"Nai...?"
Sebuah tepukan lembut di bahunya menyadarkan Naira dari lamunan panjangnya. Ia menoleh, menemukan sosok sang Papa yang tengah membantu menyirami Anggrek-Anggreknya yang sedang bermekaran indah.
"Iya, Pah?" sahutnya, mencoba menyembunyikan kekusutan di benaknya.
"Suamimu masih kerja?" tanya sang Papa.
"Iya, katanya lagi banyak kerjaan. Papa ada perlu?"
Pria itu menggeleng, senyum tipis terukir di bibirnya. "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, sorot matanya penuh perhatian.
"Maksud Papa?"
"Papa lihat kamu melamun terus dari tadi. Apa kalian bertengkar?"
Naira menggeleng cepat. "Enggak, Pah!"
Sang Papa lalu tersenyum. "Awal-awal pernikahan itu memang sulit, Nai. Kamu harus banyak bersabar. Lama-lama jadi biasa."
"Dulu Papa sama Mama juga begitu?"
"Kalau Papa dan Mamamu itu kan, menikah karena perjodohan. Jadi di awal-awal pernikahan itu malah kayak orang baru pacaran. Sama-sama sungkan dan canggung."
"Oh ya? Tapi Nai juga masih suka canggung, Pah. Karena kami juga pacarannya enggak lama."
"Enggak apa-apa. Canggung itu baik dan wajar. Itu artinya kalian sama-sama saling menjaga perasaan. Perasaan takut salah, takut malu, dan ketakutan-ketakutan lainnya yang tidak penting."
"Apa menurut Papa itu enggak penting?" Naira bertanya, heran.
"Loh, memangnya apa yang kamu takuti?"
Naira menatap ragu, bingung untuk menjawab.
"Selama suamimu menafkahimu, menyayangimu dan tidak meninggalkanmu, tidak ada yang perlu kamu takuti."
Kini Naira tertunduk diam. Sejak mereka pindah ke sini, ia memang sudah tak takut lagi Bintang akan meninggalkannya. Tapi melihat Bintang terus memikirkan perempuan itu, hatinya kini menjadi tak tenang. Bintang memang sudah tidak pernah menyebut nama perempuan itu lagi, namun ia bisa merasakan bahwa dia masih memikirkannya. Bagaimana kalau suatu saat mereka bertemu lagi? Apalagi minggu depan Bintang harus kembali ke Jakarta untuk meeting di kantornya. Ia sangat takut keduanya merencanakan untuk bertemu kembali. Terlebih lagi, sekarang perempuan itu sudah sendiri. Dia sudah bebas. Dan ia yang membebaskannya dari pernikahan itu. Ah, bodoh sekali, sesalnya dalam hati.
"Papa tahu, Bintang pernah menyakiti hatimu. Dia pernah menduakanmu. Tapi kamu sendiri yang bilang, kalau dia tidak benar-benar mengkhianatimu. Dan kamu pun sudah memaafkannya. Apa lagi yang kamu khawatirkan?" Papa mencoba memahami.
Naira menghela napasnya. "Nai enggak tahu, Pah. Nai merasa Bintang masih memikirkan perempuan itu."
"Kita tak bisa mengatur pikiran seseorang, Nai. Apa kamu takut dia meninggalkanmu?"
Akhirnya Naira mengangguk pelan.
"Dalam suatu hubungan, ketakutan ditinggalkan itu pasti ada. Tapi kamu harus belajar untuk percaya. Karena prasangka yang buruk adalah musuh utama sebuah hubungan. Apa kamu tidak mempercayai suamimu?"
Naira kembali ragu. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa ia percaya, tapi pada saat yang sama hatinya penuh keraguan?
"Suamimu itu tidak ke mana-mana, Nai. Setiap hari dia ada di depan hidungmu, dan kamu masih tidak percaya?" Papa menatap Naira dengan keheranan bercampur keprihatinan.
"Nai percaya, Pah. Tapi terkadang hati Nai masih enggak tenang. Nai takut dia tergoda lagi sama perempuan itu."
"Jangan selalu berprasangka buruk. Nanti bisa kejadian beneran. Dan jangan memikirkan apa yang tidak bisa kamu kendalikan. Nanti kamu capek sendiri. Jalani saja semampumu. Kalau kamu merasa berat, jangan kamu pendam sendiri. Jangan malu untuk berbagi cerita pada Papa, Mama, dan Mbakmu. Itulah mengapa kami memintamu untuk pindah ke sini. Biar kamu tidak merasa sendirian. Karena seberat apa pun masalahmu akan terasa lebih ringan kalau kamu berbagi dengan orang lain. Dan kami tidak akan menyalahkanmu. Karena pernikahan itu melibatkan dua orang. Bahagia atau tidak bahagia, kalian berdua yang menentukannya. Dan jangan berpura-pura semuanya baik-baik saja karena takut membuat kami kecewa. Kami akan lebih kecewa jika melihatmu tidak bahagia."
Naira menatap Papa dengan mata berkaca-kaca. Papa, orang yang paling sedikit bicara, tapi justru dialah orang yang paling mengerti dirinya. Papa tahu apa yang dipikirkan dan ditakutinya selama ini. Dan ia memang takut mengecewakannya. Ia bahkan sangat malu saat Papa dan Mama akhirnya mengetahui tentang perselingkuhan Bintang, karena dulu ia lah yang memaksa dan meyakinkan mereka untuk menerima Bintang saat keduanya ragu.
"Terima kasih, Pah..." Naira memeluk sang Papa erat, air mata menetes membasahi bahunya.
...
Dari kejauhan, Bintang memandangi Naira yang sedari tadi hanya duduk terdiam di teras, seperti tengah memikirkan sesuatu. Sudah beberapa hari ini sikapnya memang berubah; lebih pendiam dan banyak melamun. Entah apa yang dipikirkannya. Setiap kali ia bertanya, Naira selalu mengelak. Perlahan, ia pun berjalan menghampirinya. "Ehm..." Ia berpura-pura terbatuk untuk menyadarkan Naira dari lamunan.
"Oh, kamu udah selesai?" Naira tampak terkejut, sedikit salah tingkah.
Bintang mengangguk. "Kamu lagi mikirin apa dari tadi?" Tanyanya, sambil menjatuhkan tubuhnya di atas kursi lalu mengangkat cangkir kopi dari atas meja.
"Ooh... Enggak. Aku lagi liatin Bunga Anggrek. Tadi habis disiram sama Papa," elak Naira, berusaha terdengar santai.
Tapi Bintang tahu Naira berbohong. "Bicaralah, Nai... Aku tahu kamu lagi mikirin sesuatu. Beberapa hari ini sikap kamu berubah."
"Berubah?" Naira pura-pura terkejut.
"Sekarang kamu jadi sering melamun."
"Oh, aku..." Naira tergagap, mencari alasan.
"Apa aku melakukan sesuatu yang salah?" Bintang menatap Naira dalam-dalam, sorot matanya penuh kekhawatiran.
Namun Naira menggeleng pelan. "Enggak..." elaknya lagi, menahan diri.
"Jangan bohong, Nai..." Suara Bintang kini lebih tegas.
Naira menatap ragu. Apa ia harus mengatakannya saja? Mengungkapkan keraguan dan ketakutannya selama ini? Namun kemudian ia teringat ucapan Sang Papa. Jangan memikirkan apa yang tidak bisa kamu kendalikan. Nanti kamu capek sendiri. "Aku enggak mikirin apa-apa," sahutnya, memilih menyimpan rapat kegundahannya.
Tapi Bintang tak percaya begitu saja. Ia menunggu Naira kembali berkata. "Nai...?"
"Hmm, aku cuma..."
"Cuma apa?" Bintang mendesak.
Cuma apa, ya? Naira mencoba mencari-cari alasan yang tepat. "Aku cuma bosan," ucapnya, kalimat itu meluncur begitu saja.
"Bosan? Sama aku?!" Bintang terkejut.
"Bukan!" Naira buru-buru meralat. Uuh! Kenapa jadi salah bicara, rutuknya dalam hati. "Aku bosan di rumah," imbuhnya, memperbaiki ucapan.
Seketika Bintang tersenyum, kelegaan terpancar di wajahnya. "Bilang dong, kalau bosan di rumah. Aku juga bosan!"
"O ya?!" Mata Naira berbinar.
Bintang mengangguk. "Makanya aku mau ke Jakarta untuk ambil mobil, sekalian bawa barang-barang kita yang masih tertinggal. Dan sekalian meeting di kantor juga. Kamu mau ikut?"
"Kamu ngajak aku?!" Naira menatap tak percaya, senyumnya mulai merekah.
"Iya! Sekalian jalan-jalan? Kamu mau?" Tatapan Bintang penuh ajakan.
"Aku mau, Bin! Kapan berangkatnya?" Wajah Naira mendadak sumringah, semua keraguan dan ketakutan yang mengungkungnya perlahan sirna. Ah, ternyata benar ucapan Sang Papa. Ia tak perlu memikirkan ketakutan-ketakutan yang tak penting.
"Jumat malam kita berangkat naik kereta."
Dan senyum Naira pun merekah lebar, seolah semua beban telah terangkat dari pundaknya. "Kita berapa hari di sana?" Tanyanya, tak sabar.
"Kamu beneran bosan, ya?" Bintang tertawa melihat wajah Naira yang berubah ceria.
Naira mengangguk dengan senyum bahagia. Keraguan dan ketakutannya sirna seketika.
...
"Sa, tolong tanyain ke Bu Sita, siapa yang bisa menggantikan Bintang untuk handle desain kemasan produk kita?" Karenina berujar, tatapannya terpaku pada layar komputer.
"Loh, bukannya udah confirm, Nin?" Danisa mengerutkan kening, bingung.
"Untuk desain yang kemarin memang sudah. Maksudku untuk desain seri produk berikutnya. Kita kan, mau nambah varian baru untuk teenager."
"Emm. Maksudnya kamu mau yang bisa mendesain kayak Bintang?" Danisa menatap Karenina, mencari kejelasan.
"Iya, yang punya konsep kayak dia. Aku kan, enggak mungkin berhubungan lagi sama dia?"
Hah?! Danisa menatap Karenina dengan bingung. Kemarin-kemarin dia tidak mempermasalahkannya. Kenapa sekarang jadi masalah? "Tapi kan, enggak apa-apa kalau cuma kerjaan, Nin?" tanyanya hati-hati.
"Aku enggak mau lagi berhubungan sama dia, Sa! Ngapain? Dia aja enggak peduli sama aku?" Karenina menjawab dengan nada ketus, wajahnya memerah.
Kenapa jadi personal? Danisa semakin bingung. Ia ingin bertanya lebih jauh, namun saat melihat wajah sahabatnya yang tampak bad mood, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk pergi dari hadapannya.
Dan saat Danisa berlalu, Karenina kembali menatapi layar ponselnya dengan wajah merah padam. Kedua matanya menatap nanar pada halaman sebuah akun media sosial.
Di sana, sebuah foto Bintang dan Naira tampak tengah berpelukan mesra di tengah-tengah hamparan Bunga Matahari. Hatinya terasa sakit. Kamu keterlaluan, Bin!! Jeritnya dalam hati. Rahangnya mengeras. Perasaan tidak terima dan marah menyelimutinya. Bagaimana mungkin dia membawa perempuan itu ke tempat yang penuh kenangan indah mereka. Dia bahkan mengajak perempuan itu berfoto di tempat yang sama, padang Bunga Matahari. Bunga pavoritnya kini menjadi latar belakang kebahagiaan dia dengan wanita lain. Seolah dia sengaja menari di atas kenangan mereka, menginjak-injak setiap jengkal memori yang dulu mereka rangkai bersama.
Karenina mengepalkan tangan, hingga kuku-kukunya menusuk telapak. Rasa sakit di hatinya jauh melampaui sekadar cemburu; ini adalah campuran pahit dari pengkhianatan, kehilangan, dan amarah yang meledak.