Part 3 – Tragedi Gadis Muda
Hampir setahun kutinggalkan, tidak ada yang berubah di rumah kami kecuali halaman depan yang semua menjadi lahan hidroponik ayah kini berubah menjadi lapang. Hanya ada 1 mobil dan 1 motor adikku yang terparkir di sana.
Untung aku tidak membawa semua baju – baju ke kampung saat pertama kali pindah ke sana, sehingga tidak perlu repot – repot membawanya kembali. Masih banyak baju di dalam lemariku dan kutinggalkan di kampung yang resmi menjadi rumah kedua, aku pasti akan sangat sering bolak balik ke sana untuk menemui ibu.
Adikku meletakkan kunci mobil di gantungan kunci, dia menjemputku di stasiun setelah selesai shift. Usianya dua puluh tujuh, tapi masih jomlo. Tiap kutanya kenapa nggak pacaran, alasannya hampir tidak punya waktu untuk berkenalan dengan orang baru. Tiap libur, dia justru lebih suka melepaskan penat dengan menjalani hobinya atau berkumpul dengan teman – teman genknya semasa SMA yang masih akrab hingga sekarang.
Ibu dan ayah memang sejak dulu tidak pernah menuntut anak – anaknya untuk segera menikah sih, paling mereka hanya ngecek dengan bertanya apakah kami berdua normal. Yang dahulu, selalu kami jawab dengan kesal bahwa tentu saja kami normal. Hanya saja sangat pemilih dalam mencari pasangan, sepertinya itu juga alasan Zayn, adikku.
“Makan apa, Kak? Gue jarang belanja. Seringnya beli online.”
“Makan di luar aja yuk.”
“Capek gue. Elo aja beli naik motor deh.”
“Ih males, gue juga capek naik kereta.”
Zayn tertawa, “tapi lo kan penumpang. Duduk manis doang. Lha, gue yang bawa.”
Iya sih, tapi tetap saja melelahkan naik kereta selama lima jam meski hanya duduk manis.
“Yaudah pesen aja deh.”
Hal pertama yang kulakukan sambil menunggu pesanan makan malam kami adalah mencari lowongan kerja di berbagai situs job hunter. Diiringi backsound musik yang diputar adikku, aku memperbaiki CV sambil bertukar pesan dengan Kezia dengan memberitahu bahwa aku sudah di Jakarta lagi. Responnya antusias untuk mengajakku hangout dan janjinya untuk merekomendasikanku di kantornya yang sekarang. Aku belum tahu di mana Kezia bekerja, dia hanya bilang bahwa perusahaan ini adalah main kontraktor di tempat dia sebelumnya.
Dia juga bilang bahwa salah satu senior kami lah pemiliknya, tapi dia yakin aku tidak akan mengingat senior itu katanya. Meski yah mungkin saja, tidak banyak senior kampus yang kukenal memang. Akhirnya aku pun memilih menelpon bestieku itu. Sambil kepoin kantornya Kezia, aku meminta clue – clue agar bisa lolos di sana.
“Gampang. Bilang saja alumni kampus kita, pasti lolos. Hohoho.”
“Segampang itu?”
“Iya segampang itu. Katanya mau bantu alumni sih. Sayang banget banyak yang banting stir kemana – mana kan abis covid tuh, sepi kan sektor ini.”
“Huum. Gue bold deh di bagian pendidikan.”
Saat pesanan makan kami datang, aku memutuskan telepon Kezia dan janjian untuk bertemu keesokan harinya.
“Gimana penumpang commuter line, udah normal banget ya?”
Zayn menaikkan sebelah alisnya, menanggapi pertanyaanku yang mungkin terdengar bodoh. Jadi, aku menertawakan pertanyaanku sendiri.
“Maksud gue, orang kan udah pada WFO lagi.”
“Udah lama kali. Eh lupa, lo kan di kampung ya kemarin.” Dia terkekeh sendiri, aku berlagak hendak memukulnya pakai p****t sendok. “Gimana semua orang di kampung?”
“Sehat.”
“Gitu doang?”
“Lo mau jawaban gimana lagi memang?”
“Ibu gimana?”
Padahal kami sudah membicarakan ibu selama di perjalanan dari stasiun ke rumah.
