2| Keberadaan pria asing di kost

1661 Words
Setelah mengunci pintu gerbang dan pintu ruang tamu, Aruna langsung berjalan menuju ruang tengah. Tadi Aruna sempat mengecek setiap sudut rumah yang didiaminya saat ini untuk mencari entah siapa, tapi dirinya tak mendapati siapa pun di rumah ini. Semua kamar yang berada di kost ini pun tertutup rapat. Jadi, akhirnya Aruna kembali menyimpulkan bahwa memang dirinya lah yang memang tidak mengunci pintu pagi tadi ketika pergi ke luar.     “Baik-baik di dalam kardus ya, Jeruk,” kata Aruna menunjuk ke arah kucing berwarna oranye yang saat ini berada di dalam kardus di ruang tengah. Tadi sempat mempertimbangkan untuk mengusir kucing itu keluar. Namun, bukankah lebih menenangkan jika ada seekor kucing yang bisa disalahkan jika ada suara-suara aneh di rumah ini? Jadi, akhirnya Aruna memberikan kardus kepada Jeruk untuk ditinggali selama berada di sini.      Tanpa memedulikan Jeruk lagi, Aruna langsung berderap menaiki tangga untuk menuju ke lantai dua di mana kamarnya berada. Aruna berniat untuk mengerjakan skripsinya mumpung suasana kost sedang sepi. Karena jika teman-teman kostnya sudah kembali ke kost, bisa-bisa Aruna malah mengajak mereka pergi ke tempat karaoke karena stres dengan skripsinya.      “Aruna, mari fokus,” kata Aruna pada dirinya sendiri seraya duduk di meja belajarnya dan menyalakan laptopnya.      Ponsel yang berada di atas meja bergetar. Dilihatnya sebuah pesan masuk dari kontak nama Ethan. Secara otomatis bibir Aruna tersenyum lebar karena senang. Buru-buru Aruna membuka pesan itu.     Besok mau ke kafe bareng nggak? Gue berangkat pagi.     -Ethan-     Tanpa pikir panjang Aruna langsung mengetikkan balasan untuk Ethan.     Mau lah!      Kirim.           Tak lama kemudian balasan dari Ethan muncul di layar ponselnya.     Haha Oke. Gue jemput jam delapan ya?     -Ethan-     “Mantaps!” kata Aruna senang. Namun, mendadak Aruna mengingat sesuatu. “Tapi,  kan gue niat mau ke perpus besok pagi buat nyari buku,” ucapnya seraya menyandarkan kepalanya ke atas meja. “Dan gue kan masuk kerja sore.”     Aruna kembali menegakkan tubuhnya. “Nggak apa-apa, kali aja setelah ini Ethan nembak gue,” katanya mencoba mencari hal positif dari kejadian esok hari.      Tiba-tiba saja terdengar suara Jeruk mengeong cukup keras yang membuat Aruna menoleh ke arah pintu. Suara eongan Jeruk tidak kunjung berhenti yang membuat Aruna mendesah lelah. Apa mungkin jeruk lapar? Tapi, kan tadi Aruna sudah memberinya makan.      Ketika Aruna hendak bangkit berdiri untuk mengecek Jeruk di lantai bawah, tiba-tiba saja Jeruk berhenti bersuara.      “Kenapa kucing random banget, sih?” gerutu Aruna.      Tanpa memedulikan Jeruk lagi, Aruna kembali fokus dengan laptop di hadapannya. Dirinya harus fokus mengerjakan skripsinya. Untuk sesaat Aruna bisa fokus laptop dan segala hal yang menyangkut skripsi. Hingga tiba-tia konsentrasinya terganggu karena suara berisik di bawah.      Aruna kembali menoleh ke arah pintu dan menatap pintu itu dengan kernyitan di dahi. Suara-suara berisik di bawah bukan berasal dari suara kucing, tapi lebih seperti suara televisi yang sedang menayangkan sesuatu. Apa mungkin Jeruk sepintar itu sampai bisa menyalakan televisi? Atau bisa jadi Jeruk tidak sengaja memencet tombol power pada remot TV yang berada di meja.      Karena penasaran dan khawatir, akhirnya Aruna memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Lampu di lantai bawah masih padam seperti semula. Namun, suara televisi dapat didengarnya dengan jelas. Dan benar saja, ketika Aruna sudah mencapai lantai satu, dilihatnya TV sedang menyala. Berita mengenai Hansel Archard dan Pamela Collins menghiasi layar televisi. Padahal ini sudah tengah malam. Namun, gosip mengenai mereka berdua masih saja dibahas.      Aruna menghela napas dalam sambil geleng-geleng kepala melihat berita itu. Dirinya benar-benar sudah muak melihat wajah ataupun nama Hansel di televisi. Segera Aruna mengambil remot TV yang berada di meja dan mematikan televisi. Aruna sempat melirik ke arah kardus yang tadinya berisi Jeruk. Namun, saat ini Jeruk sudah tidak ada di dalam kardus. Aruna berjongkok dan mencari Jeruk di bawah meja, tapi ia masih tidak dapat menemukannya.      “Meong….”     Suara Jeruk terdengar dari arah belakang Aruna. Segera Aruna bangkit dari posisi jongkoknya dan menoleh ke sumber suara. Bukannya menemukan Jeruk, Aruna malah mendapati seorang pria tengah berdiri di ambang pintu pemisah antara ruang tengah dan ruang makan. Pria bertudung itu tengah menatap lurus ke arah Aruna. Jantung Aruna kini berdetak sangat cepat karena rasa takut yang menjalari tubuhnya.      “Sial!” maki pria itu yang masih dapat didengar oleh Aruna.      Aruna berjalan mundur secara perlahan. Matanya masih menatap takut pria yang masih mematung di tempatnya. Karena minimnya penerangan di ruangan ini, Aruna tidak bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. Meskipun begitu, Aruna tetap mencoba mengingat postur tubuh pria tersebut. Dia memiliki tubuh tinggi dan tegap. Tubuhnya tampak berisi bukan dalam artian gendut melainkan agak berotot tapi Aruna tidak bisa memastikannya dalam balutan jaket hoodie yang dipakainya.     “Gue nggak tahu ada orang,” katanya lirih. Pria itu memiliki suara dalam yang sangat familiar di telinga Aruna. Tampaknya Aruna pernah mendengar suara pria di hadapannya ini. Tapi, Aruna tidak ingat pemilik suara tersebut.      Aruna melirik ke arah tangga menuju lantai dua. Tadi waktu turun ke bawah dirinya lupa membawa ponsel. Jika Aruna dapat berlari dengan cepat menaiki tangga, dirinya bisa langsung ke atas untuk ke kamarnya. Setelah itu dirinya hanya tinggal menghubungi seseorang untuk meminta tolong. Itu pun kalau Aruna berhasil sampai ke kamarnya dengan selamat.      “Lo pasti kaget, karena gue juga--”     Sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya, Aruna sudah lebih dulu melangkahkan kaki, berlari ke arah tangga. Namun, sebelum Aruna mencapai tangga, ia merasakan tarikan pada lengannya. Secara spontan Aruna berteriak yang malah membuat pria itu membekap mulutnya.     “Gue mohon, jangan berteriak,” perintah pria itu.     Aruna meronta, mencoba melepaskan diri dari pelukan kasar pria di belakangnya ini. Aruna tidak pernah merasakan rasa takut yang teramat sangat seperti ini. Mungkin saja ini adalah kali terakhir Aruna dapat menghirup udara di dunia ini. Karena, bisa saja detik berikutnya pria ini akan membunuhnya. Memikirkan hal itu membuat Aruna menjerit dalam bekapan tangan pria tersebut. “Gue bukan penjahat, dan gue beneran nggak tahu kalau ada orang di rumah ini,” kata pria itu lagi yang membuat Aruna memakinya dalam hati. “Lo pasti kaget dan takut, tapi lo nggak perlu khawatir.  Gue janji gue nggak akan melakukan hal buruk ke lo.” Pria ini berjanji tidak akan melakukan hal buruk ke Aruna setelah tiba-tiba berada di dalam rumah, menakuti Aruna, membekapnya seperti ini? Yang benar saja! Dia pikir Aruna sebodoh itu hingga mau mempercayainya?    “Gue akan melepaskan bekapan tangan gue, tapi lo harus janji untuk tidak berteriak. Oke?” kata pria itu mencoba meyakinkan Aruna. Mau tidak mau Aruna mengangguk. Karena, mungkin untuk sekarang sebaiknya Aruna menuruti perintah pria tersebut. Dan nanti, jika ada kesempatan, Aruna bisa langsung kabur. “Kita duduk di ruang tengah dan berbicara. Oke?” Aruna kembali mengangguk. Dalam jarak yang sangat dekat ini, Aruna dapat mencium wangi harum tubuh pria tersebut. Wangi yang sepertinya mewah dan mahal. Tampaknya bukan parfum murahan. Selain itu, tebakan Aruna tentang tubuh pria ini yang berotot ternyata benar. Karena, Aruna tidak merasakan gumpalan lemak yang ada di tubuh pria ini. Tubuhnya terasa padat dan agak kekar. Aruna tidak akan bisa menang meskipun memukul pria ini dengan gagang sapu.  “Lo beneran janji nggak akan macam-macam kan?” tanya pria itu lagi.  Apa Aruna tidak salah dengar? Bukankah seharusnya Aruna lah yang menanyakan pertanyaan itu? Rasanya ada yang salah dengan pria tersebut. Meskipun begitu, Aruna tetap mengangguk.  Perlahan pria itu melepaskan tangannya dari mulut Aruna. Tangan yang tadinya melilit perut Aruna kini sudah hilang. Aruna pun merasakan bahwa pria itu memundurkan badan menjauhi Aruna. Dengan hati-hati Aruna melangkahkan kaki ke depan, berusaha menjauhkan diri dari jangkauan pria yang berada di belakangnya. Perlahan Aruna menoleh ke arah pria yang saat ini tengah membelakanginya. Merasa memiliki kesempatan, akhirnya Aruna menendang p****t pria itu yang membuatnya limbung dan mengaduh. Aruna memakai kesempatan itu untuk berbalik dan berlari menuju arah dapur. Aruna berniat untuk mengambil benda apa saja yang dapat ia gunakan untuk melindungi diri. Namun, baru beberapa langkah berlari, Aruna sudah terjerembab ke lantai karena tersandung kakinya sendiri. Dan di saat itulah cahaya memenuhi ruangan. Aruna segera menoleh ke arah pria tersebut. Kini pria itu menatap Aruna kesal sambil menyibak tudung jaket hoodie yang dipakainya.  “Bukannya lo tadi janji buat nggak macam-macam?” katanya kesal. Aruna menatap pria itu dengan kernyitan dalam. Benar, Aruna merasa pernah melihat pria itu. Wajah tampan yang sangat rupawan itu seharusnya hanya berada di layar kaca. Namun, nyatanya pria itu kini berada di sini, di kost khusus perempuan yang didiami Aruna. “Ha … Hansel? Hansel Archad?” tanya Aruna masih dalam posisinya setengah rebahan di lantai karena dirinya belum sempat bangkit dari terjerembab tadi. “Ya,” jawab pria itu datar.  Aruna membelalakkan mata karena kaget. Kini mulutnya sudah kembali terbuka untuk berteriak. Namun, ini bukanlah teriakan senang karena Hansel Archad, aktor terkenal, berada di satu tempat dengannya. Melainkan teriakan ketakutan karena seorang maniak yang juga seorang aktor terkenal berada di satu tempat dengannya di tengah malam yang begitu sunyi. Bagaimana jika Hansel melecehkannya seperti Pamela Collins? “Gue kan udah bilang jangan berteriak,” ucap Hansel dengan kesal seraya mendekat ke arah Aruna.  “Jangan mendekat!” seru Aruna panik.  Dengan helaan napas dalam Hansel mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. Aruna sendiri sibuk mencari cara agar bisa keluar dari tempat ini. Aruna tidak ingin berada di sini bersama dengan pria yang mempunyai skandal pelecehan.  “Lo sedang menghubungi siapa? Kaki tangan lo?” tanya Aruna takut-takut. “Kaki tangan gue ada di sini,” kata Hansel memperlihatkan kaki dan tangannya yang masih menyatu dengan tubuhnya. “Gue sedang menghubungi anak pemilik rumah ini.” “Si d***u Aron? Lo berkomplot dengan Aron buat mencelakakan gue?” Hansel mendenguskan tawa mengejek seolah tuduhan Aruna itu menggelikan. “Abas. Manager gue, anak pemilik kost ini,” katanya. “Dan gue nggak sedang berniat mencelakakan lo,” tambahnya.  Kali ini Aruna yang mendenguskan tawa mengejek. “Yang benar aja,” balasnya.  “Ke sini sekarang,” ucap Hansel kepada siapa pun di seberang telepon. “Karena ada perempuan gila di sini.” Aruna menatap Hansel tidak percaya. Dia mengatai Aruna perempuan gila? Apa Hansel nyari mati?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD