Rekam Jejakku

1354 Words
Pak Cecep Sudah dua malam ini aku tak nyenyak tidur. Selain karena pikiran, suasana di ruangan sel ini membuatku tidak berminat tidur. Kamar yang sempit. Ranjang dan kasurnya pun tak enak kutiduri. Sejak penangkapan dua hari kemarin, aku sudah dimintai keterangan-atau kusebut saja itu interogasi-penyidik lima kali. Mereka menelusuri lengkap riwayat hidupku mulai dari keluarga, pekerjaan, penghasilan hingga seluruh aset dan kekayaanku. Pertanyaan-pertanyaan yang menyebalkan menurutku. Tapi aku tidak bisa berkelit karena bukti sudah jelas. Aku masih meingatnya dengan jelas saat seorang penyidik perempuan menanyaiku. "Setelah kami pelajari, kami menemukan adanya salah prosedur PT. ABC dalam pengelolaan sumber daya energi panas bumi di Gunung Kunci. Dan mereka bisa beroperasi setelah mendapatkan surat izin yang Bapak tanda tangani. Bagaimana Anda bisa memberikan izin perusahaan tersebut padahal perusahaan tersebut memiliki jejak rekam yang buruk. Mereka tidak pernah membayar pajak dan mereka tidak memerhatikan tata kelola lingkungan tempat mereka beroperasi. Limbah mereka biarkan mencemari sungai sehingga warga sekitar terjangkiti berbagai penyakit kulit." Aku tak mampu menyanggah ucapan petugas itu. "Kami juga menemukan kejanggalan mengenai kekayaan Bapak. Jumlah seluruh kekayaan Anda tidak berimbang dengan total gaji yang Anda terima sebagai seorang bupati." Aku mencoba membantah, "Wajar-wajar sajalah. Aku punya usaha sendiri. Sebelum menjadi bupati pun aku sudah punya beberapa proyek." "Proyek? Termasuk mendapatkan dana dari PT. ABC? Anda terlibat transaksi yang tidak legal. PT. ABC dan seluruh anak perusahaannya membutuhkan banyak perizinan untuk membuka berbagai usaha tambang dan energi. Dan Anda mendapatkan dana dari mereka untuk memuluskan kampanye Pilkada. Kami sudah menelusurinya dan memiliki>Hatiku membenarkan. Namun mulutku diam. Dua hari ini aku belum mengganti bajuku. Bajuku masih tetap yang kupakai saat aku ditangkap. Keluargaku belum ada yang menjengukku seorang pun. Kalau saja aku bisa menghubungi mereka, aku ingin minta dibawakan beberapa potong baju kaos. Lebih enak di sini pake baju kaos saja. Ruangan ini tidak ber-AC. Ada kipas angin baling-baling yang menggantung di langit-langit tak jauh dari lampu, tapi ukurannya kecil. Jadi tetap saja aku merasa gerah. Boleh jadi gerah ini karena memang udaranya yang panas atau karena gerah karena nasib s**l penangkapan ini. Jujur saja aku belum bisa menerimanya. Kenapa yang tertangkap aku, bukan yan lain dari kalangan koruptor kelas kakap. Aku yakin keluargaku tahu beritaku dari media. Aku ragu seandainya mereka menjengukku di balik jeruji ini. Kalau istriku datang, aku tak bisa membayangkan, bagaimana respon dia atas perbuatanku. Apalagi pemberitaan di hotel saat aku tertangkap bersama seorang perempuan. Jangan-jangan istriku ingin balas dendam. Dia mungkin takkan pernah menjengukku karena sakit hati. Aku tidak tahu bagaimana media memberitakan hal itu. Terkadang media terlalu berlebihan dan menambah-nambah, tidak sesuai dengan faktnya. Lagi pula media saat ini tidaklah independent. Mereka mengabarkan berita dengan membawa misi para pemodal dan pemiliknya. Semua bisa diputarbalikkan. Boleh jadi berita yang paling disorot adalah hubunganku dengan gadis muda bernama Viona itu. Mungkin istriku sangat terpengaruh oleh pemberitaan media. Aku tak tahu nasib Viona seperti apa sekarang. Apakah dia juga ikut ditahan. Sejak malam itu, petugas membawa kami ke tempat yang berbeda. Malam sepertinya semakin larut. Pandanganku tidak terlalu leluasa melihat keluar. Ventilasi sel sangat minim. Ayolah, mata. Aku membujuk mataku sendiri agar bisa tertidur. Tetap saja, mataku susah terpejam. Memoriku malah menjelajah ke masa lalu. Aku teringat saat pertama kali terjun ke dunia politik. Aku bergabung dengan Partai Langit dan Bumi. Karir politikku berjalan lancar dan mulus seperti jalan tol. Aku terpilih sebagai anggota DPRD. Saat itu aku masih bersih. Seiring waktu, pergaulan dan pengalamanku mengajarkan banyak hal. Para politisi senior mengajariku berbagai hal yang menurut mereka dianggap sebagai cara gampang menjadi politisi sukses. Dulu aku hanya menganggapnya sebagai pengetahuan saja. Bagaimana trik-trik memanipulasi proyek pengadaan barang dan jasa. Aku tak pernah berminat melakukan kecurangan. Aku tetap ingin bertahan sebagai politis yang jujur. Berbagai godaan dan tawaran menarik aku tampik dengan tegas. Saat musim Pilkada, aku mencoba peruntungan baru. Sebenarnya niat awalnya aku hanya ingin mengabdi kepada masyarakat. Tapi rupanya fakta di lapangan berbicara lain. Untuk maju bertarung bersama para calon bupati tidak cukup dengan modal keinginan dan niat baik. Semuanya butuh biaya. Tidak ada yang