“Mau ikut jualan ikan katanya sama paman.”
“Kok? Lo kasih? Ntar kalau kecapekan gimana?”
“Mending capek karena jualan daripada capek hati berduka. Ibu sendiri yang mau biar nggak bengong terus katanya.”
“Huumm. Yaudah nanti ingetin gue kiriman vitamin buat ibu.”
“Besok lo kerja bawa apa? Gue mau ngelamar kerja.”
“Secepat ini?”
“Eh gue nganggur hampir setahun ya.”
“Ya kali masih mau rebahan dulu lo.” Ucap adikku.
“Udah kenyang rebahan gue di kampung.” Sahutku ketus, dia tergelak sendiri sambil menjilati tangannya yang berlumuran sambal ayam bakar.
“Pedes nih tangan gue nantinya.”
“Lo barbar banget sih makannya.”
Kami berbincang seputar issue – issue terkini dan baru kusadari, aku ketinggalan banyak banget ternyata. Off dari sosial media memang menenangkan sekaligus membingungkan di era digital ini. Tapi aku menyukai ‘ketinggalanku’ ini. Biasanya sepanjang perjalanan di manapun, aku akan menghabiskan waktu dengan scroll laman i********:, kali ini aku memilih buku untuk k****a sampai tuntas. Seperti di perjalanan tadi siang pun, aku membawa Norwegian Wood milik Haruki Murakami dan berhasil menuntaskannya.
Dan kini, aku keranjingan membaca karya – karyanya yang lain. Sayangnya, aku harus berpenghasilan terlebih dahulu untuk kembali berburu berbagai bacaan yang ingin k****a karena adikku pasti akan protes kalau aku terlalu demanding untuk hal yang sifatnya memuaskan hobi.
.
.
.
Kami berpelukan. Aku dan Kezia, setelah sekian purnama tidak bersua. Aku mengomentari banyak perubahan baik pada dirinya, seperti bobotnya yang bertambah dengan baik. Oh ya, dia struggle banget untuk menambah berat badannya karena sejak kuliah dirinya memang bertubuh kurus dan dia tidak menyukainya. Jadi, aku bisa bilang kali ini dia sukses menambah bobot dengan berolahraga.
Sedikit banyak dia bercerita soal pacar barunya yang berprofesi sebagai trainer di sebuah Gym yang cukup populer. Pacarnya memberikan pengaruh baik karena akhirnya anak malas ini mau juga disuruh bergerak untuk menambah massa otot.
“Tapi lo kok malah makin kurus sih, Ra.” Dia menatapku sedih, sambil memegang rahangku yang hampir tidak lagi berdaging.
“Harusnya gue gemuk ya, secara jobless, Bok!” Aku memegang kedua pipi dengan gaya sok imut, Kezia mencubit pipiku dan berkata akan mentrakirku siang ini untuk perbaikan gizi katanya.
Dasar memang!
“Anyway, gue cuma bisa sampai jam 2 nih. Ada janji sama klien di kantor mereka. Uhhmm, lo bisa temui bagian HR –nya saja langsung, tadi gue buatin janji.”
“Jam 2-an nggak apa – apa?”
“Nggak apa – apa selama masih jam kerja, Ceu. Dia pulang jam 5 pokoknya.”
“Yaudah.”
Kezia pamit setelah mendapatkan beberapa kali telepon dari kliennya yang memastikan janji temu mereka, aku pun tidak menahan Kezia dan janji akan menghubunginya setelah berhasil interview.
Kantor Kezia terletak di sebuah gedung yang menyatu dengan pusat perbelanjaan. Dia memang perencana terbaik, dengan menentukan tempat janjian di mall dekat kantornya yang membuat aku tidak perlu berkendara lagi untuk menuju kantor yang akan kukunjungi untuk mencoba melamar posisi yang disebut Kezia sedang kosong.
Selepas kepergian Kezia menuju kantor kliennya, aku beranjak menuju bangunan yang telah disebutkan bestie-ku itu. Lumayan jauh juga jika berjalan kaki dari mall tempat kami janjian, karena luasnya pusat perbelanjaan ini. Motorku di parkir dalam parkiran mall, agak effort saat mau pulang nanti. Hiks.
