Tanpamu Semua Tak Lagi Sama

1150 Words
Dengan napas tersengal menahan amarah, Aidan berdiri di tengah-tengah ruangan yang hancur berantakan. Meja dan kursi-kursi terbalik di atas lantai, bersama dengan benda-benda lain yang berserakan di sekelilingnya, menjadi saksi bisu amarahnya yang meledak. Dan seolah tak puas, ia lalu masuk ke dalam kamar, kembali meluapkan emosinya yang tak terkendali. Sambil berteriak kencang, ia memecahkan cermin, suaranya memekakkan telinga. Melemparkan semua isi lemari, mengoyak gaun-gaun, melemparkan sepatu, tas, dan benda berharga lainnya hingga berterbangan ke seluruh ruangan, menjadi puing-puing kemarahan. Dan saat semua telah hancur, ia pun terkulai lemas di atas tumpukan gaun-gaun indah yang pernah ia berikan padanya, bersama apartemen dan seluruh isinya. Namun, Karenina meninggalkannya begitu saja. Jika semua yang telah ia berikan tak cukup untuk membuatnya bertahan, lalu apa lagi yang bisa ia berikan? Hatinya merintih pilu, sebuah luka yang menganga. Ia merasa tak berarti lagi, hampa. Tubuh Aidan terlentang dengan lelah, dadanya turun naik oleh emosi yang tak sepenuhnya terluapkan. Dan kedua matanya menatap hampa ke atas langit-langit kamar. Hatinya begitu sakit, dadanya begitu sesak terhimpit oleh asa yang hancur berkeping-keping. Mimpi indahnya kini berganti menjadi mimpi buruk. Ia kembali pada dunia yang sepi tanpa cinta. Pada hati yang membatu tanpa rasa. Dan pada hari-hari tanpa asa. Ia lalu memejamkan mata dan membiarkan air mata mengalir jatuh ke pipinya, sebuah tangisan yang tak bisa ia bendung. Dari pintu yang terbuka, seorang wanita setengah baya menatap tubuh letih itu dengan air mata berlinang. Kedua bahunya terguncang menahan rasa sakit yang sama. Wanita mana yang tak akan terluka melihat putra yang sangat dicintainya dikhianati dan ditinggalkan sebegitu rupa. Tanpa pesan dan tanpa kata perpisahan. Ingin sekali ia memeluknya dan menghapus air matanya. Tapi ia tahu lelaki itu tak akan membiarkan ia menyentuhnya. Dia sudah lama menganggapnya tiada. Karena ia pernah membuat jiwanya terluka. Ia pernah menghancurkan hatinya, mengingkari janjinya, dan meninggalkannya begitu saja. Dan kini jiwa itu kembali merasakan yang sama. Ditinggalkan oleh perempuan yang sangat dicintainya, sebuah pengulangan luka yang menyakitkan. Wanita itu lalu menarik napasnya yang semakin terasa berat, dan mencoba menahan air mata yang mengalir semakin deras. Ia sangat takut Sang Putra tercinta tak akan lagi mampu menahan kecewa. Ia takut trauma itu akan kembali menghantui hidupnya. Lalu dia akan semakin membencinya. "Tinggalkan aku, Mah..." Tiba-tiba saja suara itu terdengar, memecah kesunyian yang mencekam. "Aidan... Mama..." "Tinggalkan aku, Ma... seperti Mama dulu meninggalkanku." Kata-kata Aidan menusuk tajam, penuh kepahitan. Wanita itu tak kuasa lagi menahan isaknya. Ingin sekali ia bersimpuh di hadapannya, memohon ampunan atas dosa yang tak termaafkan. Tapi mata itu menatapnya begitu dingin. Begitu asing, seolah ia tak pernah ada dalam hidupnya. "Maafkan, Mama..." Lirihnya sebelum kemudian melangkah pelan, meninggalkan kembali Sang Putra menangis sendirian dalam kehancuran. Aidan kembali memejamkan mata. Menahan sakit dari luka yang semakin menganga. Kini ia tak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup. Karena tanpanya, semua tak lagi bisa sama. ... Dari dalam mobil yang berhenti, Karenina menatap rumah kecil berpagar putih itu. "Aku pindah ke sini, Sa?" Tanyanya ragu, tak yakin dengan keputusan ini. Danisa mengangguk. "Kalau di rumahku terus aku takut Aidan mencarimu di sana. Rumah ini aku sewakan untukmu. Sementara kamu tinggal di sini dulu." "Bagaimana kalau nanti dia benar-benar datang ke rumahmu?" "Tenaaang, 'kan, ada Mas Surya? Dia enggak berani macam-macam. Dan Mas Surya pasti enggak akan membiarkannya masuk." Danisa mengusap-usap punggung Karenina untuk membuatnya tenang, mencoba menepis ketakutan itu. "Tapi kamu akan menghadapinya nanti di kantor. Bagaimana kalau nanti dia mengintimidasimu? Memaksamu untuk bicara?" Karenina masih cemas, memikirkan konsekuensi bagi sahabatnya. "Dia tidak bisa memaksaku atau menuntutku karena Mamamu sendiri yang menyuruhmu untuk pergi. Dia sama sekali tidak berhak atas hidupmu." Danisa mencoba meyakinkan. "Bagaimana kalau nanti dia memecatmu?" "Aku bisa mencari pekerjaan lain." "Maafkan aku, Sa... aku sudah membuatmu terlibat jauh. Aku sudah merepotkanmu..." Danisa menggeleng, tersenyum tulus. "Selama ini kamu sudah banyak membantuku. Sekarang biarkan aku membalasnya." "Harusnya dulu aku mengikuti kata-katamu, Sa..." Karenina menatap Sang Sahabat dengan sesal, menyalahkan diri sendiri. "Hei... Enggak ada yang tahu ini akan terjadi. Kalau kamu enggak melakukannya, mungkin kamu juga enggak akan tahu sifat Aidan yang sesungguhnya." Danisa mencoba menghibur, meluruskan pandangan Karenina. "Aku memang bodoh. Dulu kamu sudah mengingatkanku berulang kali untuk berpikir dulu sebelum menerima lamaran Aidan." "Kamu enggak bodoh, Nin. Dia memang sengaja membuat dirinya sempurna di matamu untuk menutupi sifat aslinya." "Aku takut dia mencariku ke sini, Sa..." Karenina berbisik, rasa takut masih menggigit. "Dia pasti akan mencarimu. Tapi kamu enggak perlu takut. Kamu udah bukan miliknya lagi. Kamu berhak menjalani hidupmu sendiri." "Bagaimana kalau dia memaksaku untuk kembali." "Apa itu yang kamu inginkan?" Karenina menggeleng cepat. "So? Apa yang kamu khawatirkan? Sekarang Mama-mu pun mendukungmu. Kamu enggak sendirian, Nin. Jangan takut." "Tapi aku bingung, Sa. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku harus memulai hidupku lagi?" "Aku akan membantumu." "Tapi aku udah enggak punya apa-apa lagi." Karenina merasa hampa, kehilangan segalanya. Danisa tersenyum. "Dulu pun kita enggak punya apa-apa, Nin..." "Bagaimana kalau Aidan menutup perusahaan kita? Bagaimana dengan karyawan yang lain?" Karenina masih memikirkan orang lain, meskipun dirinya sendiri sedang rapuh. Danisa menghela napasnya. "Jangan pikirkan orang lain dulu. Sekarang yang terpenting adalah dirimu sendiri. Percayalah Nin, semua akan baik-baik saja. Mungkin awalnya akan terasa sulit, tapi seiring waktu aku yakin lama-kelamaan Aidan akan menyadari kesalahannya dan menerima kepergianmu. Dia seorang pengusaha, dan kalau dia lihat perusahaan kita sekarang sudah menguntungkan, mungkin dia akan berpikir dua kali untuk menutupnya." Karenina menarik napasnya dengan lega. "Terima kasih, Sa..." Ucapnya sambil memaksa bibirnya tersenyum, sebuah senyum pahit. "Terima kasih juga pada Bintang. Dia yang sudah menyelamatkanmu." "Tapi ke mana dia, Sa? Kenapa dia enggak menghubungiku lagi? Karenina bertanya, ada kerinduan di suaranya. "Sekarang dia sudah pindah ke Malang bersama istrinya. Aku udah kabarin dia tentang kamu." "Apa dia dan Naira baik-baik saja?" "Mereka sudah berbaikan." "Oh..." Entah kenapa Karenina seperti tak suka mendengarnya, hatinya sedikit mencelos. "Oh ya, Nin, ada yang mau aku sampaikan tentang Bintang." Danisa berucap hati-hati, ada nada berat. "Apa?" Karenina menatapnya. Sejenak Danisa menatap ragu. "Kalian mungkin tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Dan dia enggak akan menghubungi lagi." "Dia bilang begitu?!" Karenina terkejut, suaranya tercekat. Danisa mengangguk, mengiyakan kenyataan pahit itu. "Apa Naira yang melarangnya?" Danisa menggeleng. "Mamamu..." "Mama?" Karenina menatap tak percaya, terkejut dengan pengakuan itu. "Bintang yang membujuk Mama-mu untuk membatalkan pernikahanmu dengan Aidan. Dan Mama-mu menyanggupinya dengan syarat dia tidak boleh mendekatimu lagi. Dia harus menghilang dari hidupmu selamanya." "Selamanya?" Suara Karenina tercekat. Dan saat melihat Danisa kembali mengangguk, air matanya menetes, membasahi pipinya. Kini ia merasa sendirian. Ia tak tahu bagaimana bisa menjalani hidup jika ia tak lagi punya harapan? Apakah ia benar-benar harus mengubur cintanya pada Bintang selamanya? Kemarin ia masih percaya bahwa ia akan bisa melupakannya karena ia akan menjalani hidup bersama Aidan. Tapi kini ia sendirian. Hidupnya sudah berubah, tapi cintanya pada Bintang tak pernah berubah. Namun sekarang, di saat ia sangat mengharapkannya, dia malah meninggalkannya. Lalu buat apa ia meninggalkan pernikahannya? Sebuah pertanyaan tanpa jawaban, sebuah pengorbanan yang terasa sia-sia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD