Vonis

1060 Words
Pak Cecep Malam itu, perutku mulai keroncongan. Aku melirik wadah makanan dari keluargaku yang kusimpan di atas lemari kecil tempat menyimpan pakaian. Aku mencoba membukanya. Menu makanan di wadah itu sesuai sekali dengan seleraku. Ada nasi, udang crispy, lalapan daun pakis, goreng tahu dan sambal goreng tomat. Ada juga kue-kue kering yang mungkin cukup awet sampai seminggu ke depan. Lumayan buat cemilan. Ada keripik singkong, wafer, dan lain-lain. Kulirik juga sebuah kardus yang belum sempat kubuka. Aku merasa penasaran apa isinya. Setelah kubuka, ada beberapa potong pakaian, sarung, handuk, dan peralatan mandi. Cukuplah buat ganti baji sehari-hari. Aku akan masukan nanti ke dalam lemari setelah makan. Aku mulai menyuap sedikit demi sedikit nasi dan udang crispy. Rasa laparku terobati. Namun pikiranku tetap tak bisa rileks. Aku mendapatkan informasi tentang masa persidanganku yang akan dilaksanakan pekan depan. Aku merasa bingung apa yang harus kupersiapkan. Aku tak punya persiapan apa-apa. Aku merasa benar-benar buntu. Aku merasa tak yakin, meskipun istriku telah mengusahakan kuasa hukum seperti yang kuminta saat siang tadi. * Hari-hari yang kulalui mulai menjemukan sekaligus memuakkan. Tak ada satu pun menurutku yang menyenangkan. Selera makanku sama sekali belum normal. Aku mendapatkan jatah makan tiga kali sehari. Menu makanan yang kuterima nasi dengan sayuran, ikan, tahu dan tempe. Semuanya tak membuatku berselera. Tetapi aku tetap memakannya karena tidak ada lagi yang bisa kumakan selain yang disediakan oleh petugas. Satu-satunya momen makan yang paling kunikmati selama di sini adalah makanan kiriman keluargaku. Dan entah kapan aku akan mendapatkan makanan senikmat yang kudapatkan dari keluargaku lagi. Selama menunggu masa persidangan, aku banyak melamun. Jika waktu shalat tiba, aku dan tahanan lain diarahkan ke masjid aku berangkat dengan bermalas-malasan. Fisikku shalat, tapi hati dan pikiranku tak merasa melakukannya. Kadang-kadang kalau lagi malas, aku habiskan waktu hanya melamun di toilet hingga sampai durasi untuk menunaikan shalat. Aku tidak merasakan nikmatnya beribadah meskipun beberapa kali kulihat ada beberapa tahanan lain yang terlihat rajin berjamaah, membaca Al-Qur'an dan mengikuti kajian Islam di masjid. Malam ini aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Aku membayangkan masa-masa indah yang pernah kulalui dalam perjalanan hidupku. Momen-momen paling membahagiakan dalam kehidupanku adalah saat menikah dan menyambut kelahiran anak-anakku. Aku merasa tak enak berbaring. Aku bangun. Kutatap langit-langit. Fokus mataku tak jelas melihat apa. Kusandarkan punggugku ke dinding. Sensasi dingin dari tembok menjalari kulit punggungku. Aku rentangkan kedua kakiku. Pernikahanku dengan Euis terbilang sederhana. Istrikulah yang menginginkannya karena saat itu dia baru saja bekerja, dan tidak punya banyak biaya. Sebenarnya aku merasa tidak keberatan jika aku yang menanggung semua biayanya. Tetapi Euis kukuh pada pendiriannya.  Lagi pula saat itu, dia tidak mau dipandang sebelah mata oleh keluargaku jika semua biayanya ditanggung olehku. Maklum saja, orang tuaku tidak terlalu setuju menjadikannya menantu. Mereka sudah punya pilihan calon menantu yang sama-sama satu kampung denganku.  Bahkan, dia satu kelas denganku. Namanya Ela. Namun hatiku ceritanya sudah terlanjur menentukan pilihan. Hatiku cenderung pada Euis yang lebih berpendidikan dan tipe perempuan pejuang yang kuat dan mandiri. Perlu perjuangan yang tidak gampang untuk meyakinkan orang tuaku terhadap pilihanku sendiri. Mereka meminta syarat, pernikahannya tidak usah dirayakan dengan meriah. Cukup dengan ijab-qabul saja. Klop. Sesuai dengan keinginan Euis.  Akhirnya aku mendapatkan persetujuan. Aku pikir tidak masalah seperti itu meskipun aku tahu tujuan mereka tidak dirayakan mengandung arti mereka belum bisa menerima dengan ikhlas calon menantunya itu. Pernikahan kami tidak dilangsungkan di keluarga mempelai perempuan, melainkan di rumah keluargaku di kampung. Setelah menikah aku memboyongnya langsung ke rumah yang sudah ke beli beberapa tahun yang lalu. Hanya kosong dua bulan, istriku kemudian berbadan dua. Kelahiran anak pertama menambahkan kebahagiaan kami. Annisa alias Icha. Dia perempuan yang saat kelahirannya membuatku tak bisa tidur. Maklum melahirkan anak pertama. Meskipun istriku seorang dokter, tetap saja ketika mau melahirkan mah jadi pasien. Dari pagi sampai menjelang pagi lagi, pembukaan rahimnya tak juga bertambah, tetap saja di pembukaan satu. Istriku nyaris putus asa. Dia seakan-akan tidak bisa melahirkan dengan normal. Hampir saja aku memutuskan untuk melahirkan dengan cara cesar saja. Namun sebelum memutuskan, itu istriku menolak, dengan telaten dan sabar dia berjalan, melangkahkan kaki supaya pembukaan rahimnya segera bertambah. Icha adalah perpaduan antara aku dan ibunya. Wajahnya mirip dengan ibunya, sementara mata dan hidungnya mewarisi genku. Setelah kelahiran Icha, orang tuaku berubah. Dia jadi lebih menyayangi cucu sekaligus menantunya. Aku bersyukur karena kini, istriku sudah mendapatkan tempat di hati orang tuaku. Menginjak anak-anak, aku dan istri karena belum banyak pengalaman menjadi orang tua sering khawatir kalau Icha sedikit-sedikit demam. Aku suka cemas karena Icha anakku yang pertama. Aku sangat memperhatikan benar-benar makanan, pakaian dengan segala keperluannya. Orang tuaku dulu di kampung sering menceritakan saat aku masih kecil, kebutuhan s**u formula saja tidak terpenuhi. Saat bayi, aku tak pernah mengecap s**u formula, cukup hanya dengan ASI.  Karena hidup di kampung serba sulit, sering kali pakaian pun mengenakan bekas pemberian tetangga atau kerabat. Mainan pun juga tak pernah terbeli. Kalau pun punya uang, mereka lebih menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan prioritas, seperti beli lauk pauk, beli pupuk, membayar tukang cangkul, dan sebagainya. Aku tidak ingin anakku mengalami nasib yang sama seperti ayahnya. Maka dari itu, Icha dirawat dengan sangat baik. Karena istriku tetap bekerja, kami menyewa babysitter. Tidak hanya Icha, anak-anakku yang berikutnya pun didampingi oleh babysitter. Ketika remaja, Icha menjadi anak yang sangat aktif. Di sekolah dia tidak hanya pintar di kelas, tapi juga jago berorganisasi. Bahkan saat di SMP dan SMA, dia terpilih sebagai ketua OSIS. Aku sangat bangga sebagai ayahnya. Siapa yang tidak bahagia, dianugerahi seorang putri yang cerdas. Saat dia kuliah, aku mulai melihat perubahan drastis pada dirinya. Dia memutuskan untuk berjilbab. Aku lihat dia memang banyak bergaul dengan teman-temannya yang mengenakan kerudung dan bergamis.  Awalnya aku merasa khawatir. Takut dia direkrut oleh organisasi Islam radikal dan teroris. Yang kutahu dari berita-berita di televisi, jilbab lebar dan gamis kerap diidentikan dengan citra negatif semacam teroris, perakit bom hingga rela melakukan bom bunuh diri. Dalam kesehariannya, kulihat Icha tidak ada yang berubah, bahkan dia jauh lebih menghormati dan memuliakan orang tua. Sikapnya makin tambah lembut. Nilai-nilai kuliahnya tidak ada yang jeblok. Intinya tidak ada yang salah dengan jilbab dan gamis yang dipakainya. Aku jadi sangsi pada pemberitaan di media. Jangan-jangan itu stereotip yang sengaja dipaksakan.  Bisa saja ada kejadian kasuistik, dimana orang berjilbab terlibat dengan jaringan teroris. Bisa saja itu terjadi, menurutku. Namun sayang jika itu digeneralisasi. Menurutku, itu sangat berbahaya dan menjadi fitnah. Aku bicara seperti ini karena menyaksikan putriku sendiri tidak demikian. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD