Awal Baru

2226 Words
Aku mematut diri pada dinding lift yang seperti cermin sebelum benda ini berhenti di lantai yang kutuju. Suara berdentang lift membuat detak jantungku berdebar sedikit lebih kencang, ini lantai tujuanku. Kantor baru di mana ada seseorang yang pernah kukagumi dulu di dalam sana. Tapi aku nggak tahu sih, apa jam segini mas Nusa sudah tiba atau belum. Di depan pintu kantor, aku melihat ruangan di dalamnya masih gelap. Pintunya pun masih terkunci rapat. Aku melongokkan kepala tapi nihil. Di lantai ini ada 3 kantor dengan perusahaan yang berbeda, sempat kulihat kemarin. 1 kantor lain juga masih tutup, hanya 1 kantor yang sudah buka tapi saat aku melongok hanya ada office girl yang sedang mengepel lantai. Aku menganggukkan kepala, kemudian office girl itu menyapa dan bertanya. “Kerja di kantor pak Nusa ya, Mbak?” Aku mengangguk, “Mbaknya baru hari pertama kerja?” “Iya. Kok tahu, Mbak?” “Soalnya kantor pak Nusa baru buka jam 9, Mbak. Sekarang masih jam 8 kurang seperempat.” Aku membulatkan bibir tanda clueless di hari pertamaku. Dan lupa juga bertanya pada Kezia, aku terlalu tidak fokus semalam saat berteleponan dengannya. “Oke, Mbak. Makasi infonya ya.” “Sama – sama, Mbak. Kalau mau cari sarapan, di lantai 9 ada kantin dadakan, Mbak. Di pantry-nya.” “Oh. Oke, Mbak. Hehe.” Aku sudah sarapan dari rumah, jadi, aku pilih duduk di depan kantor saja sambil membuka laptop dan mencari ide untuk hari pertamaku. Ngomong – ngomong, office girl tadi kok kenal mas Nusa? Bukannya office girl seperti itu bekerja hanya untuk perusahaan tertentu? Bukan untuk manajemen building-nya kan? Aku mengangkat bahu menjawab pertanyaan dalam kepalaku sendiri. Kezia menelpon, aku menjawabnya tidak lama. “Halloooo my workmate, bangun lo! Jakarta masih macet.” “Telat lo. Gue udah di depan kantor dan masih tutup.” Kezia terbahak, “lha tumben. Pagi banget lo datang, abis cosplay jadi ayam jago lo ya? Kantor kita jam 9 baru buka, Ceu.” “Huuhh. Yaudah gue cosplay jadi satpam dulu kalau gitu.” “Hahaha. Yaudah gue otw nih, mau nitip sesuatu nggak? Kayaknya gue mau beli kopi atau teh.” “English breakfast duwooonkk.” “Kalau ada yeee.” “Okeee. Gue tunggu, Ceu.” Berselonjor kaki, aku mulai membuka – buka portofolio dan mengasah lagi kemampuan menggambar menggunakan tools dalam laptop. Beberapa kali aku mendengar pintu lift berdenting, sambil sesekali menoleh, barangkali akan ada workmate-ku muncul dari sana. Hingga suara sapaan Kezia terdengar, aku melihatnya berjalan menuju tempat aku duduk. Ia berdecak, seraya menggelengkan kepala dengan wajah pura – pura takjub. “Rajin banget, Ceu. Mau jadi pemegang kunci lo sekarang?” Tangan kanannya mengulurkan segelas minuman hangat, aku berterima kasih. “Biasanya jam delapan sudah running di Kubus.” “Iya Edward kan nggak mau rugi. Nggak boleh telat semenit kan lo?” Aku terkikik mendengar ucapan Kezia. Tapi, banyak hal baik juga dari Edward yang kuingat, seperti ; tidak pelit memberikan pekerjaan, jago mencari tender untuk perusahaan, pintar mendekati pemilik proyek besar dan koneksinya banyak. “Hai Mbak.” Kezia bangkit berdiri menyambut seorang wanita dengan rambut bob pendek berwarna karamel. Aku mengikutinya dengan berdiri sambil memeluk laptop. “Lho, pada ngegelosor di sini.” “Iya nih, kepagian ngeduluin kamu, Mbak.” Wanita itu menatapku kemudian, tatapannya bertanya pada Kezia yang langsung tanggap memperkenalkanku. “Ini Zora, Mbak. Yang seharusnya kemarin interview sama Mbak Debby, tapi malah ketemu mas Nusa. Ini yang namanya mbak Debby, Ra.” Aku pun mengulurkan tangan pada wanita yang diperkenalkan Kezia, sambil memperkenalkan diri. “Zora, Mbak.” “Aku Debby, ayo masuk.” Kami menunggu mbak Debby membuka kantor, Kezia bahkan membantunya menyalakan beberapa lampu. Mbak Debby meminta maaf karena kemarin dirinya ada meeting mendadak sehingga tidak bisa menemuiku, dia berpikir aku telah menunggu lama untuk di-interview. Padahal karena ketemu Nadia, aku justru langsung berhadapan dengan pemilik kantornya langsung. “Lo bisa pakai meja ini, Zora. Terus, berkas lo ada di mas Nusa?” “Iya, kemarin diambil mas Nusa.” “Oke. Paling nanti gue minta fotocopy buku rekening saja untuk payroll.” “Oke, Mbak.” Kezia membulatkan tangannya untuk beradu tinju denganku, aku pun membenturkan tinju kecil padanya. Kami tertawa setelah mbak Debby masuk ke dalam ruangannya yang berada di sebelah ruangan mas Nusa. Kezia menjelaskan cara kerja di sini. Kami langsung dibawahi oleh mas Nusa dan beliau langsung lah yang akan menunjuk PIC tiap proyek. Kezia menceritakan kalau mas Nusa cukup adil membagi tugas untuk setiap bawahannya di sini, hal ini mengingatkanku akan perkataan Kezia semalam soal kerjasama mas Nusa dan Alex yang luput dari sepengetahuanku. “Kita juga kadang dapat klien dari luar Negeri, mantap fee-nya kalau lagi dapat proyek itu.” “Lo pernah?” “Tiga kali lah kalau nggak salah. 1 hotel, yang dua kayak wisma gitu lho. Gila ya di luar negeri, bangun wisma saja tetap butuh konsultan.” “Membangun gedung kan tetap harus proper, untuk apapun tujuannya. Apalagi di negara- negara yang rawan bencana alam, mereka pasti mau mempertimbangkan ketahanan bangunan dan segala macamnya.” “Nah itu dia.” “Jadi, gue nunggu intruksi mas Nusa untuk kerjain proyek apa?” “Iya, kecuali kalau masih ada yang kurang personelnya.” “Kalau belum ada proyek?” “Selama ini sih gue belum pernah ya, kosong dari proyek gitu.” “Selama pandemi?” Kezia memajukan bahunya mendekat ke arahnya, dengan tangan kiri menghalangi gerakan bibirnya dari sekitar, ia berbisik, “koneksi mas Nusa luas banget gilaaa. Gue juga heran.” Aku membulatkan bibir takjub. Pandemi adalah momen dimana industri yang kami geluti tengah berada di titik nadir. Salah satu sektor paling terdampak, karena banyak rencana diubah bahkan dibatalkan karena lambatnya pergerakan ekonomi, kala itu. Jadi, ya, informasi Kezia barusan cukup membuat kagum. Jika di masa pandemi saja perusahaan ini mampu bergulat dengan situasi, apalagi dalam kondisi normal seperti saat ini. Benar saja, di jam sembilan tepat baru lah berdatangan orang – orang yang bekerja di Matahari Nusantara, salah satunya laki – laki yang kemarin menyapa Nadia dan memintaku menunggu mbak Debby. Ia menyapa Kezia dan tampak mengingatku, dia tersenyum lebar sambil berlalu menuju meja kerjanya. Kemudian, sosok yang paling kutunggu dan berhasil membuat detak jantungku kembali bertalu – talu itu, tiba. Mas Nusa datang dan menyapa semua orang yang berada di ruangan ini, senyumnya menular dan semangatnya membakar semua orang yang menjawab sapaan itu dengan penuh tekad. Baru kali ini, aku merasakan getaran positif yang nyata dari orang sekitar. Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri melihat bagaimana mas Nusa berinteraksi dengan seluruh stafnya. Ia melarikan pandangan hingga netranya menatapku, senyumnya yang sejak tadi terukir lebar, kini menjadi lebih hangat saat bersitatap denganku. Memberikan efek debar lain yang lebih hebat dari debaran sebelumnya. “By the way, Teman – Teman, kita kedatangan personel baru. Boleh berdiri, Zora?” Ia mengarahkan tangannya padaku, aku pun mengangguk dan berdiri di tempatku sambil menyapa semua orang dengan anggukkan kecil. “Ini Zora, Guys, mulai hari ini akan nambah manpower di tim kita. Semoga dengan bertambahnya personel, membuat tim kita makin solid dan berdaya. Welcome Zora, semoga betah berkarir di Matahari Nusantara.” Aku mengucapkan terima kasih dan melakukan bow pada semua orang yang ada di ruangan ini. Tanpa aba – aba, satu persatu dari mereka mendekat untuk memperkenalkan diri padaku. Laki – laki yang kemarin menyapa Nadia bernama Timo, kemudian ada dua laki – laki lainnya yang bernama Chris dan Aldi, dan dua orang perempuan bernama Mimi dan Endah. Kemudian datang lagi dua orang yang langsung berkenalan juga denganku, bernama Romeo dan Jamal. Mas Nusa memintaku ke dalam ruangannya, meski senang setengah mati, tapi aku gugup juga. Aku mengikuti langkahnya yang panjang dengan hati berdegup riang. “Duduk, Zora.” Ia menunjuk kursi biru di seberang kursi miliknya. Aku duduk setelah merapikan lipatan celana di bagian belakang pahaku dan menunggu apa yang ingin disampaikan mas Nusa. Ia membuka laptop, matanya terfokus pada layar yang berkedip kemudian menyala terang. Tidak pernah aku berani membayangkan duduk di hadapan mas Nusa seperti ini, sedekat ini. Tidak pernah. Apalagi, setiap mengingat keluarga bahagianya. Tidak mampu aku memiliki harapan merusak rumah tangga yang harmonis itu. Bahkan kini, meski mendengar dari anaknya sendiri bahwa mbak Alisa sudah tiada. Bermimpi memiliki seorang mas Nusa saja, aku tidak berani. “Langsung dikasih proyek, nggak kaget kan?” Tiba – tiba mas Nusa mengalihkan tatapan dari layar laptop ke wajahku. Tapi, aku belum siap dengan pertanyaannya dan sejak tadi sibuk menikmati wajah yang pernah menghiasi malam – malam panjangku saat masih menjadi mahasiswa dulu. Aku tergagap dan mengangguk seraya tersenyum malu. Malu karena terpergok sedang menatapnya sedemikian intens. Duh. “Kok malah kaget dengan pertanyaan saya? Kamu melamun ya? ” Diam – diam aku menghembuskan napas saat mas Nusa kembali melihat layar laptop sambil bertanya. Bibirnya tersenyum sekilas, aku melihatnya sungguhan. “Nggak kaget kok, Mas.” “Nggak kaget dapat proyek langsung atau nggak kaget dengar saya bertanya?” “Dua – duanya.” Mas Nusa menyingkirkan laptopnya ke samping dan menatapku fokus. “Saya akan tempatkan kamu di bawah Endah, kita sedang dapat proyek pembangunan Hotel. Nanti detailnya biar Endah yang menjelaskan, tapi yang lagi kita butuhin untuk proyek ini sekarang drafter. Kamu masalah nggak?” Aku memang nggak expect akan langsung menjadi arsitek perencana dalam proyek besar, tapi menjadi drafter sangat di luar dugaan. “Uhm, iya nggak apa – apa, Mas.” “Sementara kok, di proyek ini saja.” Aku mencoba memberikan senyuman meyakinkan pada mas Nusa. Diterima di perusahaan ini saja aku sudah sangat bersyukur, ditambah menjadi bawahannya yang otomatis akan menerima mentoring darinya juga. “Oke itu saja, berkas kamu akan saya transfer ke HR. Serahkan dokumen yang nanti diminta Debby ya.” “Baik, Mas.” Aku mengangguk dan pamit untuk menuju mejaku. Hari pertama aku bekerja, aku tergabung dengan tim yang berisikan Endah sebagai Project Manager sekaligus Arsiteknya, aku yang akan membantunya sebagai drafter atau kalau orang awam bilang asisten arsitek. Dibantu Timo sebagai manager site merangkap QC dan Mimi sebagai staf admin. Kami mengadakan pertemuan membahas proyek yang disebutkan mas Nusa