2. PERTEMUAN PERTAMA

2089 Words
Ega memandang rumah besar di hadapannya. Sebuah rumah mewah bertingkat dengan beberapa mobil yang terparkir di garasi. Halaman rumah ini sangat luas dan ditumbuhi pepohonan yang rindang. Ega bisa menebak jika pemilik rumah ini pasti orang yang sangat kaya. “Ayo, Nak, kita masuk,” suara Bunda Rina menyentak kesadaran Ega yang masih mengagumi bangunan rumah di depannya. “I-iya, Bunda,” sahut Ega berjalan mengikuti Bundanya masuk ke dalam rumah. Mulut Ega ternganga melihat ruang tamu rumah ini. Sebuah ruang tamu mewah berisi satu set sofa dengan lampu gantung yang sangat indah di atasnya. Beberapa lukisan terpajang di dinding dan empat lampu hias menghiasi setiap sudut ruangan. Sementara di seberang ruangan terdapat sebuah meja panjang yang berisi vas bunga dan bingkai-bingkai foto. Ega menduga itu adalah foto-foto keluarga pemilik rumah ini. Jendela kaca ruang tamu ini sangat besar dan menghadap ke halaman depan sehingga Ega bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di luar rumah. Rumah Ega tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ruang tamu rumah ini. “Bunda, ini rumah siapa sih? Gede banget...” bisik Ega kepada Bunda Rina yang duduk di sebelahnya. “Rumah sahabat alm. Ayah, nak. Alhamdulilah mereka menjadi orang yang sukses hingga memiliki rumah semewah ini,” jelas Bunda Rina. Sepulang sekolah tadi, Bunda Rina mengajak Ega berkunjung ke rumah sahabat alm. Ayahnya. Awalnya Ega menolak karena merasa lelah baru pulang sekolah. Apalagi dia tidak mengenal siapa sahabat alm. Ayah yang dimaksud Bunda itu. Namun melihat kondisi Bunda Rina yang kurang sehat akhirnya Ega setuju untuk menemaninya. Dia tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Bundanya jika datang ke sini sendirian. Sudah beberapa hari belakangan ini wajah Bunda Rina tampak pucat. Ega sudah mengajaknya untuk memeriksakan diri ke dokter, namun Bunda selalu menolak dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Beberapa menit kemudian sepasang suami-istri datang menghampiri mereka. Ega dan Bunda Rina langsung bangkit untuk menyambut mereka. “Maaf ya, jeng, jadi menunggu lama,” kata sang istri tersenyum ramah. “Nggak apa-apa, mba. Saya yang harusnya minta maaf karena mengganggu waktu kalian,” kata Bunda Rina balas tersenyum. Mereka kemudian saling berpelukan dan mencium pipi kanan-kiri sebagai salam pertemuan. “Nggak ganggu kok, kita malah sudah menunggu kedatangan kalian sejak kemarin,” sahut sang suami sambil menjabat tangan Bunda Rina. “Ini putri kamu, jeng? Cantik banget...” kata sang wanita memandang Ega yang berdiri disamping Bunda Rina. “Iya, mbak. Kenalin ini Ega, putri saya. Ega, mereka Om Beni dan Tante Iis, sahabat alm. Ayah kamu waktu sekolah dulu,” kata Bunda Rina memperkenalkan ketiganya. Ega tersenyum ramah dan menyalami kedua orangtua di hadapannya itu dengan sopan. “Wajahmu sangat mirip ayah kamu, nak, hanya bibirmu saja yang mirip Bunda,” komentar Om Beni memperhatikan wajah Ega. “Hehe... Iya, Om,” sahut Ega tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsul yang mencuat di bibirnya. Dia sudah terbiasa mendengar komentar seperti itu dari orang-orang yang mengenal kedua orangtuanya. “Silahkan duduk, jeng Rina, nak Ega,” kata Tante Iis mempersilahkan. “Kebetulan putra kami juga ada di sini. Dia baru sampai tadi pagi,” lanjutnya kemudian. “Benarkah? Wah... kebetulan kalau begitu, jadi Ega dan nak Irwan bisa sekalian berkenalan,” ujar Bunda Rina senang. ‘Irwan? Berkenalan?’ perasaan Ega mulai tak enak mendengar nama anak Om Beni dan Tante Iis. Entahlah... Dia merasa ada sesuatu yang telah direncanakan oleh Om Beni, Tante Iis dan Bundanya. Beberapa saat kemudian seorang pria bertubuh tinggi, atletis dan berwajah tampan datang dari arah dalam rumah. Dia berdiri di samping Tante Iis dan memandang mereka semua yang berada di ruang tamu. Ega memperhatikan pria yang mengenakan kaos lengan pendek dengan celana jeans selutut itu. Penampilan yang simple namun tak mengurangi ketampanan wajahnya. Ega merasa tak asing melihatnya. Wajah pria itu terasa familiar di matanya. “Sayang, kenalin, ini Tante Rina dan itu anaknya, Ega,” kata Tante Iis memperkenalkan Ega dan Bundanya. “Mereka orang yang kami bicarakan tadi pagi,” lanjutnya kemudian. Ega mengernyit. ‘Apa yang mereka bicarakan tentang dirinya dan Bunda?’ pikirnya bingung. Pria bernama Irwan itu menyalami Bunda Rina kemudian menatap datar Ega. Pandangan matanya mengamati penampilan Ega dari atas hingga ke bawah. Ega mengenakan baju tunik motif bunga dan celana panjang coklat gelap lengkap dengan hijab berwarna krem yang menutupi kepala hingga ke bagian dadanya. Penampilan yang cukup sederhana dan terkesan biasa saja di mata Irwan. Ega yang ditatap seperti itu merasa jengah, apalagi pandangan mata Irwan tampak tak bersahabat kepadanya. Dengan sedikit keberanian Ega mengulurkan tangannya. “Ega,” ucapnya memperkenalkan diri. Irwan memandang tangan Ega yang terulur. Dia menyebutkan namanya sambil menjabat tangan Ega sesaat kemudian memilih duduk di sofa bersama Mamanya. Dingin. Itu kesan pertama yang Ega tangkap dari sosok Irwan. Bahkan tak ada senyuman dari wajah tampannya itu. Entah apa yang Irwan pikirkan tentang dirinya, tapi Ega merasa Irwan tidak menyukainya. “Kamu sudah besar, nak Irwan, terakhir Tante melihatmu saat kamu berusia 10 tahun,” kata Bunda Rina, menatap Irwan. "Sekarang kamu sudah menjadi pria yang tampan dan sukses, pantas saja banyak wanita yang mengidolakanmu.” Irwan tersenyum tipis menanggapi ucapan Bunda Rina. Senyum pertama yang Ega lihat dari bibir Irwan. “Jeng Rina terlalu berlebihan menilai Irwan, dia baru mulai merintis karir di dunia tarik suara. Masih banyak yang harus dia lakukan untuk menjadi penyanyi profesional,” ujar Tante Iis merendah. “Nggak berlebihan kok, mbak. Memang sekarang Irwan sudah jadi penyanyi yang terkenal, kan? Banyak penggemar yang mengidolakannya di luar sana,” sahut Bunda Rina. ‘Penyanyi?’ Sekarang Ega ingat kenapa wajah Irwan tampak familiar di matanya. Ternyata Irwan adalah penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun saat ini. Ega pernah melihat Irwan bernyanyi di salah satu acara televisi dan harus Ega akui Irwan memiliki suara yang merdu. Selain suara, Irwan juga memiliki wajah yang tampan hingga ia diidolakan banyak wanita terutama anak-anak remaja. Teman-teman Ega di sekolah juga banyak yang mengidolakan Irwan. Mereka sering membicarakannya saat jam istirahat atau jam kosong tiba. Ega tak bisa membayangkan reaksi teman-temannya di sekolah jika mereka tahu dia bertemu dengan penyanyi idola mereka, bahkan sampai berkunjung ke rumahnya. “Tapi sepertinya Ega tidak mengidolakan Irwan ya. Dia terlihat biasa saja saat melihat Irwan tadi, nggak seperti gadis remaja lainnya yang selalu histeris saat bertemu dengannya,” ujar Om Beni menatap Ega. “Eh..” Ega yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri tampak terkejut mendengarnya. Dia salah tingkah saat melihat semua orang di ruangan itu menatapnya. “Ega juga mengidolakan ‘a Irwan kok, Om. Ega suka suaranya yang merdu,” balas Ega, pelan. “Jadi manggilnya ‘aa nih?” goda Bunda Rina, menatap putri semata wayangnya. “Iihh Bunda... ‘a Irwan kan lebih tua dari Ega jadi Ega harus memanggilnya dengan sebutan ‘aa donk,” kilah Ega dengan wajah memerah. “Kenapa harus memanggil 'aa dan bukan kakak? Mungkin itu maksud Bunda kamu, Ga,” timpal Om Beni memperjelas perkataan Bunda Rina. “Ah... I-itu...” Ega bingung harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu kenapa, panggilan itu keluar secara spontan dari mulutnya. “Sudah... sudah... Nggak usah diributkan panggilan ‘aa ataupun kakak untuk Irwan, mungkin Ega lebih nyaman dengan panggilan itu. Lagipula Irwan juga kayaknya nggak keberatan. Iya kan, Wan?” kata Tante Iis menengahi. Irwan mengangguk mengiyakan. Baginya tak penting Ega mau memanggilnya dengan sebutan apa. Lagipula setelah hari ini mereka tak akan bertemu lagi karena lusa dia sudah kembali ke Jakarta. “Kamu beneran hanya menyukai suara Irwan saja, Ga? Bagaimana dengan wajahnya?” tanya Tante Iis, penasaran. “Memang wajah ‘a Irwan kenapa, Tante?” tanya Ega polos. Dia tak paham maksud pertanyaan Tante Iis kepadanya. Om Beni terkekeh melihat kepolosan Ega sedangkan Irwan geleng-geleng kepala tak percaya. “Nak, maksud Tante Iis itu apa kamu juga menyukai wajah tampan Irwan?” jelas Bunda Rina. “Ooohhh....” Ega mengangguk mengerti. “Menurut Ega ketampanan seseorang itu relatif, Tan, yang paling utama itu akhlaknya, percuma punya wajah tampan kalau nggak dibarengi dengan akhlak yang baik,” ujar Ega, melirik Irwan sekilas. Irwan mendelik mendengarnya. Dia merasa tersindir dengan omongan Ega barusan. Berbeda dengan Irwan, Bunda Rina justru tersenyum mendengar jawaban putrinya. Dia bangga Ega lebih mengutamakan akhlak seorang pria daripada ketampanannya. “Jawaban kamu sangat menarik, Ga. o*******g mendengar gadis sepertimu menilai laki-laki dari akhlaknya,” kata Om Beni, memandang Ega penuh senyum. Ega tersenyum menanggapi ucapan Om Beni. Baginya ketampanan seseorang memang bukan yang utama karena kelak ia ingin memiliki suami yang baik akhlak dan imannya seperti alm. Ayahnya. Setelah itu percakapan didominasi oleh Bunda Rina, Om Beni dan Tante Iis yang bernostalgia tentang persahabatan mereka selama sekolah dulu. Irwan dan Ega hanya diam mendengarkan cerita orangtua mereka. Dari apa yang mereka dengar, kedua orangtua Irwan dan Ega sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMA. Bahkan Om Beni dan Ayah Ega pernah bekerja sama membangun sebuah perusahaan. Namun perusahaan itu harus gulung tikar karena mereka ditipu oleh seorang investor. Sejak saat itu, mereka tak pernah bertemu lagi karena keluarga Om Beni pindah ke Jakarta sedangkan Ayah Ega menjadi seorang karyawan di salah satu perusahaan di Kuningan, tempat kelahiran Ega. Mereka baru bertemu kembali beberapa bulan yang lalu. Om Beni sangat sedih saat mendengar sahabatnya telah meninggal dunia. Selama di Jakarta, dia kehilangan kontak Ayah Ega sehingga tak pernah tahu kabar sahabat dan keluarganya itu. “Wan, ajak Ega ke taman belakang gih, biar kalian bisa ngobrol