“Ck! Gadis kepala batu!” umpatnya setelah kembali masuk ke dalam mobil.
Segera menyalakan mesin dan melajukan mengikuti taksi yang di tumpangi Vilien. Satu tangan sibuk memegang ponsel menghubungi wanita itu. Berkali-kali Ryo mengumpat kesal karena panggilannya tak terjawab.
Sepanjang perjalanan ponsel Vilien tidak berhenti berdering. Panggilan masuk dari Ryo berulang kali Vilien abaikan. Menempelkan sebelah sisi wajah pada bingkai jendela yang memang ia buka. Membiarkan angin kencang yang dilalui menabrak wajah.
Taksi yang ditumpangi Vilien telah melaju selama dua puluh menit, namun ponsel dalam saku jaket tak kunjung diam. Kasar Vilien merogoh, melihat nama di layar persegi sejenak. Ia geser tombol warna hijau ke samping.
“Aku tidak ingin bicara atau bertemu denganmu untuk sementara waktu.” Dingin suara Vilien.
“Aku minta maaf. Dimana kau? Aku jemput,”
“Tidak perlu. Aku tahu jalan pulang,” jawab Vilien. Setelahnya ia mematikan panggilan sepihak. Memberitahu alamat kepada sopir taksi kemana tujuannya.
Kembali Vilien menatap ke luar jendela yang terbuka. Ia lemparkan pandangan ke luar jauh, mengulas semua hal dalam hidupnya. Ada rasa sedih yang berada di sudut hatinya yang seolah tak ingin beralih. Ya, tak beralih.
Semua berawal dari keinginan, impian, dan tujuan hidupnya. Tapi, semua hal itu ditentang oleh seluruh keluarga. Hobi, kesenangan, juga mendapat penolakkan dengan alasan dirinya seorang wanita. Tidak sampai disitu, bahkan ayahnya tidak membiayai sepeserpun karena dirinya memilih jalan sendiri. Bekerja paruh waktu menjadi pelayan restoran, belajar mati-matian demi mendapatkan beasiswa.
Di tempat lain, Ryo terlihat frustasi. Ia tidak menyangka jika ucapannya tadi menyinggung hati Vilien. Tujuannya agar wanita itu bisa mengontrol jiwa brandalnya. Ia sangat tahu jika Vilien masuk ke fakultas itu dengan beasiswa, tentu perilakunya akan mempengaruhi. Ini bukan lagi London yang semua orang tahu latar belakangnya. Segera menggulir ponsel sambil fokus mengemudi.
“Apa pun yang terjadi, tidak akan mempengaruhi beasiswa Vilien Geisy,” ucap Ryo dengan orang seberang panggilan. Setelahnya menutup dan menyimpan ponsel kembali saku. Ia putar kemudi menuju kantor. Membiarkan wanita itu menenangkan diri, tidak akan terjadi sesuatu pada wanita yang terbiasa hidup bebas di jalanan.
“Kau menyukai wanita itu?” celetuk Zayden dari jok samping.
Sejak tadi diam mengamati sepupunya berinteraksi pada wanita. Ya, tidak ada yang tahu jika pria matang itu memiliki teman, sahabat wanita. Wanita yang dekat dengannya hanya para saudara saja, itu yang ia tahu.
“Aku menyayangi dia seperti aku menyayangi Rexy,” jawabnya tenang.
“Kau berkata seperti itu karena aku mengincar sahabatmu?” pancing Zayden tak suka.
“Jangan berulah dengannya. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia,” Ryo memperingati.
Zayden diam tanpa menjawab sepatah kata, hingga mobil yang dikemudikan langsung oleh Ryo berbelok menuju gedung besar milik pria itu.
Zayden sendiri memilih pergi ke tempat yang dia mau. Kembali ke kampus sudah sangat malas.
Di tempat lain, Vilien telah sampai di sebuah klub. Bukan klub minum atau penghibur, melainkan klub bertarung. Ia pun tidak sengaja menemukan tempat ini, berawal sekedar melihat sisi kota dan berpikir mencari cemilan. Namun yang ia dapati malah tempat yang tidak satu pun orang berpikir area bergulat. Ya, dibalik sebuah kafe santai yang berada di tengah gang, Hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki. Tidak ada mobil yang terparkir meski memiliki area parkir luas. Benar-benar di dalam dan tersembunyi, ternyata tempat berkumpulnya para pegulat profesional.
Tersenyum sengit,”ck! Di luar otak manusia normal,” celetuk Vilien pelan ketika pandangannya disuguhkan ring besar yang diselimuti jaring besi.
Sorak riuh yang sangat ramai menyuarakan idola masing masing. Tepat di samping Vilien dua pria perwakilan dari dua kubu mengeluarkan setumpuk uang. Saling menatap galak pun bengis. Samping lain mengulurkan serbuk dalam plastik yang bisa Vilien tebak itu barang terlarang. Untuk sesaat kedua mata Vilien melotot tapi segera mengalihkan ke arah ring.
Pertarungan pun di mulai. Memukul, menghindar, membanting, semua hal kekerasan terekam oleh netra Vilien. Pandangannya terus mengamati pergerakkan yang jelas itu bukan bela diri lagi, tapi pertaruhan nyawa. Memang, tidak sampai mati tapi cidera permanen. Berjam-jam tidak terasa, waktu telah menunjukkan sore. Seorang penengah telah mengumumkan pemenang dan memberikan satu koper uang.
“Siapa pun yang bisa mengalahkan aku! Uang ini dan pengakuan penuh akan ku berikan!” seru seorang pria bertubuh besar yang berada di atas ring bersuara lantang.
Vilien yang berbalik dan siap meninggalkan tempat seketika terdiam mendengar lantunan itu. Rasa ingin naik ring mulai berkeliaran dalam diri Vilien. Ia pun berbalik ke arah ring. Sepatu bersol tinggi yang sedang dikenakan menimbulkan suara menggema seiring langkah kian mendekat.
“Aku ingin mencoba,” ucapnya dengan tatapan serius.
Semua orang yang masih tersisa di tempat itu menoleh ke arah Vilien dengan kedua bola mata melotot. Sampai satu pria bertubuh kekar dan berotot tergesa menyibak beberapa orang menghampiri Vilien.
“Pulanglah! Ini bukan mainan,” cegah si pria besar.
“Aku serius,” ucap Vilien sambil menatap pria itu yang berdiri menjulang tinggi di depannya.
Melihat ke arah ring, dua orang pria masih menatapnya. “Apa benar itu uang yang akan aku dapatkan, jika aku menang?” seru Vilien bertanya.
“Ya.” Singkat menjawab.
Segera melepas tas dan sepatu tinggi. Menggulung rambut pirang kuat tapi beberapa masih terkeluar dari ikatan. Melepas baju dan menyisakan bra sport. Kemudian melompat naik menerobos helai tali yang menjadi pembatas ring.
“Apa yang kau lakukan, gadis kecil?” seru pria yang akan menjadi lawan Vilien sambil melipat kedua tangan di depan d**a.
“Bertarung denganmu dan membawa uang satu koper itu,” jawab Vilien santai sambil mengintip koper yang di bawa pria satunya.
Pria itu mengambil satu ikat tebal uang dalam koper lalu mengangkat di depan wajahnya.
“Untukmu. Ambil dan pulanglah belajar,” ujarnya dingin pun suara berat yang tidak tinggi.
“Sayangnya, aku lebih ingin satu koper itu.” Vilien menolak. Meniupi ujung kuku yang kemarin baru saja perawatan.
“Kirim pesan kepada ibumu untuk menyiapkan upacara kematianmu,” ucap si pria penuh percaya diri.
“Ibuku sudah siap,” sahutnya cepat pun enteng.
Tanpa aba-aba dan masih negoisasi, tiba-tiba pria besar itu bergerak cepat ke arah Vilien melayangkan pukulan. Tapi Vilien lebih dulu menjatuhkan diri ke bawah menerobos diantara s**********n pria itu. Berdiri cepat lalu memukul kuat bahu kanan sekuat tenaga. Bersamaan dengan pukulan itu, ia pun menginjak pangkal paha bagian kiri. Teriakkan keras pun kuat menggema satu ruangan besar. Enam pria berbaju hitam naik ke atas menghampiri pria yang Vilien tumbangkan.
Tidak, ini pasti jebakan. Itu yang ada dalam pikiran Vilien. Dirinya masih melotot dengan apa yang di depannya. Demi apa pun, ini masih permulaan. Semakin melotot pun mulut menganga lebar hingga dagunya seolah ingin jatuh, saat enam pria berbaju hitam menggotong turun lawannya. Segera ia berlari ke tepi ring dan berteriak.
“Hei! Aku tidak butuh di kasihani! Kembali dan bertanding pada umumnya!”
“Hei! Kembali!” teriak Vilien melengking.
Lalu bahunya di tepuk dari belakang. Tanpa melihat Vilien mencekal cepat lalu memutar bersamaan tubuhnya berbalik. Sontak pria itu terbanting dan berteriak keras.
“Gadis gila!” Umpatnya sambil meringis mulai bangun.
Vilien melotot kilas, kemudian melihat pria yang memegang koper berisi tumpukkan uang. Segera mengambil dan turun dari ring. Menyambar kasar tas, baju yang tergeletak di lantai. Segera kabur dari tempat. Lari kencang sambil susah payah menenteng barang-barangnya. Kaki telanjangnya terus melebar menyusuri lorong kecil yang gelap, menyelinap gang sempit yang ia sendiri tidak tahu. Pelariannya yang semakin jauh dan tidak berani menoleh ke belakang pun sampai ujung lorong yang terang tanpa memelankan laju lari. Tepat sampai ujung berteriak tanpa suara, melempar dua tas dan baju ke dinding agar tidak tercebur ke sungai. Kedua tangan yang telah kosong sigap berpegangan pada besi pembatas. Berayun lalu melompat ke tepi. Meski sedikit punggung harus terbentur tembok terpenting baginya tidak jatuh ke sungai besar. Nafas Vilien berhembus tak beraturan, tersengal susah payah pun keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dadanya yang basah oleh keringat mengkilap karena sorot lampu di atasnya.
“Sialan! Bagaimana bisa pria tidak waras itu berada di sana,” umpat Vilien di tengah mengatur nafasnya yang masih berat tak beraturan.
Sesuatu dingin menyadarkan Vilien, “Argh! Sial!” umpatnya setelah melihat sebelah kakinya mengalirkan darah segar.
Melipat kaki agar lebih dekat, sambil meringis melihat lelehan itu. Lantas merobek kaos miliknya untuk melilitkan pada kaki agar tidak semakin banyak darah yang keluar. Selesai mengatasi kaki yang robek oleh pecahan kaca, Vilien beranjak meninggalkan tempat. Menyusuri jalan setapak tepi sungai sambil bersenandung kecil. Rasa perih di bawah ia abaikan, baginya itu tidak ada apa-apanya.
Sebuah pohon besar yang cukup lebat dan ranting kokoh, seorang gadis duduk dengan kaki selonjor lurus mengikuti lurusnya ranting kokoh sambil menikmati burger. Di atas pohon itu, Vilien menemukan tempat yang nyaman. Pandangannya menatap pada deretan gedung tinggi yang berkelip karena lampu rumah-rumah masih menyala. Rembulan membulat sempurna dengan cahaya terang yang memantul ke air laut menjadi teman Vilien malam ini.