Sungguh Malu

1215 Words
Mama dan Icha saling menatap. Mereka berdua terdiam cukup lama. Aku tak mengerti maksud diamnya mereka. Muncul berbagai asumsi di benakku. Apakah dia marah, kecewa, malas, dan lain-lain. Sambil mendudukkan Aqila di atas pangkuanku, aku kembali duduk. Kutatap Icha yang matanya terlihat sembab. "Teh Icha, ayah boleh minta tolong sama Teteh?" "Minta tolong apa, Yah?" Aku terdiam. Kucoba untuk mengumpulkan energi positif supaya yang keluar dari mulutku pun adalah kalimat terbaik. "Ayah minta tolong sama Icha bantuin Mama jagain Aqila dan Aa Afdan. Teteh anak ayah paling besar. Teteh anak ayah paling salehah." "Iya, Yah. Itu sudah kewajiban Teteh," Icha mencoba tersenyum, "Oh iya hampir lupa. Mama dan Icha bawa makanan untuk Ayah," Icha menunjukkan sebuah satu set wadah makanan yang sebenarnya sedari tadi dia bawa. Kemudian dia menyodorkannya ke hadapanku. "Ayo dimakan Yah," pinta Icha. Aku memang belum makan. Tapi perutku belum merasa lapar. "Mama, bisakah aku minta tolong, untuk mencarikan pengacara untuk Ayah? Mungkin Mama bisa minta bantuan Dokter Bayu, barangkali dia punya kenalan." "Baik, Ayah. Seingatku, Pak Bayu pernah terkena kasus sengketa tanah. Dia pernah menyewa advokat. Nanti aku coba tanya-tanya di kantor." "Oke, makasih banyak, Ma." Sipir itu menghampiriku. Tanpa basa-basi dia berkata, "Mohon maaf, ibu dan bapak sekalian. Waktunya sudah habis." Waktu terasa melaju amat singkat. Hingga tak terasa kebersamaanku dengan Istri dan anak-anakku telah habis. Aku tak berapa lama aku menghabiskan waktu bersama keluargaku di ruang besuk. Satu jam? Dua jam? Entahlah. Betapa singkat seperti kilat saja waktu yang kurasakan hari ini. Aku segera menyerahkan Aqila kepada Nur. Icha dan Mama pun dengan segera mempersiapkan diri. Sebenarnya masih ada hal-hal lain yang ingin kubicarakan dengan istriku hanya berdua. Namun sayang waktunya sudah tidak memungkinkan. "Oke, Pak, Pak mohon dengan sangat boleh minta waktu sebentar. Ada yang masih ingin saya sampaikan pada istri saya." Petugas itu mengangguk. "Tidak lama Pak ya, masih banyak pembesuk lain yang mengantre." Aku menatap istriku. Istriku sudah sangat paham. "Teteh sama Nur, duluan masuk mobil ya. Mama masih ada perlu sebentar dengan Ayah," ucap istriku. Tanpa protes, Icha menurut. Namun sebelum keluar ruangan itu, dia menyerahkan wadah makanan yang tak tadi belum berminat kubuka. Selain wadah makanan dia juga memberikan sebuah kardus yang belum kuketahui isinya. "Jangan lupa dihabiskan, Ayah," kata Icha. Aku menerimanya, "Iya, pasti, makasih banyak, Teteh." Dia segera keluar bersama Nur yang memangku Aqila. Di ruangan itu tinggal kami bertiga. Aku masih canggung jika masih ada orang lain. "Pak bolehkah jika kami bicara hanya berdua? Mohon maaf, semoga berkenan." Petugas itu terlihat berpikir sebentar. "Harap kerjasamanya Pak. Antrean masih banyak. Satu menit saja." "Baik, Pak. Terima kasih banyak." Petugas itu meninggalkan ruangan. Sementara aku menatap istriku. Istriku menghindari tatapanku. Aku sudah tahu karakternya. Dia sebenarnya memendam kekesalan padaku. Hanya saja dia tidak pernah mengeluarkannya secara verbal. "Mama, waktunya tidak banyak. Aku tidak bisa mengatakan banyak hal, kecuali hanya memohon maaf pada Mama. Aku sudah mengecewakan Mama, dan juga mengkhianati Mama." Istriku diam. Dia tak merespon. Namun kulihat bibirnya bergetar. Keduanya matanya seperti mencoba menahan tangis yang nyaris tumpah. Dia berbicara dengan terpotong-potong, "Aku sudah tak memikirkan diriku lagi. Aku hanya memikirkan masa depan anak-anak." Jawabannya membuat aku tambah berdosa. Apakah dia tidak murka padaku? Apakah dia sudah kehilangan cintanya untukku? Aku menggenggam jemarinya yang lentik tak berdosa. Sementara tanganku berlumuran dosa. Aku merasa tak berguna, seperti ribuan bahkan hingga milyaran kata permohonan maaf padanya takkan mengubah keadaan. Takkan mengobati perih dan luka dalam hatinya. Aku kecup tangannya, lalu berkata "Mama, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya," ucapku lirih. * Bu Euis Aku sudah menghubungi Pak Bayu dia sudah memberikan contact person advokat itu. Aku juga sudah ketemu dan menjelaskan kasus yang menimpa suamiku. Tapi jujur saja aku tidak berharap banyak pengacara itu bisa memudahkan kasus suamiku. Aku sendiri lebih memilih biarkan saja kalau memang suamiku bersalah. Biarkan dia menebus kesalahan yang telah dia perbuat. Malam itu aku mengumpulkan Icha dan Afdan. Sementara Aqila sudah kutidurkan di kamar. Aku ingin mempersiapkan mental anak-anak tentang kondisi saat ini yang tidak membuat mereka nyaman. Aku duduk di ruang di sofa ruang keluarga. Icha muncul tak lama kemudian. Kulihat Icha duduk dengan wajah yang terlihat sangat serius. "Afdan belum ke sini, tolong panggil dia, Teh?" Icha menurutiku. Dia melangkah, lalu mengetuk pintu kamar Afdan. Lama pintu kamar itu tidak dibuka. Icha mengetuknya lagi beberapa kali sambil memanggil nama adiknya. Afdan keluar dengan bermalas-malasan. Dia memang telah berubah sejak ayahnya dipenjara. Aku ingin sekali mengetahui kenapa dia bisa begitu, sayangnya dia banyak menutup diri. Sebagai ibunya, aku tidak diberi ruang untuk bisa memahami perasaannya. Afdan dan Icha menghampiriku di ruang keluarga. Setelah mereka berdua, duduk aku langsung bicara to the point. "Anak-Anak, mama tahu ini berat buat kalian. Berat juga buat mama. Aku harap kita tetap bisa kompak menghadapi ini semua." "Iya, Ma, aku akan selalu berada di samping Mama," sahut Icha. Sementara Afdan masih terlihat cuek. Aku rasa dia mendengar tapi pura-pura tidak mendengar. Entahlah dia seperti menciptakan dunianya sendiri dan membuat penghalang yang tak terlihat oleh kami. Dia seperti menganggap kami tak pernah ada walaupun jelas-jelas ada di hadapannya. "Mungkin ke depan, semua kekayaan kita miliki akan habis karena kasus yang menimpa ayah. Bahkan Mama merasa, rumah ini akan disita." "Maksud Mama?" bentak Afdan. Sekalinya keluar kata-kata, langsung mengagetkan. Ada apa dengan anak ini. Ya Tuhan! Afdan. "Entahlah, Mama pikir, kekayaan Ayah akan habis digunakan untuk menebus kesalahannya. Kekayaan sepertinya akan digunakan untuk membayar denda yang mama sendiri belum tahu sebesar apa." "Aku sih ikhlas aja, Ma," Icha menurunkan volume suaranya jauh lebih rendah. "Allah tidak akan menganiaya dan menyia-nyiakan hambanya. Insya Allah Icha akan berjuang untuk lebih baik. Icha juga udah lulus kuliah. Semoga dalam waktu dekat bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa membantu meringankan beban mama." "Luar biasa, Teteh. Makasih, sayang. Mama bangga sama Teteh," ucapku sambil tersenyum. "Dan juga Afdan," lanjutku sambil melirik putraku. Aku tak ingin dia merasa hanya kakaknya saja yang dipuji. Hanya itu yang kusampaikan kepada anak-anak. Icha kembali ke kamar. Sementara Afdan, ketika dia beranjak dari tempat duduknya, Aku menahannya. "A, tunggu sebentar. Aku ingin ngobrol sama Aa." "Udahlah Ma, aku udah ngantuk pula..." tolak Afdan. Dia masih tetap berdiri. Masih enggan untuk duduk. "Duduklah sebentar A," pintaku. Meskipun agak lama dan bermalas-malasan, Afdan akhirnya mau juga dia duduk. Aku berhadapan dengannnya. Aku menatapnya lekat. Kuusap bahunya dengan lembut penuh sayang. "Aa, di kampus baik-baik saja kan?" "Baik-baik saja gimana sih, maksud Mama?" "Akhir-akhir ini, mama merasa Aa seperti sedang punya masalah. Mungkin mama bisa bantu, ayo ceritakan saja." "Udahlah, Mama jangan sok-sok perhatian sama Aa," ucapnya. Aku merasa tersinggung dengan kata 'sok-sok perhatian', padahal aku benar-benar jujur sangat memperhatian dia. Tapi aku coba sembunyikan rasa ketersinggunganku. Niatku hanya untuk menggali apa sebenarnya dia rasakan dan alami. "Aku nyesel punya orang tua kayak Ayah. Aku malu, Ma," teriak Afdan, "Aku malu mengapa punya ayah seorang koruptor." Ucapan anakku sangat menusuk hati. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku tidak punya s*****a untuk menangkis ucapannya. Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Aa juga malu jika orang-orang tahu Aa anak mama?" "Jangan memperlebar topik Ma. Ayah dan mama berbeda. Siapa yang bilang begitu?" Aku bangkit mendekati anakku. Aku peluk dia erat-erat. "Maafkan mama, Nak," ucapku lirih. Aku terus memeluknya. Kurasakan tubuhnya bergetar. Apakah dia menangis? Dia mencoba berontak melepaskan pelukanku, tapi aku tidak akan pernah melepaskannya. Kudengar dia terisak-isak dalam pelukanku. * Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD