Hari kedua yang jauh berbeda dengan kemarin. Menit pertama hingga menit yang akan habis pelajaran semua tampak kondusif, Semua karena tokoh utama tidak ada drama.
Tapi, dari posisi Vilien maupun Zayden tidak ada yang berbeda. Keduanya kembali ribut tanpa suara. Setelah merampas botol minum, kini di dalam kelas Zayden berkali-kali membuka tas milik Vilien karena kotak bekal. Saling menginjak, tarik menarik tas milik Vilien, hingga akhirnya kotak bekal itu terkeluar dan jatuh ke lantai.
“Kau ini kenapa, huh!” bentak Vilien akhirnya. Dengan nafas naik turun pun wajah kesal bukan main.
“Aku ingin mencicipinya sedikit. Pelit sekali,” jawab Zayden ikut menaikkan suara.
“Kau banyak uang, dan mobilmu sangat mewah. Kau bisa membeli di kantin tanpa harus mengusik makan siangku!” masih dengan nada tinggi Vilien meneriaki Zayden.
“Kau sudah membawanya, untuk apa aku harus membeli. Itu pemborosan,” jawab Zayden santai sambil melipat kedua tangan di depan d**a.
Vilien mengambil kotak bekal itu lalu memasukkan ke dalam tas dan mendekat erat. Masih menatap Zayden dengan galak.
“Ini untuk diriku sendiri. Dan aku tidak berniat untuk membagi dengan kau.” Vilien menekankan kalimat sambil menunjuk d**a Zayden dengan telunjuknya.
“Aku hanya ingin mencicipi, bukan meminta,” bantah Zayden pun menunjuk d**a Vilien dengan telunjuk.
Seketika kedua bola mata Vilien mengikuti telunjuk Zayden yang menunjuk ke arah bukit kembarnya. Melotot dan berteriak. Menggeser tas sedikit lebih atas agar bukit kembarnya tertutupi.
“Tutup mulutmu! Pelajaran belum selesai,” tegur Zayden.
Vilien segera menyapukan pandangan ke segala penjuru ruangan, lalu memaksakan senyum karena semua pasang mata tertuju ke arahnya termasuk dosen yang ikut menyaksikan.
“Semua karena kau!” desis Vilien sambil menumbuk bahu Zayden cukup kuat.
Zayden menggebrak meja kuat hingga membuat seluruh penghuni kelas telonjak kaget. Menarik tas Vilien namun ditahan oleh si pemilik. Kuat lagi ditarik, tapi Vilien lebih kuat menahan hingga garis otot tangan menyembul. Begitulah hingga berjalan detik, sampai akhirnya Vilien menendang perut Zayden hingga terjungkal ke lantai.
“Kau! Sakit jiwa!” maki Vilien. Kemudian meraih laptop dan keluar kelas dengan cepat.
“Gadis ajaib.” Seru Zayden. Menggeleng pelan karena satu-satunya penghuni kampus yang berani menendang dirinya. Berdiri lalu ikut keluar menyusul Vilien.
“Saya berharap kalian pada tempat masing-masing. Biarkan mereka berdua. Jangan sampai ada yang bermasalah dengannya, paham!” peringat dosen yang saat itu masih berada di dalam ruang.
Semua penghuni kampus yang mengetahui keluarga besar itu, tidak akan ada yang berani menegur. Bahkan sudah bertahun-tahun lamanya mereka menganggap keonaran itu hal biasa. Bahkan tidak ada yang peduli jika ada mahasiswi yang bermasalah karena mengusik Zayden.
Vilien yang mendekap erat tas masih berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Langkahnya terus menyusuri setiap lorong hingga area belakang gedung. Cepat dia menuruni anak tangga yang cukup banyak. Terus melebarkan langkah melewati jalan setapak yang diapit rumput hijau bertabur bunga kuning kecil. Bola mata terus berkeliaran lalu memutus mengarah ke tepi danau.
Merebahkan tubuh di atas rumput hijau dengan nafas yang masih tersengal berat. Memejamkan mata sambil menghirup udara sekitar secara perlahan. Hanya beberapa menit, setelahnya Vilien harus kembali duduk saat cacing dalam perut mulai protes.
“Pria itu benar-benar gila,” gumam Vilien kesal sambil membuka kotak bekal.
Selesai dengan makan siangnya, ia membuka sepatu dan meringis melihat balutan perban yang basah oleh darah. Merogoh sapu tangan untuk menambah balutan, setidaknya bertahan sampai rumah. Segera mengemasi barang tanpa meninggalkan sampah dan segera beranjak dari tempat.
Jarak yang cukup jauh tapi masih sangat jelas melihat halaman hijau, Zayden berdiri bersandar pada pilar raksasa. Kedua tangannya terlipat di depan d**a dan pandangannya fokus pada satu titik. Tak beralih dari sosok gadis yang duduk diantara deretan pohon berbatang kecil tapi lebat dengan bunga yang hampir menutupi daun. Keanehan dalam dirinya tak mampu dikontrol, jujur sangat mengganggu. Tapi mau bagaimana lagi, semua tidak bisa dicegah. Perasaannya sangat nyaman ketika bisa memancing komunikasi dengan anak baru itu.
Beralih mendekat pada tembok pembatas dan meletakkan pada teras pembatas, Zayden terus menikmati apa yang sedang dilihat. Sampai akhirnya ia memicingkan kedua mata melihat Vilien berjalan sedikit pincang. Segera turun dan menuju ke parkiran. Langkahnya lebih cepat dan buru-buru karena jaraknya cukup jauh. Ia harus melewati lorong panjang lalu lapangan luas, barulah bisa sampai. Sedangkan Vilien, tempatnya bersebelahan dengan jalan menuju gerbang utama.
Menyapa dan melambaikan kepada mahasiswi lain saat berpapasan. Sampai akhirnya Sye dan satu gadis lain menghampiri Vilien.
“Pangeran itu tidak ada di sekitar sini, kan?” tanya Sye sangat pelan, serta kedua matanya berkeliaran ke segala arah.
“Pangeran siapa?” jawab Vilien linglung pun dengan suara keras. Sontak Sye menepuk keras bahu Vilien sambil menempelkan telunjuk di depan bibirnya.
“Tidak bisakah mulutmu sedikit pelan,” desis Sye memperingati.
“Kalian takut, dengan pria sialan itu?” tanya Vilien. Menatap keduanya bergantian.
Satu gadis memegang lengan Vilien pun memepetkan tubuhnya. Melihat sekitar sebelum berkata di dekat telinga Vilien.
“Ibunya pemilik separuh kampus ini, bukan hal mudah bisa masuk di kampus ternama ini. Seberapa banyak uang yang kita miliki tidak akan bisa digunakan. Rentetan tes harus dengan nilai yang ditetapkan untuk lolos. Dan pangeran itu bisa mengeluarkan kita tanpa alasan jika berani mengusik,” jelas satu gadis panjang lebar.
“Kau tidak apa-apa?” tanya gadis itu saat melihat Vilien terdiam.
“Em. Yah, aku baik. Jadi, kalian tidak mau berteman denganku karena ini?” jawab Vilien. Setelahnya bertanya penuh iba.
“Kita akan datang ke rumahmu. Ayo, berikan nomor ponselmu,” ujar si gadis sambil mengeluarkan ponsel dari saku dan siap memasukkan nomor Vilien pun Sye melakukan hal sama.
“Datanglah ke rumah kecilku, kita bisa melakukan banyak hal,” ucap Vilien antusias. Dua gadis di depannya mengangguk senang.
“Aku sangat ingin mengantarmu, sungguh. Tapi...”
“Tidak perlu. Pria sialan itu masih menyimpan dendam kepadaku, aku takut kalian mendapat masalah,” Vilien memotong cepat ucapan Sye.
Setelah mengobrol singkat, mereka berpisah. Mengambil arah yang berbeda. Vilien segera mempercepat langkah keluar area kampus menuju pemberhentian bus. Entah mengapa kakinya terasa ngilu dan tubuhnya mulai tidak enak. Belum sempat melangkah keluar dari garis gerbang, sebuah mobil sport menghadang dan pintu terbuka.
Memilih mengintari mobil mewah itu lalu melangkah cepat. Sungguh, ia tidak ingin melayani kegilaan pria itu. Kondisinya kali ini tidak cukup baik. Ia hanya ingin segera sampai di rumah, itu saja. Melihat bus masih berhenti, ia melambaikan tangan sambil berlari kecil. Setelah masuk dan duduk, barulah bus berjalan. Jangan berpikir bisa bernafas lega, pasalnya Zayden mengikuti bus yang ditumpangi Vilien. Bahkan mensejajarkan posisi berkendara dengan bus, tepat pada jendela samping Vilien. Tapi Vilien abaikan.
“Vi!” panggil Zayden. Masih mengikuti meski diabaikan.
“Untuk apa kau mengikutiku, huh!” semprot Vilien sambil berbalik menghadap Zayden. Menatap pria itu galak pun penuh permusuhan.
“Kakimu sakit?” tanya Zayden. Jawabannya jauh dari pertanyaan Vilien.
“Bukan urusanmu. Pergilah kau! Tempat ini tidak cocok denganmu,” usir Vilien dengan ketus.
“Ayo, ku antar ke rumah sakit,” ujar Zayden lembut sambil menarik pergelangan Vilien, namun segera dihempaskan kasar oleh si pemilik.
“Tidak perlu.” Tolaknya keras. Berbalik dan masuk ke dalam rumah.
Lagi dan lagi Zayden mengikuti. Juga menahan pintu agar tidak tertutup. Ditahan kuat lalu mendorong kuat hingga pintu itu terbuka lebar, dan Vilien tentu saja ikut terlempar ke lantai. Selangkah lebar melewati garis pintu lalu menendang pintu agar tertutup.
Berjongkok untuk melepas sepatu yang di kenakan Vilien. Sekilas kedua bola mata membulat melihat darah yang terus membasahi pembalut. Cekatan membuka balutan itu, mengabaikan umpatan kasar yang Vilien layangkan. Mendongak mencari sisi kamar mandi, setelah menangkap letaknya Zayden beranjak memasuki dan keluar membawa ember kecil berisi air hangat.
“Hei! Kau apa-kan aku!” teriak Vilien begitu tubuhnya mengudara.
“Ck. Diam!”
Suara berat pun dingin membungkam Vilien. Seluruh tubuhnya beku, seolah tak mau membantah apa yang pria itu sedang lakukan. Detik berikutnya kedua mata melotot menyaksikan Zayden membersihkan kaki dan memberikan obat pada luka.
“Kau tidak perlu melakukan itu. Aku bisa sendiri,” ujar Vilien dengan nada normal setelah beberapa menit berlalu.
Zayden hanya mendongak kilas setelah membalut kembali kaki Vilien. Kemudian bangkit menghampiri pintu. Seorang pria telah berdiri di depan pintu dengan membawa banyak kantong plastik berisi makanan, setelah menyerahkan pada Zayden pria itu segera meninggalkan tempat.
“Obat yang akan kau perlukan, camilan, dan makanan sehat.” Zayden menunjuk satu persatu kantong yang diletakkan di meja depan Vilien.
“Bawa pulang! Aku tidak perlu bantuanmu,” ucap Vilien dingin. Mulai beranjak dari tempat duduk ingin meninggalkan Zayden.
Panas mendengar penuturan Vilien yang sangat tidak menghargai. Ia hadang gadis yang mulai melangkah meninggalkan, ia tatap dengan dalam pun dingin ke dalam jauh netra itu.
“Sampai tidak kau makan, aku hancurkan rumahmu,” desisnya tajam.
Membalas tatapan tajam Zayden, “Aku tidak meminta dan kau tidak berhak memaksa. Siapa tahu saja itu telah kau taburi racun,” jawab Vilien sambil melirik beberapa kantong yang terduduk di meja.
Zayden mengangguk pelan. Tersenyum miring menatap Vilien penuh rencana. “Perlukah Ryo tahu tentang tadi malam dan... kakimu?” ucap Zayden di samping telinga Vilien.
Seketika tubuh Vilien menegang. Tidak. Ryo bisa menggantung dirinya di obor Liberty jika mengetahui dirinya turun di ring berbahaya itu. Memang sial pria di depannya ini. Dalam hati ia lontarkan umpatan kasar pun rasanya ingin mengabsen nama binatang satu persatu. Menjatuhkan bahu lemas pun kembali duduk di sofa tak berdaya.
“Mau ku suapi?” tawar Zayden.
Vilien menggeleng cepat pun kedua bola mata membulat sempurna. Pria k*****t di depannya semakin ngelunjak.
“Pergi dari rumahku, k*****t!” usir Vilien. Bukannya pergi, Zayden malah merebahkan tubuhnya di sofa panjang tapi tidak besar sambil menekan remot tv.
Demi apa pun, Vilien ingin menendang dirinya ke ujung dunia sekarang. Selain menjengkelkan, dan membuatkan risih, kehadiran pria tidak tau diri ini semakin membuat hatinya berdebar tidak karuan. Itu sangat mengganggu untuk kesehatan jantungnya, ia tidak mau di diagnosa memiliki penyakit jantung. Tanpa sadar Vilien menggeleng pelan. Hal itu tak luput dari perlihatan Zayden yang diam-diam terkekeh geli.