Nggak apa – apa lah, daripada harus keluar parkir dan masuk ke dalam parkiran gedung perkantorannya malah ribet. Mana puterannya jauh banget, ngabisin bensin.
Aku berbicara dengan resepsionis agar diberikan kartu pengunjung, ia meminta KTP dan langsung kuberikan untuk bertukar dengan akses memasuki gedung ini.
Mungkin karena sudah lewat jam makan siang, aku hanya bertemu beberapa orang saat menunggu lift. Ada anak sekolah juga, berseragam putih – putih namun aku bisa melihat emblemnya. Dia masih SMP. Pintu lift terbuka, aku dan dua orang lainnya termasuk siswi SMP itu memasuki lift yang sama.
Aku menekan tombol lantai 7 dan berdiri di pojok lift untuk menunggu. Pandanganku tertuju pada bagian belakang rok anak SMP yang berwarna putih, terlihat kontras sebuah noda berwarna merah yang agak besar. Spontan aku menyadari bahwa anak ini mungkin sedang datang bulan dan tidak menyadarinya. Aku pun menyentuh bahu anak itu, sambil sedikit berbisik.
“Dek, kamu sedang menstruasi. Darahnya rembes ke rok.”
Anak itu spontan menoleh ke arahku dengan wajah pucat, ia melirik laki – laki yang berada di seberang kami dengan wajah takut. Aku menyentuh bahunya, ingin membuat dia tenang dan tidak khawatir.
“Jangan panik, kamu bawa pembalut?”
Pintu lift terbuka di lantai 3A, laki – laki yang bersama kami turun lebih dulu dan pintu menutup kembali. Anak pelajar di hadapanku menggelengkan kepala.
Aku pun mencari stok pembalut yang sering kubawa untuk situasi darurat di dalam tas dan menemukannya.
“Ini, Kakak punya. Nanti kamu pakai ya. Sekarang, jaket kamu dilepas saja untuk nutupi ini.”
Ia mengikuti saranku, aku membantunya mengikatkan jaket itu di pinggangnya yang kecil untuk menutupi noda darah pada rok putihnya.
“Nggak bawa baju ganti juga?”
“Nggak, Kak.”
“Humm. Kamu ada perlu apa di sini?”
“Mau ketemu papa aku.”
“Humm. Sama – sama ke lantai 7?” Ia mengangguk lagi.
“Aku nggak tahu caranya pakai ini, Kak.” Ia berbisik.
Aku terenyuh, apa ibunya tidak pernah memberitahu soal ini? Ini pasti menstruasi pertamanya.
“Nanti kamu coba telepon mama kamu saja, tanya ke mama ya.”
Dia terdiam selama beberapa saat, kemudian seperti terisak ia menjawab.
“Aku sudah nggak punya mama, Kak.”
Ya Allah, salah aku.
“Maaf, Dek, maaf ya. Kakak nggak tahu.”
Ia mengangguk.
“Nanti aku tanya papa saja.”
Namun, aku tahu rasa canggungnya membicarakan soal kewanitaan dengan laki – laki meskipun ayahmu sendiri. Jadi, aku berinisiatif untuk membantunya.
“Yaudah gini saja, nanti di toilet lantai 7, Kakak bantu kamu untuk kasih tahu cara pakai ini ya.”
“Beneran, Kak?”
“Iya.”
“Makasi ya Kak.”
Pintu lift terbuka seiring aku menganggukkan kepala merespon ucapan terimakasihnya, kami melangkah keluar bersama. Aku melihat pintu kantor yang akan kutuju, namun memilih untuk menunaikan janjiku mengajarkan anak ini soal menggunakan pembalut.
“Nama kamu siapa ngomong – ngomong?” Dia menunjukkan name tag yang terjahit di seragamnya, sambil mengucapkan nama itu.
“Nadia, Kak.”
Aku membaca namanya, Nadia Khairunnisa F.
“Aku Zora, Nadia kelas berapa?”
“Kelas tujuh, Kak.”
Kami sudah berada di toilet, untung lah sedang sepi. Hanya ada kami berdua di dalam sini. Aku membuka jaket yang menutupi rok Nadia, rembesannya melebar. Aku pun membuka hape dan aplikasi youtube untuk mencari contoh visual cara memakai pembalut dan menunjukkannya pada Nadia. Ia cepat mengerti, ia menitip tasnya yang kuletakkan di marmer wastafel dan mempersilakan ia memasuki bilik toilet.
Sambil menunggu Nadia, aku memperhatikan tas berwarna biru telur asin yang dibawanya. Terdapat beberapa aksesoris artis Korea yang tidak kukenal. Aku tersenyum, mudah sekali mencari teman yang sama – sama menyukai seputar artis Korea. Aku menyukai drama – dramanya dan beberapa penyanyi yang menurutku suaranya bagus banget.
Pintu bilik terbuka, Nadia tersenyum kecil di sana.
Roknya memang tidak tertolong, makanya aku tetap memakaikan jaketnya untuk menutupi bagian belakang rok Nadia.
“Sementara ditutup pakai jaket ya, Nad. Kalau sudah sampai rumah langsung dicuci saja roknya.”
“Nodanya bisa hilang, Kak?” Ia menatapku ngeri.
“Bisa kok, direndam saja pakai detergen. Agak lama rendamnya, nanti pudar sendiri.”
“Terima kasih banyak ya, Kak.” Ucapnya tulus, aku mengangguk dan menepuk punggungnya.
“Sekarang, Kakak pamit ya.”
“Kakak kerja di sini? Nama kantornya apa?”
“Uhm baru mau melamar kerja sih di Matahari Nusantara, tadi Kakak sudah lihat kantornya. Sebelah kanan dari lift tadi.”
“Papaku juga kerja di sana.”
“Oh. Oke, kita bareng saja kalau gitu.”
“Yuk.”
Nadia menyampirkan tasnya, kami berjalan menuju kantor dengan tulisan Matahari Nusantara. Kantor yang disebutkan Kezia untuk aku sambangi. Tidak ada resepsionis yang menyambut kami di depannya. Sepertinya Nadia sudah sangat terbiasa keluar masuk kantor ini, ia menarik lenganku melewati pintu depan dan berjalan di lorong menuju ruangan lain.
Sesampainya di sebuah ruangan luas dengan banyak bilik kerja, Nadia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan beberapa ruangan tertutup yang berada di sisi kiri.
Seseorang mendekat dan menyapanya.
“Halo Nadia, mau ke ruangan papa ya?”
“Halo, Om. Iya, papa ada kan?”
“Ada.”
Pria itu memandangiku, aku menganggukkan kepala dan teringat pesan Kezia yang memintaku untuk menemui seseorang bernama Debby.
“Maaf, Mas. Yang namanya mbak Debby, yang mana ya? Saya sudah buat janji temu via Kezia.”
“Oh, temannya Kezia yang mau ngelamar ya?”
Aku menganggukkan kepala.
“Debby masih meeting kayaknya, Mbak tunggu saja duduk di sana.” Ia mengarahkan tangannya ke dua set sofa dan meja yang tampak seperti ruang tunggu. Setelah mengucapkan terima kasih pada pria yang menyapa Nadia ini, aku pun meminta Nadia menemui papanya sementara aku akan menunggu interviewer-ku seperti yang diinstruksikan.
Pria itu berlalu setelah mengatakan pada Nadia untuk langsung menemui papanya.
“Nad, Kakak tunggu di sini saja. Nadia temui papa Nadia saja.”
“Itu ruangan papa aku, Kak. Nanti aku balik lagi ya, temani Kakak.”
Aku mengangguk dan duduk di atas sofa. Nadia berjingkat memasuki ruangan yang ia tunjuk tadi, ruangan dengan pintu tertutup dan kaca yang ditutupi gorden horizontal blinds. Meski tidak tertutup rapat gordennya, memang kesulitan melihat ke dalam ruangan itu tanpa mendekat.
Tanpa mengetuk, Nadia memasuki kantor papanya sambil berteriak riang.
“Papaaaaa!” Membuatku tersenyum sendiri.
Tentu saja hal itu mengingatkanku pada ayah yang sudah tiada. Menyenangkan rasanya apabila masih memiliki seseorang yang kita panggil ‘ayah’.
©