Bu Khosim.
‘DOORRR ... !!!! DOOOORRR .... !!! DOORR ... !!!’
“JAKA! KELUAR KAMU!” bentak seorang perempuan paruh baya sambil menggedor pintu rumah di depannya keras-keras. Matanya melotot, gelang emas di tangannya sampai ikut bergoyang-goyang.
“JAKA! HALIMAH! GUA TAU YA LO BERDUA ADA DI DALEM! KELUAR NGGAK!” teriaknya lagi. Sebelum menyusul sebuah gebrakan pintu sekali lagi yang lebih keras.
Perempuan yang berbalut daster warna ungu. Badannya gemuk, jari-jarinya besar. Kaca mata menggantung, membingkai kedua matanya yang melotot. Bedan tebal membalut wajahnya. Blash on merah, bulu mata tebal dan rambut gelombang yang dibiarkan tergerai.
Deretan kontrakan di salah satu pinggiran Desa Tulangabu seketika ramai. Siapa yang tidak kenal ibu-ibu paruh baya janda itu. Hanya dengan melihatnya datang dari kejauhan saja semua penghuni kontrakan bisa langsung bersembunyi.
Kegalakan dan pedas omongannya tersohor sampai mana-mana. Suaranya yang keras, tatapannya yang tajam dan tabiatnya yang kejam. Semuanya jadi satu paket di Bu Khosim, pemilik deretan kontrakan di kawasan ini.
Lebih-lebih lagi saat ia ditinggal mati suaminya 3 bulan yang lalu. Ia seperti tidak punya rasa takut lagi pada siapa pun. Apalagi dengan orang-orang penghuni kontrakannya.
“JAKA! SEKALI LAGI LO NGGAK KELUAR! LO CABUT DARI KONTRAKAN GUA SEKARANG! DASAR LAKI-LAKI NGGAK BECUS! BAYAR WOY BAYAR!” bentaknya lagi.
Kali ini jendela jadi sasaran. Diketuknya benda berbahan kaca itu dengan kunci mobil di genggaman tangannya sampai membekas baret.
Pagi masih terlalu belia namun kedatangan perempuan satu itu membuat tidak ada orang yang berani keluar dari kontrakannya. Membuat pagi romantis yang harusnya diisi dengan teh hangat atau koran pagi jadi mencekam bak kiamat.
Bu Khosim ini orang yang tidak punya hati. Walaupun mereka sudah bayar kos. Sedikit saja mereka tampak Bu Khosim tidak akan segan-segan menagih uang sewa bulan depan pada mereka.
“JAKA! HALIMAH! KELUAR NGGAK!”
Laki-laki yang dicarinya tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Sementara wajahnya semakin memerah. Hidungnya kembang kempis, dadanya memompa dengan cepat. Emosi Bu Khosim memuncak lantaran sebelumnya, berkali-kali ia datang ke tempat ini Jaka dan Halimah selalu bersembunyi.
Tak terhitung lagi sudah berapa kali ia menggedor pintu di depannya. Tapi orang yang dicarinya belum juga menampakkan wujudnya. Berdiam di tempat ini hanya membuat darahnya semakin mendidih.
Namun kali ini doanya didengar langit. Dewi Fortuna sedang berbaik hati padanya pagi ini. Lelah menggedor pintu, bosan berteriak memanggil-manggil nama Jaka dan Halimah. Tak berselang lama kemudian terdengar suara knalpot motor butut itu dari kejauhan.
“Hmmm ... pantas saja dua pengecut itu nggak keluar-keluar dari tadi,” gumam Bu Khosim sambil melipat tangan di d**a.
Menarik satu ujung bibirnya, tersenyum menyeringai. Menghela napas panjang lega sambil membenahi kaca mata di wajahnya. Akhirnya sang mangsa datang sendiri tanpa perlu susah-susah mencari.
Ia berbalik badan. Bersiap menyambut mereka yang sudah ia tunggu-tunggu. Suara knalpot motor itu semakin lama semakin jelas terdengar.
Bu Khosim sudah siap berdiri persis di depan dua anak tangga menuju teras. Menyandarkan tubuhnya di tiang dengan tenang menunggu mereka muncul.
Dan benar saja, motor bebek tua itu muncul. Bersamaan dengan Jaka, Halimah dan Novita, anak tunggal yang duduk di antara mereka.
Wajah Jaka dan Halimah seketika berubah. Takut dan pucat, Jaka refleks menginjak rem di kakinya. Buru-buru menghentikan motornya. Hendak berputar balik kembali pergi.
“HEH .... MAU KE MANA KALIAN? MAU KABUR? IYA?!” bentak Bu Khosim. “DASAR ORANG-ORANG MISKIN! SINI BAYAR UANG KONTRAKAN KALIAN! CEPAT BAYAR!”
Bu Khosim beranjak dari tempatnya berdiri. Menunjuk Jaka dan Halimah yang gemetaran dengan telunjuknya sambil berlari cepat ke arah mereka berdua.
Semua penghuni deretan rumah kontrakan yang lain tak bisa berbuat banyak. Hanya berani mengintip dari balik kaca jendela mereka. Melihat Bu Khosim memaki dan memarahi Jaka lantas mencabut kunci motor pria itu dari lubangnya.
“APA? KALIAN MAU PERGI?! BAYAR UANG KALIAN! ENAK AJA! KALAU UDAH TAHU MISKIN MINIMAL GAUSAH NYUSAHIN ORANG LAIN. SUSAH SENDIRI AJA SONO!” makinya.
“Ehhh ... engg ... Ib–ibu Khosim. Ap–apa kabar, Bu? Duh lama banget rasanya kita nggak ketemu,” jawab Jaka tergagap.
Meski bertubuh tinggi besar dan kekar tapi tetap saja, siapa yang tidak pucat berhadapan dengan wanita satu ini. Apalagi mengingat Jaka dan Halimah terkenal paling lama menunggak uang sewa di antara semua orang yang tinggal di deretan rumah kontrakan Bu Khosim.
“HALAH NGGAK USAH SOK RAMAH YA KAMU JADI ORANG!” ketus Bu Khosim sambil mendorong kepala motor butut Jaka. Membuat pria itu sedikit kehilangan keseimbangan.
Halimah refleks menarik tubuh Novita anaknya turun dari motor. Ia hanya memikirkan keselamatan Novita. Kemarahan Bu Khosim hari ini bukan sebuah hal yang bisa ditawar lagi.
“Eh ... jangan dorong-dorong gitu dong, Bu. Hampir jatoh loh ini anak saya,” protes Halimah membela diri setelah membawa Novita turun.
“EH ... LO YA ISTRI NGGAK TAHU DIRI! JATOH DARI MOTOR TUA BEGINI APA SIH SAKITNYA. SAKITAN GUA! KALIAN HAMPIR SEPULUH BULAN NGGAK BAYAR UANG SEWA! BISA-BISA MATI KONYOL GUA KALAU KALIAN MASIH DI SINI,” hardik Bu Khosim sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajah Halimah.
“Mah ... udah sayang ... udah jangan dilawan,” lerai Jaka. Ia akhirnya ikut turun dari motor, menarik mundur istrinya. Berdiri tegap menghadang Bu Khosim di depannya.
“APA?! LO MAU JADI JAGOAN?!” tantang Bu Khosim. Menarik lengan dasternya ke atas sambil berkacak pinggang. Mengangkat dagu ke atas menantang Jaka.
“HEH .... !!! INGET YA, LO TADI BILANG KALAU KITA UDAH LAMA NGGAK KETEMU? IYA KAN? ITU KARENA LO KABUR TERUS DARI GUA! LO SENGAJA KAN EMANG NGGAK MAU BAYAR SEWA INI RUMAH? KALAU LO EMANG NGGAK MAMPU YA NGGAK USAH NYEWA. MASIH BANYAK KOK ORANG YANG MAU NYEWA DARIPADA GUA HARUS SEWAIN RUMAH INI BUAT ORANG NGGAK TAHU DIRI KAYAK LO BERDUA!”
Lirikan tajam Bu Khosim berputar. Menyelinap di antara tubuh Jaka yang menghalanginya. Menatap tajam ganti ke arah Halimah yang memeluk tubuh Novita di sebelahnya.
Tubuh anak 7 tahun yang gemetar ketakutan. Menangis terisak tapi mati-matian ia tahan karena takut dengan suara Bu Khosim di depan sana.
“DAN BILANG SAMA ISTRIMU YANG PALING SOK BENAR ITU, BUKAN GUA YANG SALAH! PAHAM?! JANGAN SEOLAH-OLAH KAYAK GUA PREMAN DI SINI. SEMUA ORANG YANG TIDUR DI KONTRAKAN GUA JUGA BAYAR! KALIAN PUN JUGA HARUS BAYAR, t***l! JANGAN MENTANG-MENTANG GUA UDAH BAIK KASIH KALIAN WAKTU KERINGANAN TRUS MOLOR SAMPAI SEKARANG! NGERTI NGGAK SIH!?”
“Iy–iya, Bu Khosim. Sa–saya paham kok. Saya paham banget,” jawab Jaka sambil menangkupkan kedua tangannya. “Tapi saya kan juga udah bilang kalau saya bakal bayar awal bulan depan. 7 hari lagi loh, Bu. Tunggu lah sebentar lagi pasti saya kasih kok.”
“HAH? GIMANA?” pekik Bu Khosim. “EH ... DASAR LAKI-LAKI NGGAK BECUS! LO TAU NGGAK SIH BERAPA BULAN KALIAN UDAH NUNGGAK? SEPULUH BULAN! SEPULUH BULAN!”
Bukan mereda Bu Khosim justru semakin naik pitam. Membuka kedua telapak tangannya. Menunjukkan kesepuluh jarinya yang 7 di antara berlingkar cincin emas peninggalan suaminya.
“SEPULUH BULAN LO NGERTI NGGAK? BISA ITUNG-ITUNGAN KAN? YA SEMISKIN-MISKINNYA ORANG SOAL DUIT PASTI NGERTI LAH LO PADA. MASALAHNYA LO BERDUA BISA NGGAK BAYAR ITU TUNGGAKAN?! SEPULUH BULAN, SEMBILAN JUTA TOTAL! BAHKAN MOTOR BUTUT KALIAN INI AJA BELUM TENTU BISA BUAT LUNASIN ANGKA ITU!” hardik Bu Khosim sambil menendang motor tua milik Jaka.
Motor satu-satunya, harta yang paling bernilai mahal yang sekarang ia punya.
“Iya tapi kan kita bisa loh Bu obrolin baik-baik gini. Nggak perlu pake teriak-teriak. Nggak enak didengar tetangga ya lain,” pinta Jaka dengan nada iba.
Memelas pada Bu Khosim dengan mata sayu berkaca-kaca. Apalagi saat menyadari di belakangnya sekarang sang istri sedang terancam. Apalagi dengan Novita anaknya yang gemetar ketakutan sejak tadi.
“APA? BAIK-BAIK LO BILANG?!” bantah Bu Khosim lagi. “EH ... DENGER YA JAKA! NGGAK ADA KATA BAIK-BAIK BUAT LO LAGI. SEKARANG, LO KALAU MAU MASALAH INI KELAR BAIK-BAIK, LO BAYAR UANG SEWANYA. ATAU KALAU LO NGGAK BISA. LO CABUT AJA DAH. GUA UDAH CAPEK BERURUSAN SAMA ORANG RUMIT KAYAK LO BERDUA.”
Jaka menghela napas panjang. Dadanya sesak, pagi yang cerah di hari minggunya mendadak jadi kiamat yang akan mengakhiri hidupnya.
Ia sudah senang hari ini bisa mengajak istri dan anaknya berjalan-jalan ke pasar. Belanja kebutuhan untuk warung istrinya dan membelikan beberapa jajan pasar yang sudah lama Novita mau.
Ia tidak pernah menyangka Bu Khosim akan datang hari ini. Janda pemilik kontrakan satu ini biasanya selalu datang awal bulan. Tentu saja sekalian mengambil uang sewa kos dari tetangga kiri dan kanannya.
“Tapi Bu, tolonglah beri kami kesempatan sekali lagi. Beri saya waktu buat melunasi semua kekurangan uang sewanya. Novita habis sakit, Bu. Uang sewa yang saya kumpulkan terpaksa saya pakai. Saya nggak ada uang segitu untuk saat ini, Bu.”
Jaka memelas lagi. Lagi pula, apalagi yang ia punya selain itu. Dengan wajah yang muram dan mata berkaca-kaca, ia berharap perempuan di depannya memberikan sedikit waktu lagi.
“HAHAHA .... JAKA ... JAKA ...!!!” Bu Khosim justru terpingkal. “LO KIRA KALIMAT-KALIMAT MELAS LO ITU MASIH MEMPAN BUAT GU? HAH?! LO KIRA GU BAKAL SEGAMPANG ITU?”
Kalimat Bu Khosim terjeda. Matanya melotot tajam, sedikit pun tak gentar menatap Jaka yang berdiri di depannya. Tidak ada tanda-tanda ia akan melunak. Tidak ada tanda-tanda lampu hijau buat Jaka mendapatkan kembali keringanan itu.
“UDAHLAH ... GUA NGGAK MAU BASA-BASI LAGI. NGOBROL SAMA LO BIKIN GUA BISA-BISA IKUT KETULARAN MISKIN! SEKARANG LO MAU BAYAR APA LO CABUT DARI TEMPAT INI? GAUSAH SOK BINGUNG GITU DEH, LO AJA SELAMA INI NGGAK PERNAH NGUSAHAIN BUAT NYICIL SEDIKIT PUN KE GUE! GUE UDAH HAPAL GELAGAT-GELAGAT ORANG-ORANG YANG EMANG NGGAK MODAL KAYAK LO!”
“Bu, cukup!” potong Halimah tiba-tiba. “Iya kami bakal bayar kok. Tapi bisa nggak sih nggak usah ngatain suami saya? Saya sakit hati loh lama-lama sama Bu Khosim. Ibu ini sudah pernah naik haji tapi kenapa mulutnya kayak gitu sih?!”
Mendengar kalimat Halimah justru semakin membuat Bu Khosim semakin naik pitam. Ia menyeringai, satu ujung bibirnya terangkat. Hampir ia melangkah menyerbu Halimah. Ingin rasanya menjambak rambut perempuan anak satu itu.
Untungnya dengan sigap Jaka menghentikan langkah Bu Khosim. Memasang lengannya jadi palang. Menghalangi Bu Khosim melewati tubuhnya. Tak gentar meski Bu Khosim mencoba membuang tangan Jaka dari hadapannya.
Alhasil, tubuh perempuan gemuk itu tertahan di sana. Hanya bisa memaki Halimah dari kejauhan.
“HEH ... HALIMAH! SEMBARANGAN YA LO KALAU NGOMONG! YA LO BANYAKIN NGACA MAKANYA JADI ORANG. JANGAN JADI MISKIN KALO LO NGGAK MAU DIRENDAHIN. BUKAN SALAH GUA DONG. SALAH LO SENDIRI PUNYA SUAMI MISKIN! TAHU DIRI MAKANYA!” cecar Bu Khosim makin menjadi.
“Eh ... kalau bukan karena suami Bu Khosim dulu punya harta juga Bu Khosim nggak akan bisa semena-mena sekarang ya,” balas Halimah seolah tidak punya rasa takut.
“Mah ... udah sayang jangan diterusin,” ujar Jaka pada Halimah. Tahu kalau menanggapi Bu Khosim tidak akan ada habisnya.
“LOH IYA DONG, LO LIAT SEKARANG. HIDUP GUA ENAK. GUA BISA BELI DAN PUNYA APA YANG GUA MAU. SEMENTARA LO? CUIHHH ... !!! RUMAH AJA KAGAK PUNYA! DASAR MISKIN! NGGAK TAHU MALU!”
“EHH .... BU KHOSIM JUGA HARUSNYA NGACA DONG! NGGAK TAHU MALU BANGET UDAH HAJI MULUTNYA KOTOR KAYAK GITU,” sentak Halimah balik.
Ia sudah berusaha menahan diri. Tapi Bu Khosim benar-benar tidak mau peduli dengan itu. Hatinya sudah tidak terima lagi dengan semua kalimat pedas itu.
“Kita kan bisa ngobrol baik-baik, Bu. Nggak perlu pakai cara marah-marah kayak gini loh,” lanjut Halimah.
“HEH .... HALIMAH, LO KAGAK DENGER APA GUA UDAH BILANG DARI TADI? HAH? EMANG MASIH MEMPAN PAKE CARA BAIK-BAIK? SUAMI LO INI MISKIN!”
Bu Khosim bahkan tidak segan-segan menunjuk ke arah wajah Jaka. Sedangkan yang ditunjuk? Hanya bisa tertunduk lemas. Mengatur napas, melapangkan dadanya lagi seperti sebelumnya.
“UDAHLAH! MUAK JUGA LAMA-LAMA NGOMONG SAMA KALIAN. SEKARANG GINI AJA, KALIAN MAU BAYAR, APA KALIAN PERGI HARI INI JUGA?!”
Jaka memutar pandangannya menatap Halimah yang berdiri di belakangnya. Perempuan yang masih tampak penuh emosi itu, hanya menggelengkan kepalanya.
Namun itu cukup bagi Jaka. Satu kode yang artinya mereka sudah tidak ada uang lagi.
“Saya bayar hari ini, Bu. Saya bayar hari ini,” jawab Jaka tiba-tiba.
Membuat seketika Halimah tersentak. Matanya terbelalak, kedua alisnya terangkat.
“Mas, uang dari mana?” tanya Halimah dalam hati.
Bersambung ....