Aku mengabari Kezia, mengatakan bahwa aku sedang menunggu mbak Debby yang dia maksud. Ia membalas dengan stiker jempol. Ruangan ini sepi, meski bisa kutebak mungkin ada empat atau lima staf yang mengisi ruangan ini seharusnya. Dan dua ruangan terpisah lain yang tertutup, satu ruangan yang dituju Nadia, pasti pimpinan perusahaan ini. Ia memiliki ruangan paling besar, lebih besar dari ruangan yang bersebelahan dengannya.
Pintu ruangan yang paling besar itu kembali terbuka, Nadia muncul sambil menggandeng lengan seorang pria dewasa. Itu pasti ayahnya.
Aku tersenyum pada Nadia ketika ia melambaikan tangan padaku dan mendekat sambil memaksa laki – laki dewasa di belakangnya mengikuti langkahnya. Sambil berdiri untuk menyambut mereka, pandanganku teralih pada sosok yang ditarik Nadia dan sekejap waktu terasa melambat.
Laki – laki tinggi ramping itu melepaskan kacamata kotak frameless yang semula bertengger di hidungnya yang mancung dan meletakkannya di saku kemeja putih yang ia kenakan. Aku merasakan tarikan lain bernama kenangan saat menelusuri gurat – gurat usia di wajahnya yang tidak semuda dulu, namun masih menarik netraku untuk terus memandangi wajah itu dengan rakus. Napasku tertahan seiring langkahnya yang semakin mendekat. Ia mengerutkan kedua alisnya saat menatapku, rasa gugup menyerangku tiba – tiba.
Apakah mas Nusa adalah senior yang dimaksud oleh Kezia?
Oke, Kezia memang tidak pernah mengetahui rahasia perasaanku pada sosok ini. Wajar jika menurutnya aku tidak akan ingat senior yang dia maksud itu. Aku butuh ruang untuk bernapas, namun tidak memiliki kesempatan saat suara yang pernah kurindukan itu menyapa.
“Halo.”
“Ini, Pa, kak Zora. Yang bantu Nadia tadi.”
“Nama kamu nggak asing, ternyata benar.” Aku terkesiap, menahan napas sambil menunggu ia melanjutkan perkataannya. “Kamu pernah menjadi mahasiswa saya, kan?”
Aku butuh disadarkan, tolong.
Nadia menyentuh lenganku, seketika aku mendapatkan kembali fungsi saraf motorik dan bergegas menyambut uluran tangan mas Nusa yang masih menggantung di hadapanku.
“Mas Nusa. “ Cicitku, ughhh.
Aku bahkan bisa merasakan wajah ini memanas.
“Hahaha, kamu masih ingat saya rupanya. Apa kabar, Zora?”
“Papa kenal kak Zora?” Pertanyaan heran Nadia berhasil membantuku mengatasi rasa gugup ini.
“Kenal dong, dulu kak Zora pernah jadi mahasiswa Papa.”
“Iya Kak?”
Aku mengangguk dan menjawab pertanyaan mas Nusa dengan lebih percaya diri.
“Saya baik, Mas. Mas Nusa kelihatannya juga baik nih.”
“Alhamdulillah. Eh silakan duduk, Zora.”
Aku kembali duduk, ditemani Nadia dan mas Nusa yang ternyata adalah ayah dari anak ini.
“Nadia bilang, kamu baru mau ngelamar di sini?”
“Iya, Mas. Saya direkomendasi Kezia untuk apply di sini.”
“Oh. Coba lihat dokumen kamu.”
Aku menatapnya selama beberapa saat, namun ia menganggukkan kepala meyakinkan. Aku pun memberikan berkas yang kubawa untuk ia tinjau.
“Belum ketemu Debby?” Tanyanya, seraya membuka dokumen yang kubawa dalam amplop coklat.
“Belum, info salah satu staf tadi, katanya mbak Debby sedang meeting.”
“Iya. Ayo ke ruangan saya, Zora.”
Nadia menyemangatiku dengan memberi dukungan, aku ragu namun berdiri mengikuti langkah mas Nusa menuju ruangannya juga.
“Nadia tunggu di sini ya.”
“Aku nggak boleh ikutan?”
“Papa mau interview kak Zora dulu.”
“Oke. Aku tunggu sini aja.”
Aku menoleh ke arah Nadia, ia nyengir kuda dan mengusirku dengan melambaikan tangannya. Aku pun melanjutkan langkah, memasuki ruangan mas Nusa dan dipersilakan duduk di seberangnya.
Oh my God. Setahun belakangan kemarin aku gagal bertemu dengannya karena kematian ayahku yang mendadak, kemudian selama tinggal di kampung halaman, tidak sedikit pun terbesit dalam benakku tentang dirinya. Segala pikiranku terpusat pada ibu dan hidup kami yang melambat tiba – tiba. Namun, sekarang aku duduk di hadapannya.
Di hadapan laki – laki yang pernah mengisi malam penuh kerinduanku untuknya. Laki – laki yang kukagumi dan berhasil membuatku hanya memikirkan dirinya saja, sendirian.
“Hmm. Terima kasih ya, Nadia cerita soal insiden—menstruasi pertamanya.” Dua kata terakhir diucapkan dengan berat oleh mas Nusa, mungkin ia malu atau apa. Aku tidak mengerti. Aku mengangguk merespon ucapan terimakasihnya dan mengatakan bahwa itu bukan hal besar.
Setiap wanita yang beranjak dewasa pasti merasakan menstruasi, jadi itu hal yang sangat biasa menurutku. Dan Nadia, kurang beruntung karena kekurangan sosok ibu.
Seketika aku menyadari, apakah mungkin pria di hadapanku telah berubah statusnya menjadi seorang duda?
“Di rumah, Nadia perempuan satu – satunya. Saya bahkan nggak menyadari kalau dia—akan beranjak dewasa juga. Dan hari ini waktunya.”
Aku menyadari kemudian bahwa mas Nusa menyesali kealpaannya mengenai pertumbuhan Nadia sebagai gadis remaja.
“Nggak apa – apa, Mas. Wajar kok, saya pun akan sungkan berbicara mengenai hal kewanitaan dengan ayah atau saudara laki – laki saya. Tadi, saya dengar dari Nadia kalau—istri mas Nusa sudah tiada. Saya turut berduka cita.”
Bibirnya menerbitkan segaris senyum, “makasih ya.”
Hanya itu, kemudian ia beralih pada resume milikku yang sedang dibacanya.
“Dulu kamu kerja di Kubus Creative?”
“Iya.”
“Saya kenal Edward dan Alex.”
“Oh.”
“Hmm...Alex ini dulu mahasiswa saya juga.”
“Iya, dia teman baik saya, Mas.”
“Ooh begitu. Padahal saya sering ada kerjasama dengan Alex, tapi nggak pernah ketemu kamu.” Ucapan mas Nusa membuatku tertegun selama beberapa saat.
Kapan mereka kerjasama?
“Sudah hampir setahun saya resign sih, Mas.”
“Huumm, kami kerjasama sejak tiga tahun lalu kayaknya.”
Oke. Aku sungguhan tidak tahu soal ini.
“Sejak sebelum covid attack.”
Baik. Aku benar – benar kaget mendengarnya. Alex berteman denganku selama ini dan kerjasama dengan mas Nusa yang dia tahu bahwa aku mengaguminya pun luput kuketahui.
Wawancaraku hanya sekedar basa – basi, mas Nusa mengatakan bahwa dia mempercayaiku untuk bekerja dalam timnya. Jujur, aku bahkan baru tahu kalau Matahari Nusantara ini adalah miliknya sendiri. Tidak ada pembahasan pribadi yang kami lakukan, semua profesional. Mas Nusa mempersilakanku untuk bekerja mulai besok dan berjanji akan meneruskan aplikasi lamaranku pada tim HR.
Entah harus kusebut apa, keberuntungan kah?
Saat hendak pulang, Nadia memelukku dan meminta nomor ponselku secara pribadi. Meski dihadiahi tatapan tidak setuju papanya, namun aku tetap memberikan nomorku untuk Nadia. Mungkin dia butuh teman bicara seputar masalah wanita dan aku tidak berpikir apa – apa selain ingin membantunya melewati masa - masa peralihan ini dengan baik.
.
.
.
Aku belum menghubungi Alex lagi, aku tidak yakin Kezia memberitahukannya kalau aku sudah kembali ke Jakarta. Tidak ada tanda – tanda ia tahu juga soalnya.
Kembali memikirkan perkataan mas Nusa mengenai kerjasama yang terjalin dengan kantor lamaku. Apakah Alex sengaja merahasiakannya dan menjauhkanku dari project – project yang berkaitan dengan mas Nusa? Dia sengaja?
Apakah dia tahu kalau mas Nusa telah menduda sejak beberapa saat lalu?
Aku ingin menanyakan dua hal itu, tapi teringat kabar dari Kezia soal pertunangannya. Meski aku yakin Alex tidak mungkin akan membatalkan pernikahannya hanya karena aku kembali, tapi aku ragu juga. Apakah sebaiknya aku menemui dia setelah pernikahannya saja?
Wajahku mungkin menunjukkan kegalauan, sehingga timpukan ringan tissue mampir di wajahku dengan santainya. Buah lemparan usil adikku.
“Resek lo!” Umpatku.
“Muka lo nggak santai. Ditolak lamaran lo tadi apa gimana?”
“Nggak. Eh Alex ada sering hubungin lo nggak?”
“Malah sering nongkrong kita.”
“Hah? Elo tahu dia tunangan sama Lenny?”
“Tahu. Gue kira lo dikabarin langsung.”
“Enggak.”
Informasi dari Zayn membuatku kembali tertegun, mengapa dia main dengan adikku tapi berhenti menghubungiku.
“Elo nggak bohong sering nongkrong bareng Alex?”
“Iya.” Zayn membuka hapenya, memilah – milah kemudian menunjukkan beberapa foto di mana ada Alex di sana. Mereka sedang hangout bareng – bareng dengan beberapa teman Zayn yang aku kenal juga. “Nih. Dia sempat nelpon gue nanyain kabar lo gitu, katanya lo nggak bisa dihubungi. Gue nggak paham sih, nggak bisa dihubungi yang kayak gimana. Perasaan kita telponan terus kan. Yaudah dia bilang nggak mau ganggu lo yang mau healing bla bla bla. Dari situ dia malah sering gue ajak hangout, mau mau aja.”
Healing.
Menemani ibu healing lebih tepatnya.
“Kapan nikahnya?”
“Dua minggu lagi, elo pasti diundang kok.”
“Dia pernah bahas gue nggak?”
Wajah meledek Zayn lah yang pertama kali muncul sebelum jawabannya. Membuatku bete dan menolak mendengarkan apapun yang hendak ia katakan.
“Dahlah!”
“Yeuu. Nggak pernah, cuma nanya kabar aja sesekali. Nggak lebih.”
Sepertinya dia sudah sepenuhnya move on. Seperti kehilangan teman terbaik, meski aku tahu sudah seharusnya kami menjauh, bahkan aku sendiri yang sengaja mengabaikan Alex saat di kampung. Tetap saja, rasanya berbeda saat sudah berada di Jakarta. Dia lah yang selama ini menemani hari – hariku, yang tidak pernah alpa menghubungiku setiap waktu.
Namun, ada rasa kecewa tahu bahwa dia menyembunyikan kerjasama dengan mas Nusa. Jika aku tahu pernah sedekat itu dengan mantan crush-ku, mungkin aku juga segera tahu mengenai status barunya. Sekarang, aku berharap mas Nusa memang masih sendiri dan belum memiliki pacar. Meski aku turut berduka akan kehilangannya, hatiku yang pernah sangat mencintainya kembali hidup dan bergerak tak terkendali. Rasa – rasa yang dulu kupendam setengah mati, menyeruak kembali ke permukaan.
Meski tidak semuda ingatanku, mas Nusa masih mempesona dengan caranya sendiri.
Bukankah sudah waktunya aku kembali bersosial media? Namun, ada rasa ingin melarikan diri dari dunia maya, aku tidak suka dengan segala kepura – puraan yang ramai ada di sana.
Panggilan dari Kezia membuatku beranjak dari ruang tv dan memasuki kamar untuk mengobrol dengannya.
“Wissssss, gue malah dapat kabar dari si bos, lo besok udah mulai kerja. Gileeee.”
“Kok lo nggak bilang sih itu perusahaan punya mas Nusa? Kita kan ikut kelasnya beberapa semester, Kez.”
“Ih lo inget mas Nusa? Gue kira nggak bakalan inget. Gue aja lupa sampai diingetin Debby kalau beliau pernah ngajar di kampus kita.”
“Lo bilangnya senior kita.”
“Iya beliau kan senior kita juga.”
“Ihh. Lo mah! Tahu gitu kan persiapan gue lebih mateng.”
Nggak, bukan ini yang ingin kukatakan sebenarnya. Kalau tahu yang akan kudatangi adalah perusahaan milik mantan crush-ku, setidaknya aku harus tampil all out. Meninggalkan kesan yang baik untuknya, itu penting bagiku. Sayangnya, Kezia bukan Alex yang bisa kuceritakan segala hal tentang mas Nusa dan kebucinanku meski beberapa tahun telah berlalu.
Mungkin bisa dikatakan, mas Nusa adalah cinta pertamaku. Yang pertama dan terdalam hingga yang paling membuatku berdarah – darah sebab statusnya yang tidak lagi sendiri saat itu.
“Halah, elo begitu saja langsung diterima kan? Gue bilang juga, mas Nusa mah lebih melihat lo lulusan mana.”
“Gue juga baru tahu mas Nusa pernah kerjasama dengan Kubus. Selama ini gue nggak pernah dapat project bareng dia.” Bisa kuakui, nada bicaraku saat ini sarat dengan penyesalan.
Semoga Kezia tidak bisa membacanya.
“Ealaaahh masa sih lo nggak tahu? Gue saja tahu kok.”
“Hah?”
“Lha iya. Kebangetan kalau lo nggak tahu sih. Entah lo yang cuek atau memang lo nggak pernah dikasih job yang direct ke mas Nusa.”
Oke, kali ini aku sungguhan ingin menghubungi Alex dan mengkonfirmasi semuanya.
“Asikkk besok kita sekantor donggg.” Ucap Kezia penuh semangat, namun aku tidak dapat menyerap semangatnya. Terlalu banyak yang kupikirkan sekarang.
“Iyaa.”
Dalam kepalaku berseliweran tentang Alex, mas Nusa dan kerjasama yang tidak pernah kutahu. Entahlah, suara Kezia terdengar jauh sekarang karena aku sibuk memikirkan segala kemungkinan. Benarkah Alex seposesif itu hingga membuatku terus berjauhan dengan mas Nusa? Padahal, selama ini pun aku berkencan dengan orang lain, Alex tahu dan biasa saja. Kenapa mas Nusa berbeda di mata Alex? Padahal dalam hal ini, hanya aku yang menyukai mas Nusa, sementara dia mungkin tidak tahu apa – apa.
©