Memikirkan

2004 Words
Sejak pagi atau lebih tepatnya setelah berada di kampus, Zayden mondar-mandir menyusuri lorong yang biasa dilewati Vilien. Bingung ingin bertanya kepada siapa, karena setahu dirinya Vilien tidak dekat dengan siapa pun. Tentu saja semua orang akan menghindari dan menjauhi gadis itu karena selalu ada dirinya di samping. Berkali-kali membuang nafas kasar. Menjadi orang yang ditakuti seluruh kampus juga tidak menyenangkan untuk saat ini. Masih mengenakan seragam basket dan rambut yang diikat separuh pun keringat membanjiri seluruh wajah, Zayden tidak berhenti menyusuri seluruh sudut kampus. Langkah kaki tiba-tiba berhenti, berputar dan melangkah lebih cepat. Baru saja ia mengingat seseorang yang bisa diyakini mengetahui keberadaan Vilien. Melihat ke papan kecil yang tertempel pada pintu bagian atas. Melangkah santai dengan wajah datar. Melewati satu persatu meja panjang yang berbaris ke belakang, kedua mata elang liar mencari satu gadis. Hanya beberapa saat saja telah menangkap keberadaan si gadis. Saat semua penghuni menunduk takut tidak berani melirik, malah si gadis masih santai. Oh tentu, eraphone yang menyumbat kedua telinga dan pandangannya terlalu fokus pada buku yang sedang dibaca, gadis itu tidak menyadari kedatangan pangeran pencabut nyawa yang semaikn dekat. Sekali menggebrak seluruh penghuni telonjak kaget tapi tidak ada yang berani menoleh bahkan melirik. Begitu pun dengan si gadis yang telonjak, mendongak dan segera menjatuhkan pandangan ke bawah pun kepala menunduk. “Dimana Vilien?” sosor Zayden sambil menggebrak meja. Melotot kedua mata Sye dengan posisi masih menunduk menatap buku. Ragu pun takut menatap si pemilik suara. “Tidak tahu,” jawabnya lirih. Kembali menggebrak meja dan sukses membuat Sye bergetar kecil. “Jawab yang benar!” tekan Zayden. “Su-sungguh, aku tidak tahu,” jawabnya lagi dengan suara gagap. Sye memejamkan mata rapat, untuk ketiga kalinya Zayden menggebrak meja sebelum pergi. Sesampainya di ruang ganti, Zayden mengacak rambut frustasi. Membuang nafas kasar sambil berkacak pinggang. Kembali mengulang ingatan sedari sampai kampus sampai detik ini, ia akui tingkahnya sangat aneh dan sulit untuk dikontrol. Kesal dan resah yang Zayden rasakan, lantas ia memutuskan mencari angin segar. Segera mandi dan berganti dengan baju yang layak. Di tempat lain, Vilien terlihat sibuk menghampiri meja ke meja. Mencatat pesanan, mengantar pesanan ke meja, mengelap meja setelah pengunjung pergi. Semangatnya tergambar jelas pada raut wajah gadis itu. “Vilien, bisa tolong antarkan kopi ini pada pengunjung paling pojok itu? Aku sudah tidak tahan ingin pergi ke kamar kecil,” pintu salah satu rekan kerja sambil menunjuk ke luar tepat pada seorang pria yang duduk sendiri memunggungi kaca bening. “Ya. Tentu saja,” sahut Vilien dan segera mengambil alih nampan dari temannya. Sambil membawa nampan, Vilien melirik kilas ke langit. Tersenyum kilas karena hari mulai gelap dan hari pertamanya bekerja akan segera selesai. “Permisi, Tuan. Kopi anda,” tutur Vilien sopan sambil meletakkan cangkir di atas meja kayu. “Vilien,” tegur Zayden. Sontak Vilien mendongak menatap sapaan, kedua matanya melebar. Pengunjung yang dihampiri ternyata pria penyebab kepalanya pusing akhir-akhir ini. Sudah tenang satu hari Vilien lewati dengan tenang dan damai, tapi menjelang malam pria itu tiba-tiba muncul di depan mata. Sambil membawa nampan, Vilien berkacak pinggang menatap Zayden galak. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Zayden segera. Tidak tahan menunggu jawaban. “Matamu buta, huh? aku sedang menjadi pelayan,” jawabnya malas. “Baiklah, aku akan menjadi pelanggan tetapmu,” ucap Zayden sambil menaikkan alis dan senyum tengil. “Masih banyak kafe dan restoran mewah, kenapa kau harus berhenti di tempat ini, hm?” nada bicara Vilien terdengar panas di telinga. Zayden tersenyum kecil. Dalam hati penuh kemenangan dan rasa lega yang dirasakan meski ia sendiri tidak menyadari. Otak sedari pagi penuh dan buntu mendadak plong. “Tidak perlu tersenyum. Segera habiskan kopimu dan pergi dari sini!” sambar Vilien lagi dan mengusir di ujung kalimat. Menyandar tegak sambil melipat kedua tangan di depan d**a, Zayden tatap lurus ke wajah wanita yang sedari tadi pagi membuat hidupnya uring-uringan tidak jelas. “Kau pemilik restoran ini?” tanya Zayden. “Tidak. Tapi aku tidak suka melihatmu berlama-lama di sini,” sahut Vilien cepat. “Aku tunggu sampai kau selesai bekerja. Aku tidak akan mengganggu dan hanya akan duduk manis di sini,” cetus Zayden. Darah Vilien seketika naik hingga level teratas. Diletakkan kasar nampan ke meja, satu tangan mencekal dagu Zayden, satu tangan lain memegang gagang cangkir siap di arahkan ke mulut. “Nona! Aku mau memesan!” teriakan seorang gadis di meja agak jauh menghentikan aksi Vilien. Membuang nafas kasar dan meletakkan kembali cangkir di meja. Menghempaskan juga dagu Zayden. Menyipitkan mata galak sambil meraih nampan kasar pun kesal. Masih berputar, belum sempat melangkah satu pergelangan tangannya ditarik dan ia pun jatuh di pangkuan Zayden. Memberontak ingin berdiri namun perutnya telah melingkar tangan pria itu. “Jangan kau lepaskan atau ku kuliti wajahmu. Aku tunggu sampai kau selesai,” bisik Zayden penuh peringatan sambil memasang gelang di pergelangan Vilien. Vilien menumbuk perut Zayden dengan siku tangan sampai membuat Zayden meringis tertahan. Ia segera bangun menghadap Zayden dengan meremas tangannya sendiri lalu meninggalkan Zayden secepatnya, menghampiri dua gadis yang telah menunggu. Puncak makan malam pun telah tiba. Waktu paling padat setiap restoran dikunjungi para pemburu makanan. Mobil lalu-lalang semakin padat, pengguna bus tak kalah padat bahkan sampai tiga bus antri menurunkan penumpang di halte. Pejalan kaki pun sama. Meski menunggu selama dua jam, sedikitpun Zayden tidak bosan karena aktifitas sekitar cukup membuatnya terhibur. Pusat perbelanjaan dan kuliner dengan harga murah menjadikan tempat ini banyak di gemari. Penyanyi jalanan yang hanya diiringi gitar pun tak jauh dari tempat duduk Zayden ikut mewarnai pendengaran. Meski berbagai hal menarik terpampang di depan Zayden, tapi pandangannya tetap mengikuti gerak langkah Vilien. Jika Vilien masuk ke dalam dan tidak terlihat dari kaca, maka tatapannya tidak akan meninggalkan pintu. Sesekali tatapan mereka saling bertabrakan dan lemparan mata sinis yang di dapat oleh Zayden. Terkekeh rendah melihat betapa manisnya Vilien dengan ekspresi seperti itu. “Berhenti menatapku,” desis Vilien pelan setelah meletakkan makanan dan berputar menghadap Zayden. Hanya beberapa detik setelah mengatakan itu Vilien kembali pada pekerjaannya. Zayden membuang tawa rendah. Ini akan menjadi rutinitas baru untuknya mulai sekarang. Tanpa sengaja wanita itu seperti memiliki cara agar ia terus memikirkannya. Reaksi marah, kesal, dan cara gerak bibirnya yang mengecam terlihat lucu dan menggemaskan. “Apa dia kekasihmu, Dude?” tanya seorang pria muda seumuran Zayden. “Ya.” Singkat dan pasti Zayden menjawab. “Kau membuat kami patah hati!” timpal pria lain yang masih satu meja dengan pria sama. “Sejak tadi pagi kami melihat gadis itu di restoran ini, kami bertaruh. Siapa yang diterima menjadi pacarnya, maka yang lain harus menyerahkan mobilnya,” ungkap pria satunya. Mereka berjumlah tiga. Masih di posisi sama pun memasukkan telapak tangan pada saku jaket, Zayden menelengkan kepala dan matanya berkilat tajam ke arah tiga pria sampingnya siap untuk menguliti satu-satu. “Sekali saja kalian menggodanya, ku cungkil bola mata kalian satu-satu.” Peringat Zayden. “Hati wanita mudah dibalikkan, jika ada kekasihnya mereka akan semanis kucing, padahal aslinya binal...” Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya oleng ke belakanh bersama kursi yang sedang di duduki. Hati dan telinga Zayden panas, seketika tanpa aba-aba tumbukan super kuat dilayangkan ke wajah pria tadi. Zayden juga menunjuk kedua teman pria itu yang masih terdiam bodoh. “Aku benar-benar akan menguliti kalian hidup-hidup jika masih datang ke sini,” Kecam Zayden penuh peringatan. Suara ribut di depan membuat semua yang ada di dalam keluar termasuk Vilien sendiri. Melotot dan berjalan cepat menghampiri Zayden. Ditarik tangan pria itu sedikit menjauh. “Apa yang kau lakukan di tempat kerjaku, huh! Kau tidak waras!” Omel Vilien. Wajahnya merah kesal. “Aku melakukan apa yang ku anggap benar,” jawab Zayden santai. Kedua tangan ia selipkan di saku celana dan pandangannya ke jalan raya. “Jauhi aku.” Putus Vilien kemudian berbalik melangkah cepat masuk ke restoran. “Nyonya, aku minta maaf atas keributan yang diciptakan oleh temanku,” ucap Vilien setelah berada di depan pemilik restoran. Kepala ditundukkan dalam dan jari tangan saling terkait resah. “Restoran sedang ramai, lebih baik kembali pada pekerjaanmu,” jawab pemilik restoran tanpa menatap Vilien, sibuk menulis lembar bill bahan dapur. “Baik,” Situasi kembali tenang. Begitu juga dengan Zayden, kembali duduk menunggu Vilien selesai. Sambil bermain di ponsel canggih miliknya, ia tampak tenang dengan dunia sendiri. Semua karena ingin melupakan ucapan pria tadi. Sungguh, ia tidak suka mendengar pria mengumpat atau merendahkan wanita. Seburuk-buruknya wanita pasti ada satu hal yang mendasari atau mendorong ke arah yang tidak benar. Apa lagi pria tadi mengatai Vilien dengan tuduhan tak berbukti, tentu ia tidak terima. “Jangan kau ulangi lagi. Sungguh, aku sangat membutuhkan pekerjaan itu untuk makan,” ucap Vilien kemudian menggigit besar burger yang baru saja di keluarkan dari bungkus. “Aku sangat waras dan berpendidikan yang menjunjung etika tinggi, sangat tidak mungkin aku bertindak tanpa alasan,” jawab Zayden setelah menelan. “Harusnya kau biarkan saja. Hal itu sangat wajar di lingkungan begini,” tutur Vilien. Kini keduanya duduk di bangku bawah pohon pinggir jalan. Tatapan mereka terlempar jauh ke deretan gedung bertingkat. Berbatas pagar besi dan berseberangan dengan sungai besar yang terhubung dengan laut, membentang panjang. “Ada kalanya manusia seperti itu diingatkan dengan tindakan. Agar lain kali bisa berpikir dulu sebelum melontarkan kata,” Zayden menjeda kalimat. Memutar kepala ke samping menatap sisi wajah Vilien. “Boleh ku bertanya?” celetuknya spontan serius. Vilien menoleh dan mengangguk, kemudian melanjutkan menggigit burgernya. “Kau sebatang kara?” penuh hati-hati dan ragu Zayden bertanya. “Anggap saja begitu,” jawab Vilien santai pun sedikit senyum. Tapi jelas wajahnya tampak jatuh dalam pengamatan Zayden. “Boleh kita berteman?” “Tidak mau,” sahut Vilien cepat. Melebarkan kedua mata pun kedua alis terangkat. “Kenapa?” “Kau sombong dan angkuh,” jawabnya sambil menggigit sedotan yang tertancap pada gelas plastik. “Tidak, aku hanya membatasi komunikasi,” bantahnya sambil memutar posisinya semula. “Omong kosong. Ryo tidak seperti itu,” “Hei, jangan samakan aku dengannya. Aku dan dia berbeda,” sanggah Zayden. Membela diri penuh kemenangan. “Terserah kau saja,” putus Vilien. Selesai mengisi perut, Vilien membuka tas yang berada di bawah kakinya. Diambil sebuah buku dan dibuka tengah. Menulis hari, tanggal, tahun dan aktifitas singkat. Kemudian menutup lalu menyimpan kembali ke dalam tas. Hanya tidak sengaja melalui ekor mata, Zayden melihat coretan padat dan corak warna yang cukup membuatnya ingin tahu. Meski Vilien membuka ke satu bagian, tanpa disadari saat menutup sempat terbuka sedikit bagian depan. Tumpukkan kertas pun tampak kurang rapi dan beberapa lembar menganga kecil. Tidak seperti tumpukkan halaman yg belum di beri goresan. “Kau menulis apa?” celetuk Zayden. Benar-benar ingin tahu. “Hanya menorehkan sedikit aktifitas. Kau ingin tahu saja, urusan orang lain,” “Sedikit saja tidak boleh?” masih ngotot ingin tahu. Mengangkat di depan wajah dengan Jempol dan jari telunjuk ditumpuk diberi celah sedikit. Satu tamparan pada tangan Zayden diberikan. Wajah galak dan kedua mata melebar melotot. Zayden menyenggut lesu, wajah tampannya pun ikut jatuh. “Beberapa menit lalu kau minta berteman, dan itu pun aku belum menerima. Sekarang ingin tahu pribadi orang lain, lama-lama ku pukul kau hingga babak belur,” suara Vilien sedikit meninggi tegas dan dilapisi kesal. “Kalau tidak boleh ya sudah, begitu saja marah sampai bola mata terkeluar,” Melihat bibir tipis Zayden komat kamit menimbulkan rasa geram, gemes dan akhirnya ditarik bibir itu lalu Vilien ikat menggunakan karet kecil pengikat rambutnya. Tidak peduli Zayden meronta. Sungguh, ia sangat gemas sekali. “Akh!” teriak Zayden singkat saat menarik karet pada bibirnya. “Kau ini tidak waras, huh!” marah Zayden. Sedangkan Vilien tersenyum puas. “Makanya, jangan dekat denganku. Memang aku ini tidak waras,” jawab Vilien enteng tanpa beban. Detik berikutnya Zayden merampas tubuh mungil itu. Menggendong depan dengan erat. Ringan dan memang pas dalam gendongan. Kaki Vilien menendang bebas pun meronta ingin diturunkan, tapi Zayden malah mendudukkan di motor bsrsamanya. Duduk di depan dan Zayden menyetir dari belakang, tubuh mereka menempel erat karena posisi Vilien menghadap ke belakang. Segera di gas, melaju dengan kecepatan agak kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD