“Bersedia menemani makan siangku?” tawar Zayden setelah kelas selesai dan semua penghuni bersiap keluar.
“Tidak berniat sama sekali,” jawab Vilien datar tanpa membalas tatapan Zayden. Sibuk mengemasi barang miliknya agar tidak tertinggal.
“Hanya makan siang,” ucap Zayden cepat pun menahan pergelangan tangan Vilien yang siap beranjak.
Vilien menghempaskan kasar, juga tatapan datar tanpa ekspresi. “Terima kasih atas tawaranmu, dan aku harap kau berhenti bertindak akrab,” ujar Vilien pun tatapan dingin.
Vilien yang telah berdiri dan siap melangkah meninggalkan meja, mendadak tubuhnya terhuyung jatuh memeluk Zayden. Seluruh organ dalamnya seolah beku. Tersisa suara detak jantung tak beraturan saat tatapannya bertemu dengan netra Zayden. Posisinya sangat intim dan hanya bersekat dua telapak tangan yang menempel di d**a Zayden.
“Aku tidak bisa,” ucap Vilien pelan tepat di depan bibir Zayden yang hampir bersentuhan tipis.
“Aku tidak menerima penolakan,” sahut Zayden. Menekankan ucapannya.
Dua sisi dalam diri Vilien seperti bersinggungan. Berdebat tanpa wujud. Kewarasannya meminta untuk segera mengakhiri, tapi jiwanya ingin terus menempel pada tubuh Zayden. Tidak ada cacat bagi pria yang kini sedang manatapnya tanpa teralih. Wajah tampan dan aroma yang menenangkan disetiap hembus nafas, seakan menghipnotis.
“Aku tidak ingin dekat dengan pria manapun,” ucap Vilien. Menekan kuat d**a Zayden agar jarak semakin lebar. Belum terlepas karena lilitan lengan pria itu yang melingkari.
“Kalau begitu, berhenti menghantuiku,”
Setelah kalimat Zayden selesai, Vilien menghantam rahang Zayden dan ia pastikan rahang kokoh itu sedikit bergeser. Lilitan lengan terlepas, ia pun segera bangkit membenahi penampilannya. Sedangkan Zayden meringis tertahan menahan ngilu yang luar biasa.
“Kau yang selalu mengusikku. Lalu, dengan mudah kau mengatakan aku menghantuimu. Bahkan kau yang selalu mencari gara-gara denganku,” ucap Vilien sambil menunjuki wajah Zayden dengan penuh penekanan setiap kata. Setelah menyelesaikan kalimat, Vilien menendang bangku satu kali sebelum benar-benar meninggalkan Zayden seorang diri di ruangan itu.
“Vilien!” teriak Zayden sambil beranjak dari tempatnya, pun menyambar tas kasar.
Vilien yang menangkap panggilan lantang Zayden segera melebarkan seribu langkah. Terus berlari menembus lorong yang panjang, masuk ke area lapangan luas, masih dengan laju sama tanpa mengurangi. Tergesa dan buru buru menuruni anak tangga yang cukup tinggi, dan sampailah ia di depan pintu gerbang utama. Berhenti sejenak untuk menoleh sekilas ke belakang, kosong. Namun, kembali ia melangkah lebar pun buru-buru meninggalkan area kampus dan semakin jauh jaraknya. Masuk ke gang sempit agar Zayden tidak dapat mengejar.
Menghembuskan nafas kasar berulang kali Vilien lakukan sambil berjalan santai. Keluar dari gang ia pun disambut kedai sederhana berderet sepanjang tepi jalan. Dari toko pakaian, kedai kopi, toko buku, dan masih banyak lagi. Langkah Vilien memotong ke seberang jalan mengarah ke salah satu kedai roti. Aneka jenis kue yang bervariasi memanjakan kedua bola mata wanita itu. Menunjuk beberapa potong roti dengan lain jenis.
Sambil menikmati sepotong kue, Vilien menyapukan pandangan tanpa terlewat. Menghafal juga setiap area persimpangan dan nomor setiap bus yang lalu lalang. Kedua matanya menajam saat menangkap tulisan yang tertempel pada pintu kaca sebuah restoran. Segera berlari ke penyebrangan jalan untuk menuju restoran itu. Menyimpan kantong kertas berisi roti ke dalam tas. Mengelap bibir dengan tisu basah lalu meminum air sedikit dari kran yang berada di dekatnya. Kran air minum yang dikhususkan untuk umum. Ia rapikan penampilannya sambil mengatur nafas dan raut wajah. Penuh keyakinan ia pun melangkah menghampiri pintu kaca.
“Selamat datang, nona,” sapa penjaga kasir.
“Saya melihat tulisan di depan, apa masih ada lowongan yang kosong?” tanya Vilien sambil menunjuk pintu kaca beberapa detik.
“Masih,” jawab si penjaga kasir. Setelahnya memanggil salah satu temannya untuk membawa Vilien.
“Bibi, ada gadis melamar pekerjaan!” seru wanita yang membawa Vilien ke dalam dapur besar.
Wanita paruh baya yang sibuk mengaduk panci besar berhenti melakukan tugas. Mengangkat kepala dan menoleh ke asal suara. Wanita paruh baya itu melangkah menghampiri dengan tatapan lurus ke arah Vilien yang bersembunyi di belakang karyawan.
“Siapa namamu?” tanyanya datar dengan menelengkan kepala ke samping.
Vilien melangkah maju, “Vilien, nyonya,” jawabnya lembut pun senyum yang dipaksa semaksimal mungkin.
“Apa pengalamanmu?” wanita paruh baya mulai mengajuka pertanyaan serius.
Gelagapan. Segera menggeleng cepat. Ini kali pertama ia melamar pekerjaan yang entah bisa sangggup dijalani atau tidak. Tapi dalam otak dan hatinya terus menyuruhnya. Ia pun sebenarnya sadar bahwa tabungannya tak lagi banyak.
“Lalu? Apa yang bisa kau lakukan? Kau lihat, sekelilingmu sibuk dengan pekerjaan masing-masing,” ucap si wanita paruh baya sambil menunjuk seluruh area dapur.
“Saya bisa cuci piring, nyonya. Atau, mengantar ke meja pelanggan,” sahut Vilien cepat pun yakin.
“Karena aku sedang membutuhkan karyawan, maka kau ku terima.” Pungkasnya.
“Tiga hari. Selama tiga hari kau melakukan dengan baik, kau masih bisa bertahan selama seminggu. Jika kau melakukan dengan baik selama tiga bulan, akan kutetapkan kau menjadi pegawaiku,” imbuhnya lagi sebelum berbalik.
“Baik, Nyonya.”
“Tapi nyonya!” seru Vilien sedikit menaikkan suara.
Langkah wanita paruh baya itu terhenti. Berbalik menatap Vilien dengan dahi mengerut.
Vilien maju beberapa langkah, “begini nyonya, saya seorang pelajar dan hanya bisa bekerja separuh waktu selama empat hari. Tetapi, saya bisa bekerja full tiga hari,” jelas Vilien.
“Apa kau yakin bisa bekerja satu minggu penuh?”
“Ya,” jawab Vilien cepat.
“Baik.” Singkat nyonya itu menjawab, setelahnya berbalik. Lagi dan lagi langkahnya kembali terhenti karena pertanyaan Vilien.
“Kapan saya bisa mulai bekerja, nyonya?”
“Jika tidak keberatan besok kau bisa memulai,” ucapnya tanpa berbalik dan hanya memutar kepala ke samping.
Setelah keluar dari restoran dan mendapatkan kesempatan bekerja, Vilien segera menuju toko kecil tempat menjual barang bekas yang masih layak. Sempat ia melihat sepatu dalam kondisi bagus dengan harga sangat murah sebelum memasuki restoran. Sepatu yang akan dipakai untuk bekerja. Berkali-kali harus menyadarkan diri bahwa kini ia hidup sendiri dan mencari makan sendiri, harus sangat berhemat. Setelah mendapatkan sepatu yang sesuai, ia pun menuju ke supermarket membeli persediaan makan untuk satu atau dua minggu ke depan. Barang yang dibeli juga tidak banyak, seperti mie instan dengan jumlah banyak karena lebih praktis dan murah. Tepung dan bahan membuat pasta tentunya. Harus ia akui betapa senang bisa menemukan sudut kota yang menyediakan semua hal dengan harga lebih murah dari supermarket dekat rumahnya. Sudut ini pun sebenarnya tidak jauh dari apartemen.
Kaos tipis longgar berpadu celana jeans pendek yang dikenakan Vilien di malam ini. Berada di balkon menikmati makaroni keju, kaki yang dilewatkan melalui sela jeruji besi pembatas, Vilien gantungkan ke bawah. Desir dingin bercampur panas menerpa permukaan kaki hingga melewati sela jari. Tidak ada yang istimewa, tapi melihat lampu dari deretan gedung padam satu persatu seiringnya malam yang semakin mencekam seakan hal menarik untuk seorang Vilien. Seperti melihat dirinya yang selalu sepi dan sendiri.
“Masih saja menangis. Padahal ini bukan pertama kali. Diriku akan selalu begini, entah sampai kapan.” Berbicara sendiri sambil mengaduk makanan dalam mangkuk plastik, pun diiringi lelehan bening yang jatuh dari ujung mata.
Ada saat memeluk dirinya sendiri kala mengingat dan menyadari keadaan sebenarnya. Hidup di tengah keluarga tak juga ditemukan kasih sayang. Satu hari pernah terlintas dalam benak Vilien, sebenarnya ia ini apa? Pertanyaan yang tak pernah ada jawaban. Walau bagaimana pun, inilah jalan hidup yang harus tetap dinikmati setiap hari. Memberikan warna dan bahagia untuk diri sendiri, mengukir kisah indah sendiri, serta menemukan penerang sendiri. Satu hal yang disadari, setidaknya bersyukur bahwa Tuhan masih mengasihani dan memberi kesempatan berada di tempat ini. Jauh dari kemewahan yang selalu menyelimuti, bisa di umpamakan kemewahan yang sebenarnya runcing besi. Perlahan mencengkram dan mematikan saat tak berguna.