tadi, pembangunan sebuah hotel di kawasan pariwisata Jawa Barat. Endah, yang aku yakin usianya lebih senior dariku, adalah sesosok wanita dengan tubuh kecil namun berahang tegas. Ia memiliki rambut sebahu berwarna hitam berkilau, mengenakan kacamata kotak dengan frame hitam. Kemeja dan celana bahan skinny nya lah yang membuat penampilannya terlihat dewasa, jika tidak, aku yakin ia masih bisa disangka anak SMP dengan tubuh kecil kurusnya apabila dilihat dari belakang. Tingginya hanya sebahuku, meski ia memakai sepatu berhak saat ini. Aku mencatat berbagai poin penting yang disampaikan Endah untuk mengerjakan permintaannya. “Dua hari cukup nggak, Ra, untuk kasih draft ke gue?” “Bisa, Mbak.” “Oke.” Meeting selama empat jam pun diakhiri, aku kembali ke mejaku untuk memulai mencari ide untuk mengerjakan yang sudah jadi tugasku hari ini. Saat di ruangan meeting tadi, aku sempat mengobrol dengan Mimi. Semua tim arsitek di sini adalah lulusan kampusku, kecuali Endah. Dirinya sudah kenal mas Nusa sejak lama, infonya kakak dari Endah adalah teman mas Nusa. Jalur ordal istilahnya, kami juga sih. Bedanya, mas Nusa melihat kami sebagai satu almamater plus mantan mahasiswanya. Sedangkan Endah karena hubungan kekerabatan. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk akrab dengan Mimi. Dia adalah gadis berusia 27 tahun yang akan segera menikah dalam waktu dekat. Kami bahkan makan siang bersama, Mimi memberikan beberapa hal yang katanya perlu aku tahu. Seperti, karakter beberapa orang dan gosip hangat yang beredar. Endah berusia 39 tahun dan Mimi bilang, jangan pernah menanyakan soal pernikahan dan anak padanya. Endah masih melajang hingga saat ini, aku pun mengatakan hal yang sama pada Mimi kemudian dia menyentuh lenganku sambil berbisik. “Tapi mbak Endah sensitif banget, Mbak, kalau ditanya soal pernikahan. Mood-nya bisa jelek banget dan nanti kena ke kerjaan. Mimi saja pernah ditinggal di site cuma gara – gara nggak sengaja nyeletuk soal pernikahan.” Aku membulatkan bibir dan berjanji pada Mimi untuk berhati – hati bicara di depan Endah. Mimi tahu aku dibawa oleh Kezia dan ia malah menyuruhku mendekati Kezia agar merekrutku menjadi timnya. Ya memang sih, aku berharap bisa satu tim dengan Kezia. Semua akan terasa mudah dengan orang yang sudah kukenal sejak lama, memberikan saran pun tidak akan canggung. Berbeda dengan Endah, aku bahkan tidak berani membantah idenya. Terlebih, dari gaya bicaranya ia terlihat sangat tegas dan tidak mau didebat. Aku jadi sungkan. “Mimi aja pengen banget pindah, sudah request mau pindah ke HR saja biar bantuin mbak Debby. Nggak dikasih sama pak Nusa.” Aku tersenyum. “Kamu jago kali di proyek.” “Capek tapi, Mbak. Apalagi Mimi selalu dapat di proyek mbak Endah. Dia galak tahu.” “Hehehe.” Jujur saja, selama ini aku bekerja bersama Alex sebagai pemilik tempat aku bekerja. Semua orang mengetahui kedekatan kami, hingga hal – hal seperti rekan kerja yang menyebalkan tidak pernah aku temui selama bekerja di Kubus. Apalagi yang galak, jadi ucapan Mimi terasa menyeramkan bagiku. Mudah – mudahan Endah tidak menyulitkanku selama kami bekerja dalam satu tim. Bagaimanapun juga, aku ingin terus dekat dengan mas Nusa. Meski kali ini sebagai atasan dan bawahan, aku ingin mempertahankan hubungan ini. Dan mendengar informasi dari Mimi tentang Endah dan hubungannya dengan mas Nusa, aku yakin mereka juga cukup dekat. Sehingga, bukan hal yang menguntungkan bagiku jika Endah membenciku. ©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD