Ketukkan sepatu yang memasuki ruangan seketika membuat semua penghuni kelas senyap. Hanya mengucap satu kata lantas menghampiri tempat duduk. Tanpa tegur atau peringatan apa pun dari pihak dosen. Semua yang ada di dalam ruang itu seolah membenarkan dan benar. Hanya Vilien yang melotot mengikuti kemana arah orang itu berhenti dan tepat di mejanya.
“Aku akan berpindah,” ucap Sye cepat. Cepat dan gugup mengemasi barang yang telah dikeluarkan.
“Kau tetap di sini,” cegah Vilien dengan memegang lengan Sye erat.
“Tidak apa. Aku hanya bergeser ke depan,” sahut Sye terdengar gugup sambil melepas cengkraman tangan Vilien. Sungguh, ia tidak ingin berurusan dengan pria yang berdiri di sampingnya.
“Tidak! Kau. Tetap duduk di sini.” Tegas Vilien.
Suara pria yang berdehem semakin membuat Sye gugup, bergetar dan berkeringat dingin. Ia tatap kedua bola mata Vilien dengan mata yang memerah sebagai permohonan untuk menuruti saja permintaan pria yang tengah menunggu.
“Belakang masih kosong! Mengapa kau sangat suka menyulitkan orang lain!” marah Vilien pada pria yang kini telah duduk nyaman di sampingnya. Tidak hanya marah, ia pun berteriak di samping telinga.
Kembali menghadap ke depan, tapi semua mata mengarah kepadanya dengan diam. Entah apa yang salah kepadanya.
“Oh, maaf. Silahkan lanjutkan,” ucapnya pada dosen yang juga memelototi dirinya dengan galak.
“Temui saya setelah pelajaran selesai.”
“Tidak perlu!” Seru Zayden datar dan dingin. Pria yang duduk di samping Vilien.
Barulah setelah Zayden mengeluarkan suara, ruang itu kembali tenang dan fokus pada apa yang sedang di pelajari.
Jangan bertanya bagaimana. Sepanjang pelajaran berlangsung, Vilien dibuat sakit kepala oleh Zayden. Dengkuran halus, kepala yang menyandar di pundak tentu sangat mengganggu konsentrasinya. Bahkan dosen yang melihatnya tidur tidak menegur. Lalu sekarang, pria itu dengan seenaknya memakai pen miliknya tanpa permisi. Juga, meminum air miliknya yang diambil dari dalam tas karena memang tas miliknya terbuka lebar.
“Honey lemon,” komentarnya setelah menegak separuh botol dan menutup kembali.
Beberapa detik kemudian Zayden harus menerima hantaman hingga kepala harus mendongak karena kuatnya sesuatu yang menyeranh wajahnya. Hidung mancungnya seketika melelehkan darah segar. Membiarkan darah itu turun bebas sambil menatap tajam pelakunya. Tak lain Vilien yang juga menatapnya penuh kekesalan.
“Aku tidak peduli seberapa kaya dan terpengaruhnya kau!” teriak Vilien dengan suara menggebu dan terdengar jengkel.
Berdiri tegak menatap dosen yang menganga tak percaya dengan sikap Vilien.
“Saya akan menemui anda!” serunya dari tempat.
Vilien mengemasi barang miliknya lalu beralih ke depan. Duduk di lantai. Setidaknya itu lebih baik dari pada di bangku bersama pria yang menjengkelkan.
“Mewarnai hari pertama dengan buruk. Bodoh sekali,” maki sang dosen. Tapi masih bisa di dengar jelas oleh semua orang.
“Lebih bodoh membenarkan sikap tak terpuji dan menerima harga dirinya dilecehkan,” sahut Vilien santai tanpa menatap sang dosen.
“Tidak akan ada yang menolongmu jika sesuatu terjadi detik berikutnya,” peringat sang dosen.
“Tuhan bersamaku. Aku akan aman,” jawabnya lagi acuh tak acuh.
Tidak ada suara sedikitpun. Hanya perdebatan dosen dan mahasiswi baru itu. Jangankan bersuara, bernafas saja takut.
Teriakkan melengking memenuhi seluruh penjuru ruangan. Zayden menarik kerah jaket jeans yang dikenakan Vilien dan menyeret keluar dengan paksa. Menyusuri lorong sambil menyeret enteng Vilien yang terus meronta dan berteriak memaki. Sumpah serapah pun Vilien lontarkan, sehingga semua penghuni kelas yang mereka lalui berebut mengintip.
Bukan hal aneh jika saat ini adalah satu-satunya kejadian. Semua penghuni kampus tahu jika keributan yang menggema berarti sang singa sedang bangun.
Sye, yang berada di dalam ruangan ikut keluar menyaksikan secara langsung bagaimana Zayden bertindak. Rasa kasian ingin membela tak mampu membuat dirinya berani bertindak. Hanya ikut menyaksikan dengan lelehan air mata. Namun hanya beberapa menit dan berganti dengan kedua mata melotot pun membekap mulutnya sendiri.
Dari jarak yang masih bisa dijangkau ratusan pasang mata, Zayden mengangkat tubuh Vilien enteng lalu memanggul seperti karung beras. Pun memukul p****t Vilien cukup keras, hingga wanita itu memekik dan mengumpat.
“Hei! Pria c***l! Turunkan aku!” pinta Vilien dengan suara lantang.
Mengabaikan semua lontaran kata dari mulut wanita yang tergantung di bahu. Tangan yang melingkar pada tubuh Vilien semakin mengerat karena menuruni tangga. Menghampiri supercar modifikasi spektakuler miliknya lalu menurunkan paksa wanita itu. Tidak ada celah untuk Vilien menghindar karena Zayden langsung mengurung tubuh wanita itu yang mentok pada badan mobil.
“Siapa namamu?” Tanya Zayden dengan suara berat nan rendah mirip berbisik.
“Pergi kau! Aku tidak mengenalmu, brengsek.” Bukan menjawab, Vilien melotot galak pada Zayden tanpa takut.
“Mari kita buktikan kebrengsekan ini,” sahut Zayden dengan senyum miring.
“Aku bersumpah akan mematahkan tulangmu, jika kau kurang ajar kepadaku,” ancam Vilien.
“Ah, benarkah?” ejek Zayden sambil memangkas jarak mereka. Menempelkan tubuhnya pada tubuh Vilien. Hidung keduanya saling bersentuhan tipis dan nafas yang seolah beradu di udara. Terdiam saling mengamati sejenak.
Orang lain boleh saja diam. Tapi tidak untuk dirinya. Harga dirinya sangat mahal dan tidak seorangpun ia biarkan menginjak begitu saja. Otaknya mulai berputar dan bekerja.
Gesit tangannya menyilang, melingkar di leher lalu menarik kuat membenturkan dengan lutut miliknya yang tertekuk menggantung.
Zayden membalas dengan gerakkan cepat. Menggeram murka, mencekik batang leher Vilien kuat hingga wanita itu mendelik. Kedua tangan meronta memukul lengan Zayden tapi tenaganya tak cukup mampu untuk melepaskan. Kedua lingkar mata Zayden memerah karena menahan emosi serta kesal. Rambut yang diikat separuh ke belakang mulai terkeluar jatuh ke depan beberapa helai dan basah oleh keringat.
Kembali Vilien menumbuk perut Zayden kuat, hingga pria itu melepaskan tangan dari batang leher. Cepat pun kilat kaki yang terbungkus sepatu bersol tinggi itu menginjak d**a Zayden. Satu kaki lainnya menginjak salah satu tangan Zayden, tangan yang digunakan untuk mencekik dirinya.
“Tidak semua orang bisa kau injak!” ucap Vilien penuh berani pun dengan kedua tatapan tajam. Mereka saling menatap tajam penuh kebencian.
“Vi!” teriak seseorang lantang sambil berlari menghampiri dua anak manusia yang adu hantam di tempat parkiran.
“Dia sepupuku. Tolong, lepaskan!” pintanya.
Tatapan Vilien beralih pada pria yang berjongkok di bawahnya, tepat di samping kepala Zayden.
“Ryo!” serunya bahagia.
Seratus delapan puluh derajat mimik wajah Vilien berubah setelah Ryo berada di depannya. Beralih ke punggung Ryo dengan memeluk leher pria itu dari belakang.
Mengutik jidat Vilien, “Dia bukan lawanmu. Sudah ku katakan, jadilah wanita.”
Melepaskan diri dari Ryo lalu berdiri tegap dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Wajah angkuh dan galak kembali menyelimuti saat menatap Zayden yang mulai bangun dibantu Ryo.
“Semua ini karena sebab,” jawab Vilien.
“Kau mengenal dia?” tanya Zayden dengan wajah yang sangat kusut bercampur kesal.
“Sahabatku. Peraih juara pertama tingkat internasional lima tahun berturut-turut dalam beberapa bidang olah raga, terutama di bidang bela diri.” Jelas Ryo.
Semua penghuni kampus yang sejak tadi menyaksikan seketika bertepuk tangan kompak. Tapi segera berhenti dan berhambur lari terbirit-b***t karena Zayden menyapukan tatapan tajam menusuk ke seluruh arah.
“Tidak peduli kau sahabat sepupuku, aku belum terima kalah,”
“Kalau begitu, mari kita selesaikan sampai bermandikan darah.” Tantang Vilien berani.
“Tidak, tidak. Cukup!” Ryo berdiri di tengah menengahi kedua manusia yang masih terbakar amarah.
“Menyingkir!” ucap Vilien dan Zayden kompak.
“Aku katakan stop! Ya stop!” bentak Ryo. Seketika keduanya menjatuhkan bahu kompak.
Ryo masuk ke dalam mobil Zayden, duduk dibalik kemudi lalu menghidupkan mobil. Sedangkan kedua manusia yang masih berkobar ingin baku hantam setia berdiri.
“Masuk!” perintah Ryo. Keduanya mengambil langkah.
“Hei! Kau duduk belakang! Ini mobilku,” Zayden menahan pintu dengan tatapan tajam ke Vilien.
“Ryo.....” panggil Vilien melas penuh permohonan.
“Zay,”
Mengatupkan bibir kuat sambil menendang badan mobil lalu membuka pintu belakang. Demi Tuhan. Ini mobil miliknya, mengapa dirinya yang harus mengalah.
“Ini mobilku. Mengapa aku yang harus mengalah untuk wanita setan ini.” Zayden akhirnya mengeluarkan bongkahan batu jengkel dari benaknya.
Vilien yang duduk manis di jok depan sejak mobil berjalan harus memutar tubuhnya menghadap ke belakang.
“Tidakkah kau malu, berdebat dengan seorang wanita? Ah, mungkin uratmu sudah tak lagi tersambung dengan benar,” Vilien bersuara.
Tanpa sadar tangan Zayden terulur menarik rambut Vilien yang terikat. Sehingga wanita itu ikut menunduk karena tarikkan kuat. Rasanya seluruh rambutnya ingin tercabut dari kulit kepala.
“Kau! Benar-benar wanita lancang!” bentak Zayden di depan wajah Vilien dengan sorot mata tajam.
“Dan kau! Pria kasar!” umpat Vilien dengan nada tinggi.
Ryo menoleh kilas dan detik itu juga kedua bola matanya membulat. Jalanan cukup padat tapi ia harus segera menepi.
“Astaga!” seru Ryo dengan meraup kasar wajahnya sendiri.
“Kau setan!” maki Zayden pun dengan suara kuat.
“k*****t! Kau hanya berani menganiaya wanita!” balas Vilien. Tangannya mencengkram pergelangan Zayden untuk menahan tarikan. Tapi, karena kuatnya tenaga pria itu yang terjadi hanya penahanan kosong.
Ryo yang berusaha melerai kualahan karena satu menggenggam kuat, sedangkan yang satu meronta sebagai perlawanan. Bukannya terpisah, malah dirinya berkali-kali pelipisnya terhantam. Geram dengan kedua makhluk itu akhirnya Ryo menumbuk wajah Zayden hingga tubuh pria itu mundur menghantam sandaran kursi. Lalu disusul lelehan darah segar keluar dari kedua lubang hidung.
“s**t!” umpat Zayden sambil mengusap lelehan darah menggunakan jari.
“Tidak bisakah kalian diam.” Ryo menatap keduanya serius.
“Inilah alasanku ada di sini. Aku telah menduga jika pertemuan kalian tidak akan tentram. And, see....”
“Dia yang memulai sebelumnya, Ryo. Kau percaya denganku, bukan?” sela Vilien dan mendapat tatapan dingin yang membuatnya menciut.
“Berapa kali aku harus memperingatkanmu untuk menahan diri? Jadilah wanita lembut,” Ryo menurunkan suara normal.
“Ck!” decih Zayden dari belakang. Setelahnya mendapat lemparan kotak dari Vilien. Kotak yang tergeletak di dashbord.
“Jangan sentuh barangku!” seru Zayden tegas. Vilien merotasikan kedua bola mata jengah.
“Jadi? Jika orang akan membantaiku, aku harus diam, begitu?” kali ini Vilien menatap serius pada Ryo.
“Tidak, maksudku gunakan seperlunya.” Ryo menanggapi dengan gelapan.
Membuka kasar pintu lalu menutup dengan cara dibanting. Tidak lupa menendang pintu sebelum menjauh pergi. Segera memberhentikan taksi yang kebetulan tanpa penumpang. Mengabaikan teriakan Ryo menyuruhnya turun.