gratis, not free lunch. Untuk menduduki jabatan bupati, promosi agar dikenal khalayak sangat penting. Ada hukum dalam sistem yang berlaku di negeri ini, bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, vox populi vox dei. Jadi saat pertarungan, faktor popularitas sangatlah penting. Dan tentu biaya promosi ini tidak cukup dengan uang recehan. Saat itu, aku kebingungan dari mana aku bisa mendapatkan dana yang tidak sedikit itu. Dalam kondisi mendesak seperti itu, aku jadi menurunkan standar nilai-nilai yang kuanut selama ini. Tidak apalah, toh orang lain juga begitu. Sudah lumrah, pikirku. Aku pun mempertimbangkan ulang tawaran dana dari PT. ABC. Tawaran dari mereka sebenarnya dari semenjak aku duduk di kursi DPRD, namun waktu itu aku tolak terus. Maka persahabatan atas dasar ikatan kepentingan itu terjalin. PT. ABC memberikan berapa pun dana yang aku inginkan. Aku paham mereka sampai seperti itu, karena kelak jika aku menang, ada banyak sumber daya alam di daerah yang kupimpin yang sudah lama mereka targetkan. Begitu aku memimpin, mereka mengajukan proyek investasi pengelolaan gas dan panas bumi di kawasan Gunung Kunci. Aku harus tahu diri. Aku harus mereka dengan menandatangani proposal izin usaha mereka. Dan izin ini sebenarnya melanggar aturan dari kementrian ESDM. Namun aku melakukan berbagai cara hingga perusahaan yang menjadi patner pemodalku itu bisa membuka usahanya dengan mulus. Hati kecilku pada saat itu sebenarnya mengakui dosa dan kesalahan itu. Aku merasa bukan manusia lagi. Aku sudah menjadi b***k karena pada awalnya telah diperbudak oleh ambisi kekuasaan. Omong kosong dengan niatan untuk mengabdi kepada masyarakat! Aku jadi malu pada Si Cecep. Meskipun dia bandel, tapi dia mencintai negara dan sangat bersemangat ikut berjuang bersama para ksatria membela negara. Aku, bukannya membela negara, tapi malah menggerogoti negara. * Aku tak tahu sejak kapan mulai tertidur. Aku terbangun saat secercah cahaya menerobos ventilasi. Meskipun sedikit yang menerobos, cahaya itu memantul ke dinding ruangan. Seorang sipir datang. Dia membuka kunci pintu. Pintu itu bagian tengah agak atasnya terbuka, mirip jendela yang berterali besi. Mengetahui lampu ruanganku belum dimatikan, dia menekan stop kontak sehingga lampu ruanganku padam. Petugas itu berkata, "Bersiap-siap Pak, ada keluarga yang menjenguk." Aku tiba-tiba merasa girang. Akhirnya ada juga keluarga yang menjenguk. Aku merasa tidak sendiri. Aku tidak merasa sebatang kara lagi. Ya Tuhan, tapi apa yang akan aku katakan di depan istriku, soal Viona. Ya Tuhan, kalau saja Engkau bisa mengabulkan doaku, semoga istriku amnesia khusus untuk kasus aku dan Viona. Tolol. Aku membodohi dirikus sendiri. Mana bisa Tuhan bisa mengabulkan doamu. Kamu itu pendosa. Perih rasanya. Nuraniku sendiri telah menghukumku dengan kata-kata menyakitkan. Aku segera mencuci muka di kamar mandi yang tersedia di ruangan ini. Beberapa saat kemudian aku mengikuti langkah petugas dari belakang. Petugas itu memasuki ruang yang disesaki orang-orang. Sepertinya tahanan bercampur dengan para tamu pembesuk. Tapi kulihat mereka bisa dibedakan. Para tamu itu menggunakan name tag bertuliskan 'tamu'. Aku terus mengikutinya, mengantre untuk menunggu giliran. Beberapa meter di hadapanku kulihat anakku, istriku, dan Nur yang menggendong Aqila. Mereka tengah duduk di bangku ruang besuk. Anak dan istriku mengenakan name tag seperti yang dikenakan para pembesuk lain. Aku tertunduk, tak berani memandang mereka. Sosok mereka semakin lama semakin dekat. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka. Sementara petugas itu keluar dari ruangan. Tak kusangka Icha dan istriku mendekat. Keduanya menghambur berbarengan memelukku. Aku mengusap pundak istriku dan Icha. "Maafkan Ayah, Ma!" Tak ada yang bisa kukatakan selain itu. Aku memang pendosa yang telah mencoreng nama baik keluarga. Aku memang bodoh, seharusnya akulah orang pertama yang menjadi penjaga keluarga, justru malah aku yang menghancurkannya. "Lihat Yah, Aqila merindukan Ayah," bisik istriku sambil menyusut air matanya. Saat kutatap mata istriku, dia menghindari tatapanku. Aku hanya bisa menebak-nebak riak hatinya. Pasti hatinya remuk karena kelakuanku. Sekilas aku melihat putri kecilku yang disapih Nur. Anak mungil itu memandangku penuh rindu. Gesturnya seperti ingin digendong. Anak itu meronta-ronta minta turun. Nur mendekat ke arahku. Aku segera bangkit. Tanganku meraih tubuh mungil tak berdosa itu. Bukan main senangnya Aqila. Dia berceloteh dan tertawa. Apa yang dia ucapkan tidak pernah kumengerti, masih kosa kata dari luar planet bumi, mungkin dari planet terjauh di urutan tata surya ini. Aku teringat Afdan, mana anakku yang satu ini. "Afdan mana?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD