Bukan Mimpi
Karenina menatap dirinya dalam cermin. Dirapikannya riasan wajah sekali lagi sebelum kemudian menyandang tas kerjanya. Ia harus bergegas ke kantor. Hari Senin adalah hari tersibuknya. Dan hari ini jadwalnya akan dipenuhi meeting dari pagi hingga sore. Harinya akan sangat melelahkan.
"Selamat Pagi semua!" Karenina menjawab sapa para karyawannya dengan riang sesaat tiba di kantornya.
Seorang wanita muda dengan segelas kopi di tangannya mengikutinya masuk ke dalam ruangannya. "Nin, aku lupa masukin jadwal fitting gaun pengantin kamu sore ini," ucapnya seraya meletakkan kopi yang dibawanya di atas meja.
Karenina mengedikkan kedua bahunya. Ia tahu, kekasihnya pasti telah memarahinya. "Aidan telepon?" Tanyanya.
"Barusan."
"It's Ok. Nanti aku yang atur sendiri," sahutnya seraya mengambil kopi dari atas meja lalu menyesapnya.
Wanita itu adalah Danisa, sahabat sekaligus asistennya. Mereka telah bersahabat sejak keduanya bekerja di sebuah perusahaan yang sama tiga tahun yang lalu. Mereka bahkan pernah tinggal di kos yang sama. Danisa jugalah yang membantunya menjalankan bisnis skin care yang dirintisnya dari dalam kamar kos, sebelum Aidan menyulapnya menjadi sebuah perusahaan yang dipimpinnya saat ini.
Danisa adalah orang yang paling ia percaya untuk mengatur semua hal di perusahaan kecilnya itu. Bahkan, selama beberapa bulan ini Danisa ikut disibukkan oleh urusan persiapan pernikahannya bersama Aidan, yang akan dilangsungkan tiga bulan lagi. Danisa adalah mata, kepala, dan tangan keduanya. Ia bisa hidup tanpa Aidan, tetapi ia tak bisa hidup tanpa Danisa.
"Ada yang perlu aku tahu lagi dari jadwalku hari ini?"
Danisa menggeleng. "That's all!" Sahutnya, lalu beranjak pergi. Tapi sesaat kemudian ia kembali. "Hmm, cuma ada satu perubahan. Untuk desain kemasan produk itu, Bu Sita mengganti orang yang akan meeting denganmu nanti."
Karenina kembali mengedikkan kedua bahunya. "Whatever!" Sahutnya tak peduli.
Ia pun lalu membuka laptop dan menatapi angka-angka di layarnya. Senyumnya tersungging lebar melihat penjualan produk skin care-nya semakin bergerak naik. Hari yang indah untuk memulai pekerjaan, gumamnya. Dan ia pun lalu tenggelam dalam kesibukannya hingga siang tiba. Saat sebuah pesan dari Sang Kekasih memaksanya untuk cepat-cepat beranjak pergi ke sebuah restauran. Dia sudah menunggunya di sana untuk makan siang bersama. Dan dia tak suka menunggu lama.
"Gimana meeting-nya. Lancar?" Aidan mengecup pipi Karenina sesaat ia tiba di sana.
Karenina mengangguk dengan lelah.
"Aku sudah pesenin makanan kamu."
"Pesenin apa?"
"Tofu Soup dan Green Salad, kan?"
"Thank you!"
Aidan memang sangat hafal kebiasaannya. Ia orang yang sangat detail. Kalau ia mengganti menunya Aidan akan bertanya alasannya. Buat Aidan, segala sesuatu yang terjadi selalu punya alasan. Tak ada yang terjadi begitu saja. Dan setiap alasan harus masuk akal buatnya, atau dia akan terus bertanya, seperti saat ini.
"Kenapa sih, kamu gak pindah aja ke apartemenku?"
"Kamu kan, udah tahu jawabannya..."
"Jawaban kamu gak masuk akal. Apa bedanya pindah sebelum dan sesudah menikah?"
Karenina tak menjawab. Ia hanya tersenyum melihat wajahnya yang bersungut. Kadang-kadang dia memang seperti anak kecil di usianya yang sudah menginjak tiga puluh dua tahun. Lima tahun lebih tua darinya. Mungkin karena dia adalah seorang anak tunggal yang terbiasa dituruti semua kemauannya.
Sejak pertama kali mereka menjalin kasih setahun yang lalu, Aidan selalu lugas menyatakan keinginannya untuk sebuah hubungan yang serius. Baginya, tak ada ruang untuk main-main. Aidan adalah seorang kalkulator berjalan; setiap langkah harus terukur, setiap tujuan harus jelas, dan setiap usaha harus membuahkan hasil. Filosofi inilah yang juga ia terapkan dalam hubungan mereka. Ia ingin segala sesuatunya bergerak cepat, tanpa buang waktu. Sikapnya yang tegas dan terencana ini tak hanya membentuk karakternya, tetapi juga turut melesatkan bisnis keluarga yang ia kelola.
Satu jam setelah makan siang, Karenina menopang tubuhnya. Ia harus segera kembali ke kantor, kembali menenggelamkan diri dalam tumpukan kesibukan hingga sore menjelang.
"Nin, orangnya telat," Danisa berseru, napasnya terengah-engah saat ia tergesa-gesa mengikuti Karenina yang berjalan keluar dari ruang meeting. "Katanya kena macet."
"Desainer produk itu? Memangnya dia tinggal di mana? Hari gini masih saja macet dijadikan alasan?!" Karena membalas dengan nada kesal, kelelahan terpancar dari suaranya. Alasan yang tak masuk akal itu benar-benar menguras kesabarannya.
"Katanya sih, sudah dekat. Sebentar lagi sampai," Danisa mencoba meyakinkan, nadanya sedikit cemas. Ia tahu betapa Karenina benci penundaan, dan ia takut Karenina akan membatalkan meeting itu.
Karenina melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menghela napas panjang. "Ok. Aku akan menunggu sebentar. Sekalian aku mau istirahat juga. Aidan akan menjemputku nanti untuk pulang bersama. Kamu pulang duluan saja, Sa. Aku mau istirahat sebentar sambil menunggunya," ucapnya, nadanya lebih melunak.
"Oke, aku pulang duluan ya. Sudah dijemput Mas Surya." Dengan cepat Danisa menyambar tasnya lalu keluar, meninggalkan Karenina sendirian di ruangannya.
Karenina menyandarkan kepalanya di kursi, mencoba memejamkan mata. Ia ingin menikmati kesendirian, tanpa suara riuh orang-orang… tanpa Aidan… tanpa...
"Nina.."
Suara itu… Ia sangat mengenalnya. Suara yang selalu muncul dalam mimpinya. Suara yang lama hilang.
"Nin…"
Tapi kenapa begitu nyata? Perlahan ia membuka mata, lalu mengerjapkannya berulang kali. Tidak! Ia tidak sedang bermimpi. Suara itu, wajah itu, mata indah itu…
Karenina hampir saja terjatuh dari kursinya. Ia mengusap wajahnya untuk meyakinkan diri. Benar, ia tidak sedang bermimpi.
"Hai?" Lelaki itu tersenyum padanya.
Karenina terpaku, mematung di tempatnya seperti orang bodoh. Ia menatap lelaki itu tak percaya. "Bintang…?" Gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Dengan tangan gemetar, ia menyambut tangan Bintang. "Kamu ke sini…?"
"Aku yang mau meeting sama kamu. Untuk desain kemasan produk?"
Ya, Tuhan! Setelah tujuh tahun berlalu, suaranya masih menggetarkannya.
"Oh! Hmm… Aku… Maaf…!" Karena bahkan tidak bisa berpikir jernih. Rasanya ia seperti tidak sedang menginjak bumi saat ini.
"Maaf kalau aku bikin kamu kaget."
Karena menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Ia berusaha menenangkan hati yang berdegup kencang saat melihat senyum itu. "Kamu… Apa kabar?" Sapanya dengan susah payah menahan kegugupan.
"Baik… Kamu?"
"Aku… Baik. Sudah lama kita enggak ketemu," sahutnya, berusaha mencairkan kekakuan.
Bintang tersenyum. "Aku baru dua bulan pindah ke Jakarta lagi. Sudah banyak lupa jalan-jalannya. Makanya jadi telat. Maaf bikin kamu jadi menunggu lama," ucapnya.
Karenina mengibas tangannya. "Enggak apa-apa," sahutnya. Lalu kembali terdiam. Ia bahkan lupa tujuan Bintang datang menemuinya
"Kamu hebat sekarang. Sudah jadi pengusaha."
"Oh. Terima kasih. Kamu kan, tahu dari dulu aku selalu suka dunia kecantikan."
"Iya. Makanya kamu selalu cantik." Bintang kembali menyunggingkan senyum yang membuat Karenina kembali hilang ingatan.
Hm. Aku sama sekali enggak tahu kamu bekerja di perusahaannya Bu Sita."
"Baru dua bulan. Tadinya bukan aku yang mau meeting sama kamu. Tapi setelah lihat namamu aku bilang Bu Sita, aku kenal kamu."
"Ooh!" Sekarang Karena mengerti alasan Bu Sita tiba-tiba mengganti orang yang akan meeting dengannya.
"Hm, aku sudah mempelajari konsep produk kamu. Dengan masukan dari Bu Sita juga. Aku bawakan kamu contoh desainnya." Bintang membuka laptopnya lalu mulai mempresentasikan karyanya di hadapan Karenina.
Tapi tak ada satu pun kalimat yang keluar dari bibir Bintang yang bisa diingat Karenina. Hatinya masih berjuang untuk menenangkannya. Dan otaknya masih saja berusaha untuk menyangkal perasaannya. Mengingatkan dirinya bahwa laki-laki ini tidak pantas untuk dicintai kembali, karena laki-laki itu tidak pernah mencintainya.
"Tak perlu kamu gali lagi hatimu Karenina!"
"Tidak! Dia bukan tidak mencintaimu. Dia hanya tidak tahu kalau kamu jatuh cinta padanya."
"Karenina! Sadar! Ingat Aidan!"
Karenina memejamkan mata. Ia tak tahan dengan perdebatan hatinya. Dan kini dilihatnya Bintang tengah menatapnya. Dengan kedua matanya yang indah seperti bintang di langit.
"Kamu... kenapa? Kelihatan capek." Tanya Bintang.
"Mm, boleh kirim presentasinya ke emailku? Aku mau lihat-lihat dulu."
Bintang mengangguk. "Sudah kukirim ya, emailnya. Ada nomor ponselku juga di sana, kalau ada apa-apa bisa langsung telepon." Bintang menatap Karenina, sedikit ragu. "Ada hal lain yang mau kamu tanyakan?"
"Apa kamu sudah menikah?"
Sesaat Bintang terkejut, namun kemudian ia mengangguk.
Dan Karenina pun menatap cincin yang melingkar di jari kanan Bintang. Tiba-tiba saja ia menjadi lemas.
"Baru... sekitar lima bulan lalu," jawab Bintang, sedikit tersipu.
Karenina kembali terpaku. Lima bulan yang lalu ia baru saja menerima lamaran Aidaan.
"Oh! Istrimu...?"
"Naira. Kamu ingat dia?"
"Naira?"
"Teman kita waktu kuliah dulu."
"Honeeeyy!"
Tiba-tiba saja sebuah suara mengejutkan keduanya.
"Hm... kalau tidak ada pertanyaan lagi, aku pamit ya?" Ucap Bintang seraya menutup laptopnya.
Karenina hanya bisa mengangguk dan membiarkan Bintang perlahan menghilang dari pandangannya.
Dan Aidan sudah berdiri di hadapannya. Menatapnya penuh selidik, seperti kebiasaannya. "Siapa dia?" Tanyanya sambil melirik ke arah Bintang.
"Dia desainer kemasan untuk produk baru kita," jawab Karenina, menghela napas. Dunia nyatanya kembali berputar pada Aidan.