website yang menyediakan wadah bekerja secara remote. Selama ada internet, masih banyak cara untuk bekerja, berkarya dan berpenghasilan. Sebulan pertama aku di sini, Alex masih rajin menghubungi hingga meminta alamat ini berkali – kali dengan dalih ingin mengunjungi aku dan ibu. Permintaannya kutolak terus dan sekarang, ia berhenti menghubungi. Aku masih berkomunikasi dengan Kezia, ia terus membujukku untuk kembali bekerja di Ibukota. Bekal ilmu ayah tentang tanaman hidroponik, aku coba terapkan selama tinggal di desa. Meski hasilnya jauh dari sempurna, setidaknya kami tidak perlu membeli sayur karena memiliki hasil panen sendiri. Belum bisa dijual, karena aku memang hanya sekedar mencoba. Usiaku menginjak 32 tahun, namun ibu tidak pernah sekalipun mendesakku untuk segera menikah. Mungkin ibu masih butuh teman, meski di rumah peninggalan nenek ini kami tidak hanya berdua. Masih ada keluarga pamanku yang memang menempati rumah ini sejak lama. Tapi rumah ini besar memanjang dan memiliki banyak kamar. Rumah yang memang selalu dijadikan tujuan saat momen besar seperti lebaran. Dulu saat nenek dan kakek masih lengkap. Kini, hanya keluarga pamanku saja yang tinggal dan menjaga rumah ini. Namun mereka selalu mengizinkan ibu dan aku tinggal di sini. Katanya, ini tetap rumah ibu juga. Keluarga ibu memang tidak pernah meributkan rumah peninggalan orangtuanya. Secara, ibu hanya tiga bersaudara. Kakak ibu yang tertua menikah dengan pria asal Malaysia dan menetap di sana. Sementara ibu dan ayahku memiliki rumah di Jakarta, sehingga kebutuhan akan rumah di kampung halaman tidak terlalu mendesak. Dan pamanku, yang kurang beruntung secara finansial, memang hanya bergantung pada hasil Bumi sebagai penghasilan ini pun membuat ibu dan kakaknya tidak pernah mengusik tentang di mana paman tinggal. Mereka justru bersyukur karena paman menjaga rumah nenek, memperbaiki yang sudah usang dan tetap mempersilakan semua keluarganya yang datang untuk menempati beberapa kamar yang justru kosong di hari – hari biasa. Hingga suatu malam, ibu mengajakku bicara. “Gimana kerjaan online kamu? Menghasilkan banyak?” “Nggak sebanyak kerja reguler siy, Bu. Kebanyakan kerja remote sekarang mencari para ahli di bidang IT dibanding arsitek.” “Tapi lumayan kan?” “Iya, lumayan lah. Nggak terlalu nungguin transferan dari Zayn banget.” Candaku, ibu mendorong lenganku sambil tertawa. “Ngomong – ngomong soal Zayn, Ibu kepikiran terus sama adek kamu itu. Sakit – sakitan terus sejak kita tinggal.” Aku terdiam sambil menunduk dan memandangi pewarna kuku yang sudah pudar di tanganku. Pewarna kuku hasil bermain dengan adik sepupuku yang masih duduk di bangku SD. Ya aku tidak memiliki teman sebaya yang masih lajang di sini. Rata – rata perempuan seumuranku sudah memiliki anak paling sedikit dua. Mereka bahkan terkejut ketika mengetahui usia dan status lajangku ini. Iya, aku si wanita langka di desa kecil ini. “Terus?” “Ibu sudah terbiasa lagi tinggal di sini. Kamu bisa kembali ke Jakarta, temani adikmu dan bekerja lagi seperti dulu.” Aku menghembuskan napas, mengangkat wajah dan menatap mata ibu. Kupandangi setiap inci wajah Ibu. Wajah yang telah diubah oleh masa, yang menunjukkan betapa ibu telah melalui banyak hal dan tahun. “Lebaran kita kumpul lagi di sini. Tapi sekarang, kamu bisa kerja di kantor seperti sebelum datang kesini.” Kemudian aku teringat jadwal kerja adikku yang tidak reguler seperti orang kantoran pada umumnya. “Zayn mana bisa ambil cuti saat Lebaran sih, Bu.” “Ya kamu saja, Zayn bisa nyusul kalau itu sih.” “Ibu yakin, nggak apa – apa aku tinggal?” “Nggak apa – apa. Ibu mau ikut jualan ikan nanti sama bibimu, biar nggak bengong terus.” “Iya. Ibu harus banyak gerak juga, biar badannya nggak kaku.” “Iya.” Ibu memelukku, aku mengusap punggung ibu dengan lembut. Ibu sudah berusaha merelakan ayah dan aku harus percaya bahwa ibu memang telah baik – baik saja. Hampir setahun juga aku tinggal di sini, jujur saja, aku bukan gadis desa. Di sini cukup membosankan meski masih memiliki pemandangan yang indah. Aku juga sering bermain ke pantai dengan adik sepupuku sekedar untuk melihat matahari terbenam, tapi ya hanya itu hiburan yang bisa kulakukan. Sesekali aku belanja di pasar ikan dan membuat acara sendiri dengan para adik sepupu di rumah seperti memanggang ikan atau merebus kerang. Tapi, aku sangat merindukan Jakarta dan hiruk pikuknya. Rindu bekerja dari jam delapan pagi hingga tujuh malam, kalau sedang senggang bisa kabur jam empat sore. Meski harus bermacet – macetan setiap pagi, tapi rasanya semua itu termaklumi apabila malamnya bisa hangout bersama circle-ku di coffee shop atau sekedar menikmati acara live music di berbagai kafe. Dan sekarang ibu sudah bisa kutinggal dengan tenang, kutitipkan pada pamanku yang tak lain adalah adik kandung ibu. Dengan dalih menemani Zayn, sesungguhnya aku hanya ingin keluar dari desa kecil ini. Aku tidak sabar menghubungi Kezia dan langsung menekan nomor kontaknya segera. “Zoraaaaaa.. Zoraa, Zoraa, Zoraaaaa...Lo udah jadi istri kapten mana sih sampe betah banget di sana?” Aku tergelak mendengar tuduhannya yang tak berdasar itu. Yakaleee menikah tanpa mengundang – undang miss rempong satu ini. Paling nggak harus mendaulat dia menjadi salah satu bridesmaid-ku lah. “Istrii, istrii.. masih is one gue nih!” “HAHAHA. Eh eh, Raaa, ada kabar baik dan buruk nih yang harus lo denger. Lo mau yang mana dulu?” “Yah ampun, harus banget balance gitu kabarnya setelah sekian lama gue mau kasih kabar baik?” “HAH? APAAN KABAR BAIK DARI ELO? Tuh kan, diem – diem kewong lo yaaa?” “Dasarrrr. Kawin mulu pikiran lo. Hahaha. Lo dulu lah, yang buruk dulu deh. Jadi kalau buruk banget, bisa ditutupi pakai yang baik.” “DIH!” Kezia terbahak di seberang sana, aku nyengir lebar di sini seraya mengoleskan aloe vera ke seluruh wajah. “Are you ready?” “Yep.” “Kubus Creative kollaps.” “Serius?” Kubus Creative adalah perusahaan tempatku bekerja dahulu, yang juga dimiliki Alex dan Edward. Aku benar – benar tidak pernah mendengar kabar tentang mereka sejak memutuskan off dari sosial media dan tidak lagi merespon Alex. “Serius. Meskipun gue dengar Edward lagi coba cari pemodal lagi, tapi sudah banyak yang dirumahkan.” Aku ingin bertanya tentang kabar Alex, bagaimana dia sekarang. Meski aku tahu Alex akan bisa bangkit lagi jika Kubus Creative sungguhan tutup. Ayahnya adalah pengusaha kawakan yang sudah sering diulas dalam majalah – majalah kewirausahaan. “Semoga mereka bisa bangkit lagi ya, Ceu.” “Alex sih gue yakin bisa, kalau Edward, mungkin paling pahitnya banting stir atau jadi employee lagi. Tapi sekelas dia minimal GM lah, paling nggak C level kali ya. Nggak mungkin jadi staf kan.” “Iya sih.” “Terus kabar baiknya nih. Gue nggak yakin ini baik atau buruk sih buat elo.” Nada ragu Kezia mencuri perhatianku yang semula masih memikirkan Kubus Creative, kini semakin penasaran dengan kabar baik yang ia maksud. “Apa kabar baiknya? Semoga mengobati kekagetan gue soal Kubus.” “Huummm... Are you sure?” “Yeah...soal apa?” “Alex.” “Iya?” Aku menunggu dengan jantung berdebar kencang. Aneh. Nama Alex meninggalkan kesan seperti ini sungguh aneh. Iya aku merindukannya, tapi bukan berarti aku begitu ingin bersamanya. Hanya saja, ini terasa aneh. Aku khawatir kabar baik yang dimaksud Kezia justru buruk untukku. “Alex engaged. Finally.” Aku terdiam selama beberapa detik. Entah bagaimana harus meresponnya. Tentu saja aku harus senang dan bahagia jika akhirnya Alex menemukan belahan jiwanya. Tapi, rasa apa ini? “With who?” “With her!” Suara excited Kezia memberikan clue yang sangat mudah kutebak. “Leonnore?” “Of course. Siapa lagi?!” Dia ikut senang mendengarnya, tapi mengapa aku tidak? Bukan kah aku selalu berharap mereka berdua bisa menikah dan bahagia? Karena tentu saja aku dan Alex berbeda. “Akhirnya yah, Ceu. Gue nggak nyangka waktu tahu – tahu lihat insta story Lenny udah tuker cincin ajeee. Gileee si Alex, nggak ada elo, nggak ada tuh nyenggol – nyenggol gue di wa sekedar kabarin soal ini.” Aku bergumam dan mengatakan pada Kezia bahwa ibu menyuruhku untuk kembali ke Jakarta menemani Zayn dan bekerja seperti dulu. Mendengar kabar itu, Kezia langsung semangat mengatakan akan membantuku mencari pekerjaan. Dia bahkan menyarankan aku untuk melamar di kantornya yang sekarang. Selesai berteleponan dengan Kezia, aku melihat pesan terakhir Alex yang tidak kurespon sama sekali. Pesan yang menyatakan bahwa ia mencintaiku, sangat mencintaiku dan berharap aku memberinya kesempatan untuk menjadikannya kekasih. Sayangnya, aku enggan merespon karena aku tahu, aku pun demikian. Mencintai Alex sangat mudah, menyatukan perbedaan kami, itu lah yang membuatku enggan melangkah. Semoga Alex dan Lenny bahagia selamanya, bagiku, Alex adalah pria sempurna yang jika saja kami memiliki keyakinan yang sama, tanpa ragu aku akan menyerahkan hatiku padanya. ©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD