Pengusiran yang dilakukan Vilien tak membuahkan hasil. Lelah mengusir pria itu, lantas Vilien memutuskan mengunci diri di dalam kamar. Menenggelamkan diri untuk mempelajari beberapa topik dan materi lebih banyak. Detik berganti menit, lalu berganti jam dan tanpa terasa telah berjalan lima jam Vilien menghabiskan waktu.
Berdiri dari kursi kayu dan sedikit meliukkan tubuh untuk melenturkan otot yang sedikit kaku. Hanya beberapa detik, lalu Vilien menghampiri gantungan besi yang berdiri di sisi pojok kamar pribadinya untuk mengambil handuk.
Hening menyapa Vilien ketika membuka pintu kamar yang menyorot langsung ke ruang tamu. Sofa panjang kosong dan meja tampak bersih. Membuang bahu cuek, lalu menuju kamar mandi satu-satunya. Santai saja ia melepas semua kain yang melekat pada tubuh lalu melempar pada basket tempat menyimpan baju kotor yang berada di pojok kamar mandi.
Memutar besi yang menutup jalan air secara perlahan, detik kemudian air hangat serentak jatuh dari atas kepala Vilien. Mengguyur dan membasahi seluruh tubuh mungil. Rambut panjang tergerai basah menutup bahu gadis itu. Embun yang dihasilkan oleh uap air hangat pun mulai menutup dinding kaca pembatas. Sentuhan air hangat yang terus mengguyurnya lembut membuat Vilien terpejam. Shampo, sabun berperisa rasberi satu persatu ia gunakan. Aroma segar dan wangi yang menguar memenuhi ruang persegi bersekat kaca, semakin memanjakan diri Vilien.
Tanpa diketahui Vilien, Zayden yang dianggap telah pergi ternyata pria itu kembali lagi dengan membawa dua kantong plastis. Satu berisi makanan, dan satu lagi berisi camilan. Langkah kaki pria itu melebar tergesa menyusuri lorong yang cukup jauh dari lift. Dua kali Zayden sempat menabrak penghuni yang juga tinggal satu lorong dengan Vilien.
“Bagaimana bisa dia hidup di apartemen sempit dan panas seperti ini,” monolog Zayden.
Sampailah di ujung lorong tepat di depan rumah Vilien. Menarik kartu dari saku belakang lalu ditempelkan pada kotak hitam tepat di bawah pegangan pintu. Setelah kunci otomatis terbuka dan ia berada di dalam, segera ia letakkan dua kantong di meja secara kasar karena ia sudah tidak tahan.
Otak cerdas seketika hilang. Mengabaikan sekitar yang seharusnya dia perhatikan. Zayden mendorong pintu kamar mandi yang tidak terkunci, memang rusak dan ia tahu. Sesuatu telah berada di ujung tanduk untuk segera dilepaskan. Membuka resleting tergesa lalu mengeluarkan tombak miliknya. Desahan lega keluar begitu saja dari bibir Zayden.
Teriakkan histeris seolah memecahkan kamar mandi persegi yang tidak terlalu besar itu. Dua anak manusia itu berteriak serempak pun kedua mata saling melotot pada lawan. Hanya berteriak dan tidak melakukan gerakan apa pun, termasuk menutupi aset masing-masing.
“Tutup matamu!” teriak Zayden.
“Kau! Tutup mata!” perintah Vilien. Kedua tangan sibuk berusaha menutupi.
“kau!” teriak Zayden.
“Tutup matamu! Pria sinting!” Vilien meneriaki Zayden hingga otot di leher menyembul.
“Kau yang tutup mata!” teriak Zayden menyuruh Vilien. Posisinya memunggungi tanpa berpikir keluar dari ruang persegi itu.
Semakin panik Vilien. Akal sehatnya mendadak menghilang entah kemana. Terpaksa mendekat pada Zayden untuk mengambil handuk yang tergantung di sebelah pria itu. Setelah melilitkan handuk ke tubuh, lantas Vilien menendang punggung tegap Zayden hingga pria itu berakhir mencium pintu, menempel seperti cicak. Kemudian menarik kaos ke belakang dan jatuh terduduk. Vilien segera membuka pintu dan lari masuk ke dalam kamar, tidak lupa mengunci kembali.
Vilien membanting diri ke ranjang. Menutup wajah dengan bantal sambil berteriak yang tidak mungkin di dengar dari luar. Malu setengah hidup yang dirasakan. Untuk pertama kali juga melihat benda seorang pria yang begitu gagah perkasa. Terlihat kuat dan cukup besar pun keras. Berbagai pikiran aneh berkaliaran di otak Vilien, saat kedua mata pria itu menyorot penuh dua aset miliknya. Rasanya ia ingin menutupi seluruh wajahnya dengan panci.
Membuka bantal, menatap langit langit kamar terdiam. Bukankah ini rumahnya? Lalu, mengapa pria itu masih berada di sini. Semua jenis dan nama hewan Vilien absen satu persatu dengan suara lantang. Berteriak meracau kacau di dalam kamar sambil membuang barang yang ada di atas ranjang ke lantai.
“Aku malu,” menangis sendiri menatap cermin yang menyorot ke ranjang tempat ia duduk dan masih menggunakan handuk.
“Kau tidak gila kan?” ketukan yang disusul suara dari luar makin menambah emosi Vilien.
“Pergi kau! Setan!” teriak Vilien menyahut suara dari luar, pun disertai lemparan botol ke daun pintu yang tertutup.
“Aku hanya memastikan. Em... ku harap kau melupakan kejadian tadi,” serunya lagi.
Turun dari ranjang menghampiri pintu. “Aku sangat baik-baik saja, setan!” teriak Vilien.
“Baiklah, setan ini mau pulang!”
“Pulang! Dan jangan kembali lagi!” balas Vilien.
Zayden yang berdiri di depan pintu mengangkat bahu cuek. Ia pun beralih dan meninggalkan rumah Vilien. Wajah tenang dan dingin di luar berbeda jauh ketika ia berada di tempat tertutup sendirian. Seperti sekarang yang telah berada di dalam mobil. Kejadian kurang dari satu jam menancap kuat pada ingatan Zayden.
Sembari mengemudikan, keringat terus membasahi wajah tampannya hingga rambut hitam ikut basah. Lengkuk tubuh indah gadis itu tidak bisa ia alihkan. Bukan kali pertama melihat tubuh terbuka seorang wanita, tapi Vilien seperti ada sesuatu yang tidak bisa dianggap biasa saja. Wajah cantik dengan rambut pirang basahnya begitu sexy hingga jiwa terdalam seketika berkobar tak kunjung padam. Ia melirik ke bawah, dibalik jeans yang dikenakan tombaknya tak kunjung tidur. Benarkah dirinya telah dewasa? Apa ia butuh pelampiasan? Desakan kotor memenuhi kepala Zayden. Ia pun memutar kemudi dan menginjak gas dalam. Lincah memainkan kemudi dan gas dengan kecepatan tinggi. Tujuannya ke apartement pribadi. Tidak ada wanita atau pelampiasan apa pun, tidak akan rela tubuhnya di sentuh wanita mana pun.
**
Berjarak beberapa meter dari gerbang Vilien masih berdiri dengan bibir melengkung ke bawah. Kejadian semalam masih sangat memenuhi isi kepala Vilien. Sampai dirinya tidak bisa tidur. Sangat enggan melihat Zayden, sungguh, ia sangat malu. Menurunkan kepala ke bawah melihat setelan yang dikenakan, semua serba longgar. Sangat tertutup dan bahkan benjolan bukit kembarnya juga tidak terlihat. Kembali ditatap pintu gerbang besar yang terbuka lebar tapi kedua kaki tak ingin melangkah.
“Menungguku?”
Suara pria masuk ke dalam telinga sontak membuat Vilien terlonjak kaget. Belum sempat berputar melihat wajah si pelaku, kedua bahu di cekal kuat pun di dorong masuk dengan paksa.
“Zayden! Lepaskan!” bentak Vilien. Menyentak paksa tangan besar yang menyentuh tubuhnya. Menjaga jarak beberapa meter sambil menatap pria itu ngeri.
Memasukkan kedua tangan ke dalam saku dan tatapan kedua mata fokus pada Vilien pun senyum miring. Sangat tahu apa yang ada di otak gadis itu. Sebenarnya ia sendiri juga merasakan canggung, tapi setelah mengingat obrolan para tetua di keluarga yang mantan celup menyelup membuatnya tahu sisi pria sejati.
“Kenapa? Minta di gendong?” tawar Zayden.
“b*****t kau!” umpat Vilien. Setelahnya pergi dari hadapan Zayden dengan langkah lebar.
Sampai di kelas Vilien mengeluarkan laptop dan buku catatan. Gugup pun gelisah tidak nyaman. Kedua tangan gemetar namun berusaha menenangkan diri untuk terlihat biasa. Segera meraih botol minum agar lebih santai. Ia teguk lebih banyak. Namun, belum sempat di tutup kembali botol itu telah berpindah tangan. Siapa lagi jika bukan Zayden.
“Anggap tidak pernah terjadi,” ucapnya pelan pun dengan ekspresi datar.
“Lain kali jangan masuk sembarangan di rumah orang,” tegur Vilien dengan nada sangat rendah pun penuh penekanan setiap kata.
“Itu karena aku sudah tidak bisa menahan ingin buang air kecil,” jawabnya. Masih dengan suara pelan.
“Mengapa tidak kencing di rumahmu sendiri, sialan.” Umpat Vilien dengan rahang mengeras.
Zayden mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada sebelah telinga Vilien, “satu kali saja aku melihatmu memakai pakaian minim, ku tusuk lubangmu.”
Setelah mengatakan hal itu, Zayden menjauhkan tubuh. Tersenyum miring melihat kedua bola mata Vilien yang melotot seakan ingin lompat dari tempatnya.