Dari balik kemudi, Aidan memperhatikan wajah Karenina dari samping, wajahnya tampak keruh, seperti ada yang mengganggunya pikirannya. "Kamu kenapa?" Tanyanya lembut.
Tanpa mengalihkan pandangan dari jendela Karenina menjawab, "Kenapa apanya?"
"Kamu cemberut terus dari tadi."
"Memangnya enggak boleh?" Karenina menyahut dengan nada sedikit ketus, tangannya bersidekap di d**a.
Aidan mengernyitkan keningnya, terkejut dengan respon Karenina. "Boleh aku tahu alasannya?" Tanyanya lagi, tetap tenang, berusaha melatih kesabaran.
"Memangnya semua harus pakai alasan?" Karenina akhirnya menoleh, tatapan matanya bertemu dengan Aidan, namun ada kekesalan yang terpancar jelas.
Aidan mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat-ingat kesalahan apa yang ia lakukan baru-baru ini. "Apa aku bikin salah?" Tanyanya.
Akhirnya Karenina menoleh sepenuhnya. "Jadi kamu enggak merasa berbuat salah?" Ada nada tidak percaya dalam suaranya.
"Kayaknya enggak..." Aidan menatap bingung.
"Enggak? Kamu beneran enggak ingat?" Mata Karenina membulat. Dan saat Aidan menggeleng, emosinya tak terbendung lagi. "Trisha! Kenapa kamu enggak pernah cerita sama aku?" Suara Karenina meninggi
Mendengar nama itu, Aidan langsung terbahak, ekspresinya berubah dari bingung menjadi geli. "Kamu cemburu sama dia?!" Tanyanya terkejut, tak menyangka.
"Aku enggak cemburu! Aku cuma tanya kenapa kamu enggak pernah ceritain dia ke aku? Pantas saja kamu jadi rajin ikut yoga!" Karenina bersungut.
"Ya, karena enggak penting, Nina sayaaang!" Sahut Aidan di sela tawa.
"Enggak penting? Terus kalau enggak penting kenapa tadi dikenalin ke aku?" Karenina menuntut penjelasan.
Pertanyaan Karenina membuat Aidan semakin bingung, dan tawanya mereda. "Ya... biar kamu kenal aja sama temanku. Kalau aku punya hubungan spesial, enggak mungkin aku kenalin ke kamu, kan?" Aidan berusaha meyakinkan dengan logika.
"Siapa tahu kalian cuma pura-pura?" Sungut Karenina lagi, tatapannya masih penuh selidik. Merasa ada yang janggal.
Aidan kembali tertawa, kali ini lebih pelan, diselingi nada godaan. "Aku senang akhirnya kamu cemburu juga. Gimana rasanya? Enak?" Godanya, tatapan matanya berbinar melihat Karenina menunjukkan sisi berbeda yang membuatnya bahagia.
"Aku enggak cemburu!" Elak Karenina, kembali membuang muka ke jendela. Rona merah di pipinya semakin jelas.
"Ngaku aja kalau cemburu. Aku bahagia lihatnya. Cemburu itu kan tanda cinta..." Godaan Aidan berlanjut.
Wajah Karenina memerah padam, tapi ia tetap tak mau mengakuinya. "Aku kan cuma tanya alasan?"
Aidan akhirnya berhenti menggoda, menyadari Karenina memang butuh penjelasan. "Oke, aku jelasin, ya..." Aidan menarik napas panjang. "Aku sama Trisha itu sudah berteman sejak kecil, dari sekolah dasar. Dulu kami sama-sama tinggal di Sydney. Setelah lulus kuliah, aku kembali ke Jakarta dan dia melanjutkan kuliahnya di Amerika. Dia lalu bekerja dan menikah di sana. Tapi setahun yang lalu dia bercerai. Dia kembali ke Jakarta dan membuat perusahaan Desain Interior sendiri." Aidan menjelaskan dengan detail, berharap Karenina mengerti.
"Kenapa baru cerita sekarang?" Masih ada sedikit nada curiga dalam suara Karenina.
"Karena aku juga baru tahu kalau dia ada di Jakarta waktu kirim undangan pernikahan kita yang enggak jadi itu." Ada nada kesedihan di suara Aidan saat mengucapkan kata pernikahan.
"Terus kenapa dia tiba-tiba ngajak kamu ikut yoga bareng? Kamu ceritain semua masalah kita?" Karenina menyipitkan mata, masih merasa tidak nyaman dengan hubungan Aidan dan Trisha yang tampak begitu dekat.
Aidan menggeleng. "Dia tahu kita enggak jadi menikah, tapi aku enggak cerita alasannya. Dia lalu ngajak aku untuk ikut kelas yoga dan meditasi katanya biar pikiranku jadi tenang."
"Oh, jadi kamu ngikutin program itu karena dia?" Karenina bertanya lagi, sedikit mendesak.
Aidan menghela napas. "Aku ikut program itu demi kamu, Nina sayang... Kebetulan dia juga punya masalah yang sama kayak aku. Dia sempat mengalami depresi karena perceraiannya itu." Aidan menatap Karenina dengan lembut.
Karenina akhirnya terdiam. Meskipun masih penasaran, melihat ekspresi Aidan yang tulus dan penjelasan yang masuk akal, ia tahu bahwa tidak ada hubungan spesial di antara keduanya. Setidaknya, Aidan tidak menganggapnya spesial.
"Ada lagi yang mau kamu tanya?" Senyum kecil Aidan mengembang di bibirnya.
Ah, kenapa dia selalu tahu apa yang dipikirkannya? Gumam Karenina dalam hati. "Hm, apa dia punya anak?"
Aidan menggeleng. "Untung saja belum punya."
"Untung belum punya? Maksud kamu?" Karenina kembali menatap curiga. Perasaan cemburu yang sempat mereda kini muncul lagi.
Aidan kembali bingung. Ia tak mengerti apa yang salah dengan ucapannya. Ia hanya berpikir hal itu bagus karena Trisha tidak harus menanggung beban perceraian dengan anak. Ada apa sebenarnya dengan Karenina? Mengapa hari ini dia begitu emosional, tak seperti biasanya.
...
Karenina menatap Danisa, menunggu kalimat keluar dari mulutnya.
"Itu artinya kamu masih cinta sama Aidan!" Danisa menahan senyumnya.
"Ah, kamu sama saja kayak Aidan," sungut Karenina.
"Ya, memang hanya itu penjelasan yang masuk akal. Memangnya kamu berharap Aidan menjawab sebaliknya?"
Karenina terdiam. Ia bukannya tidak mengerti. Hanya saja, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh perempuan itu.
"Aidan segitu bucinnya saja kamu masih curiga? Gimana kalau kamu punya cowok kayak Mas Surya yang super cuek? Saking cueknya sampai aku kadang mempertanyakan cintanya ke aku."
Karenina akhirnya tersenyum. "Aku juga enggak tahu, Sa. Beberapa hari ini kan, pikiranku memang lagi enggak tenang. Aku jadi enggak bisa berpikir jernih."
"Tenang, Nin! Kata Bu Nora sudah ada yang tertarik sama apartemen kamu."
"Oh ya?" Wajah Karenina mendadak cerah.
"Bu Nora lagi ngatur jadwal buat showing apartemenmu minggu depan, tapi harinya belum tahu."
"Ya, Tuhan! Mudah-mudahan saja jadi, Sa..." Karenina menatap penuh harap.
Melihat wajah sahabatnya yang memelas membuat Danisa merasa iba. Karenina tak seharusnya begini, menanggung perbuatan keluarganya seorang diri. Mengorbankan satu-satunya harta yang ia miliki demi menyelamatkan nama keluarganya. Rasanya Danisa tak tega melihatnya menderita lagi. Tapi bagaimana cara menolongnya?
"Sa, tolong wanti-wanti ke Bu Nora supaya Aidan jangan sampai tahu."
Tiba-tiba saja ucapan itu membuat Danisa tersadar. Tak ada orang lain yang bisa membantunya, kecuali Aidan.
...
"Kalung itu digadaikan?!" Aidan menatap Danisa tak percaya.
Danisa mengangguk takut. Tiba-tiba ia menjadi tak yakin dengan keputusannya. Bagaimana kalau Aidan marah lalu menghubungi Karenina? Bisa kacau semuanya.
"Dan dia mau menjual apartemen untuk menebusnya?" Tanya Aidan lagi, memastikan.
Danisa kembali mengangguk.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang, Sa?"
"Karena aku enggak berani, Aidan! Dan sekarang ini aku lagi mempertaruhkan persahabatanku sama Nina. Kalau sampai Nina tahu aku cerita ke kamu, dia enggak akan mengakui aku sebagai sahabatnya lagi."
Aidan menghela napas. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja, berpikir.
"Maaf, Aidan. Tapi aku enggak bisa lama-lama di sini. Aku takut dicariin Nina. Tadi aku cuma izin sebentar untuk beli kopi." Danisa melirik layar ponselnya dengan khawatir.
"Oke. Kamu lanjutkan saja menjual apartemen itu. Aku enggak akan ikut campur. Aku punya rencana yang lain."
"Maksud kamu aku tetap menjual apartemen itu?" Tanya Danisa memastikan.
Aidan mengangguk. "Kamu lakukan saja apa yang dia minta. Aku enggak akan terlibat sama sekali. Dan anggap saja aku sama sekali enggak tahu. Aku enggak mau dia curiga. Aku akan bantu dia dengan cara lain."
Sejenak ragu, akhirnya Danisa mengangguk. "Oke. Kalau gitu aku pergi," ucapnya seraya beranjak.
"Thanks, Sa!"
Danisa tersenyum. Baru kali ini Aidan berterima kasih padanya. Kini ia merasa sedikit lega. Ia memang tidak menyukai Aidan, tapi ia percaya Aidan akan melakukan apa pun demi Karenina. Meskipun kini hatinya sangat khawatir jika Karenina tiba-tiba mengetahuinya. Maafkan aku, Nin. Aku melakukan ini demi kebaikan kamu, gumamnya dalam hati.
Saat Danisa meninggalkan ruangannya, Aidan menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Ia tak percaya apa yang telah dilakukan oleh keluarga Karenina. Namun yang lebih membuatnya tak percaya adalah Karenina menyembunyikan semua itu darinya karena merasa malu. Kini ia mengerti perubahan sikapnya beberapa hari ini.