dengan nyaman,” kata Tante Iis, menatap anaknya yang sejak tadi hanya diam. Irwan ingin menolak tapi tak jadi saat melihat tatapan peringatan Mamanya. “Iya, Ma,” sahutnya, setengah hati. “Ayo, Ga,” ajak Irwan bangkit dari duduknya dan menatap Ega. Ega mengangguk. “Ega permisi dulu Om, Tante, Bunda,” pamitnya berjalan mengikuti Irwan. Ega melewati ruang keluarga rumah Irwan yang tak kalah mewah dengan ruang tamunya. Ruang keluarga itu didominasi warna putih dengan sofa panjang yang pasti sangat nyaman jika diduduki dan TV LED 43" yang sangat memanjakan penontonnya. Ega benar-benar kagum melihat tata ruang rumah Irwan yang sangat mewah. Dia juga melihat kolam renang berukuran besar dengan air yang jernih sebelum tiba di taman belakang rumah Irwan. Taman ini tak terlalu besar namun cukup rindang dengan pepohonan yang mengelilinginya. Ada sebuah bangku taman panjang dan ayunan disana. Sementara di pojok taman ada kolam ikan berukuran kecil dengan air mancur di tengahnya. Gemericik air membuat nyaman siapapun yang berada di taman ini. “Taman yang indah,” komentar Ega, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Senyum manis terukir indah dari bibir mungilnya. Irwan tak menyahut. Dia sudah duduk di bangku taman sambil memperhatikan Ega dengan sorot mata datarnya. Ega masih asyik menikmati pemandangan di sekitarnya, menghirup udara yang sejuk dan membuatnya nyaman. Namun senyum Ega memudar saat melihat tatapan datar Irwan kepadanya. “Kenapa ‘a Irwan memandang Ega dengan tatapan seperti itu?” tanya Ega tak bisa menahan diri. Sejak mereka berkenalan di dalam rumah tadi, Irwan selalu menatapnya dengan sorot mata datar dan dingin. Ega tak tahu apa kesalahannya hingga membuat Irwan menatapnya seperti itu. “Apapun yang direncanakan orangtua kita di dalam, aku nggak akan pernah menyetujuinya. Jadi jangan pernah berharap padaku,” ujar Irwan, menatap tajam Ega. Ega melongo. Kenapa Irwan tiba-tiba bicara seperti itu? Memang apa yang akan direncanakan orangtua mereka? Ega benar-benar tak tahu apapun sekarang. “Maaf, ‘a, Ega nggak ngerti maksud ‘a Irwan apa,” kata Ega, menatap Irwan bingung. “Nggak usah pura-pura nggak tahu deh,” kesal Irwan. “Ega beneran nggak tahu apapun, ‘a. Ega datang kesini cuma nganterin Bunda,” jelas Ega. “Lagipula siapa yang mau berharap sama ‘a Irwan. Kehidupan dan status sosial kita sangat jauh berbeda.” “Baguslah kalau kamu sadar diri karena sampai kapanpun aku nggak akan pernah menerimamu,” ujar Irwan, dingin. Deg. Mata Ega berkaca-kaca menatap Irwan. Entahlah... hatinya berdenyut sakit mendengar ucapan Irwan. Mereka baru bertemu hari ini bahkan belum saling mengenal satu sama lain, tapi Irwan sudah bicara seperti itu kepadanya   oOo   “Hubungi aku jika ada sesuatu yang penting saja. Kamu nggak bisa menemuiku semaumu, dan aku juga nggak bisa sering mengunjungimu. Aku akan mentransfer uang setiap bulan untuk keperluanmu selama di sini. Mulai sekarang kamu harus belajar mandiri,” jelas Irwan panjang lebar saat tiba di depan kost Ega. Ega hanya diam mendengarkan. Dia sadar tak bisa berharap lebih pada pria yang ada di hadapannya ini. Sampai sekarang Irwan belum bisa menerimanya, bahkan sikapnya masih belum berubah sejak terakhir mereka bertemu, tetap dingin dan cuek. Namun Ega akan tetap sabar dan menunggu hingga Irwan mau menerima dirinya.   oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD