Tak Terduga (2)

931 Words
Bu Euis Tubuhku terbaring. Malam sudah larut. Rumahku yang sekarang dekat dengan perkebunan dan pesawahan. Suara kodok dan jangkrik terdengar bersahutan. Sebelum benar-benar tertidur, tiba-tiba terngiang ucapan suamiku saat pertama kali aku menjenguknya. Mama, waktunya tidak banyak. Aku tidak bisa mengatakan banyak hal, kecuali hanya memohon maaf pada Mama. Aku sudah mengecewakan Mama, dan juga mengkhianati Mama. Kalimat itu terus berulang-ulang menggema dan mengedor-gedor dinding di ruang hatiku. Wanita mana yang tidak sakit jika suaminya berpaling. Aku pun demikian. Tapi apakah ada gunanya jika sakit hati, mendendam, dan perasaan negatif lainnya terus mengungkung, bahkan kupelihara. Sama sekali tidak ada manfaatnya. Bahkan justru akan menjadi penyakit jiwa yang bisa saja jika sudah parah akan menjadi penyakit dan gangguan psikosomatis. Aku teringat pertemuanku dengan Viona tempo dulu. Dulu aku terlalu emosional. Aku sangat menyesalinya. Seandainya dipertemukan lagi dengannya, hatiku sekarang sudah melunak. Aku ingin minta maaf karena telah berkata kasar padanya. Di manakah dia sekarang? Seandainya ada kesempatan lagi bertemu, tentu takkan pernah kusia-siakan lagi momen itu untuk saling membebaskan dan saling memaafkan. Aku ingin membebaskan diri dari semua itu. Untuk kebaikan diriku, anak-anakku, dan kebaikan suamiku. Saat suamiku mengucapkan kata-kata itu. Aku berbaik sangka, dia melakukannya dengan penyesalan dan mudah-mudahan itu menjadi cambuk baginya agar menjadi lebih baik. Saat itu aku diam. Saking beratnya untuk bicara, bibirku bergetar. Kucoba menahan agar kedua mataku tak menumpahkan air mata. Aku berkata sambil terbata-bata, "Aku sudah tak memikirkan diriku lagi. Aku hanya ingin mempersiapkan masa depan anak-anak." Itu saja yang keluar dari mulutku. Kalimat yang keluar persis seperti bayangan di benakku saat itu. Ketiga anak-anakku muncul memenuhi pikiranku. Icha yang tersenyum membentangkan tangannya dan berharap aku memeluknya dengan penuh kasih. Sebuah senyum yang akan selalu kurindukan darinya. Icha menghilang, lalu muncul Afdan yang melangkah mendekatiku. Setelah jarak kami tak ada batas, dia mencium tangan kananku penuh hormat. Kemudian memelukku penuh cinta. Sebuah pelukan yang membuatku damai. Aku sangat damai karena anakku telah menjadi seorang anak yang santun melindungi ibunya dengan tulus. Tiba-tiba tubuh Afdan sirna dari pelukanku. Muncul Aqila yang berjalan. Dia tumbuh dengan sehat dan menjadi anak yang cerdas. Dia memanggilku mama berulang kali samba setengah berlari mendekati. Rambutnya yang ikal dan wajahnya yang bulat selalu menjadikanku tak pernah bosan menatap dan menyayanginya. Aku bersimpuh, menyambut dan memeluknya. Ya Tuhan, kasihilah aku dan seluruh anak-anakku. Sudah lama aku tak menjenguk ayah. Sedang apakah dia sekarang? Aku merindukannya. Semoga saja dia merindukanku. Mungkin aku dan anak-anak harus menjadwal secara berkala untuk menjenguk ayah. Meskipun kami kini tak hidup bersama, aku ingin anak-anak terikat secara emosional dengan ayahnya. Aku berharap meskipun ayah jauh, mereka minimal masih merasakan bahwa mereka punya ayah. Aku harus menjenguknya. Icha dan Aqila juga pasti rindu. Ya Tuhan, semoga di tempat itu engkau mendidiknya. Semoga Engkau membuatnya menjadi lebih baik. * Aku baru saja tiba di ruang kerjaku. Aqila baru saja kutitipkan ke daycare. Saat aku duduk, kulihat ada sekuntum mawar merah yang rapi terbungkus plastik. Siapakah yang menaruh mawar segar ini, pikirku. Aneh. Tidak biasanya aku mendapatkan bunga seperti ini. Kuambil bunga itu. Aku suka dengan warna harumnya. Aku juga penasaran siapa yang menaruh di mejaku. Ada secarik kertas terselip di bunga itu. Happy Birthday. Panjang Umur & Sukses Selalu Siapakah dia? Kok bisa tahu hari ini hari kelahiranku. Dan aku sendiri lupa. Sejak suamiku mendekam di penjara, aku tak pernah merayakannya lagi. Apakah ini kiriman suamiku? Bagaimana bisa? Peraturan di sel sangat ketat. Dari mana pula dia punya uang untuk membeli bunga? Kalau pun punya uang, apa dia diizinkan keluar sekedar untuk membeli bunga. Dan kalau benar ini dari suamiku, dia memakai jasa apa hingga bunga ini sampai di meja kerjaku. Tidak mungkin suamiku yang melakukannya. Aku menghirup wangi segar mawar itu. Aku memang suka mawar. Mawar warna apa pun aku suka. Biasanya juga ayah sesekali memberiku mawar, coklat dan brownies di momen-momen tertentu. Sebentar, masih ada lanjutan tulisannya. Aku tunggu di Panorama Restaurant Pukul 5 Sore Siapa dia? Dia tidak menyebutkan nama dan nomor yang bisa dihubungi. Apa maunya? Seenaknya saya minta ketemu tanpa janji. Memangnya waktuku itu milik dia? Aku punya waktuku untuk mengurus anak-anak. Aku meninggalkan mawar dan kertas bertulisan singkat itu dilaci. Aku tak peduli, karena kini saatnya aku bekerja memeriksa beberapa orang pasien yang sudah mengantre. Siang ini juga aku harus memeriksa beberapa pasien yang sedang rawat inap. Sungguh mawar itu telah mengangguku. Saat bekerja aku dibuat penasaran pada orang yang meminta ketemuan. Menyebalkan! Aku singkirkan gangguan itu meski muncul lagi dan lagi. * Saat istirahat siang, aku duduk di ruang kerjaku menikmati bekal makan siang yang kubawa. Menu yang kumakan hari ini adalah nasi dengan lauk pauk ayam cincang dan rebusan labu siam. Rekan-rekan lain sepertinya yang makan siang di kantin. Saat aku selesai makan, aku keluar. Kulihat dari kaca, Pak Daniel dan Pak Alan tengah makan siang. Mereka berdua mungkin sama sepertiku, membawa bekal dari rumah. Diam-diam aku menatap mereka berdua satu persatu. Kuusahakan tanpa sepengetahuan mereka berdua. Saat mereka berdua menoleh ke arahku, aku menunduk seolah-olah tidak sedang memperhatikan mereka berdua. Siapakah di antara rekan-rekan kerjaku yang memberikan mawar itu. Aku pikir tidak ada yang aneh dengan mereka. Tidak ada yang perlu aku curigai. Sepertinya bunga itu bukan mereka berdua yang menaruh di mejaku. Pertemanan kami selama ini baik-baik saja. Mereka berdua rasanya tidak mungkin melakukan itu. Mereka punya istri yang sangat mereka sayangi. Mereka berdua memiliki keluarga yang bahagia. Jangan-jangan Pak Bayu? Jelas tidak mungkin dia melakukan itu. Pak Bayu orang yang baik. Jika dia memberikan hadiah pas tidak akan rahasia-rahasia seperti ini, tidak mungkin di sok-sokan memberikan surprise. Hei, aku jadi pusing. Siapakah yang sudah berbuat jahil padaku? * Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD