Tinggal Menunggu Hari

1058 Words
Bosan bersandar pada dinding, kurebahkan tubuhku di atas kasur. Kepalaku menindih bantal. Kini posisi badanku terlentang. Pandanganku tak berhenti menatap langit-langit ruangan. Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan langit-langit itu. Namun di sana aku menemukan bayangan anak keduaku. Afdan lahir, sepulang kami dari Kuala Lumpur. Aku dan istriku ke sana sekadar untuk jalan-jalan melepas penat dari rutinitas pekerjaanku di dunia politik. Kelahiran Afdan sangat unik. Dia terlahir prematur dalam usia 7 bulan. Dia sempat terkena penyakit kuning, tapi semuanya bisa diatas. Kami merawatnya lebih telaten lagi. Meskipun terlahir sebagai bayi yang tidak normal seperti bayi lainnya, kami tetap mengharapkan dia bisa melewati masa-masa tumbuh kembangnya dengan baik. Wajah Afdan sangat mirip dengan ibunya. Tapi rambutnya yang lurus itu warisan dari genku. Sejak kecil, Afdan menampakkan rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Nyaris kami kewalahan menjawab semua pertanyaannya. Kewalahan kami melebihi tantangan kami menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kakaknya. Sejak dari SD, Afdan mulai menjadi siswa yang bandel. Di kelas dia banyak mendominasi teman-temannya. Bukan mendominasi dalam prestasi, melainkan dalam membuat keonaran. Sebenarnya kalau dia rajin, nilainya bisa jauh lebih baik, hanya saja dia orangnya malas belajar. Begitu juga ketika dia menginjak SMP hingga SMA. Selama di SD hingga SMA berkali-kali aku dipanggil pihak sekolah karena ulah Afdan. Aku stress menghadapi kenakalannya, sementara orang yang melakukannya malah terlihat santai tanpa beban dan tanpa merasa berdosa. Kini dia baru memasuki dunia kampus, aku tak tahu apakah dia akan begitu juga. Aku berharap semua prilaku negatif yang ada padanya hilang seiring dengan bertambahnya usia dan juga kedewasaannya. Afdan sebenarnya punya satu orang adik laki-laki, tapi meninggal saat usia tiga bulan. Anak itu kuberi nama Addin. Dia meninggal mendadak akibat kadar neurotransmitter serotonin di batang otaknya rendah. Aku merasa tahun ini, nasibku benar-benar s**l. Aku menghujat Tuhan. Di tahun yang sama, setelah meninggal anak kami yang ketiga, beberapa bulan berikutnya musibah menimpa orang tuaku. Kematian mereka susul-menyusul dan terhalang hanya beberapa bulan. Bapakku meninggal lebih dahulu. Dia meninggal setelah makan sate kambing. Tekanan darah tingginya naik. Sementara ibuku sangat sedih setelah ditinggal Bapak. Sejak saat itu dia jadi sering sakit-sakitan hingga, maag kronisnya kambuh hingga akhirnya meninggal. Karena peristiwa yang beruntun itu, aku mengalami depresi. Rasanya hampir sama dengan kondisi yang kualami sekarang. Mungkin sekarang pun aku mengalami depresi meskipun tidak separah dahulu. Ditinggalkan orang-orang tercinta sangat berpengaruh terhadap pekerjaanku dan juga hubungan rumah tanggaku. Untung istriku mampu membuatku sadar dan menerima kenyataan dengan berlapang d**a. Aku mampu bangkit dari rasa kehilangan dan membuang duka yang menghantuiku. Setelah kedua orang tuaku meninggal aku jarang pulang kampung. Ke kampung hanya setahun sekali saja. Jika mereka masih ada, biasa saat lebaran dan jika anak-anak libur sering ke kampung. Di kampung aku bertemu dengan kedua kakakku, Tatang dan Dadang. Kedua kakakku itu bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah mereka tahu kondisiku? Keterlaluan jika mereka tahu tetapi tidak menjengukku. Kuubah posisi tubuhku. Kubaringkan dengan posisi menyamping ke arah kanan. Mataku menatap dinding di hadapan. Tiba-tiba muncul perlahan bayang wajah Aqila. Si bungsu yang kelahirannya sangat kunanti-nanti. Dialah penghibur sekaligus pengganti kakaknya yang meninggal. Juga menghiburku dari kesedihan ditinggal kedua orang tuaku. Udara malam terasa semakin dingin. Kedua mataku kini terasa berat. Perlahan mataku terpejam hingga tak ingat lagi apa-apa. * Aku duduk dalam posisi sebagai terdakwa. Wajahku tertunduk. Sebelum persidangan dimulai, sempat kulihat sekilas istriku dan Icha. Mereka berdua duduk di bagian paling depan. Tapi tak kulihat Afdan. Kemanakah dia? Aku juga tak melihat kedua kakakku dari kampung datang. Aku kecewa mereka tak datang. Sesibuk apakah mereka sehingga tak menyempatkan diri datang. Jaksa penuntut umum sudah menyampaikan atas kasus yang menimpaku. Dunia terlihat gelap. Tak ada ada terang menyinari jalanku. Aku berada di ambang kehancuran. Karir politik yang dulu kupuja dan kupuji kini tinggal kenangan. * Beberapa hari yang lalu, aku sudah ketemu Pak Hendra Batubara yang menjadi kuasa hukumku. Istriku yang mempertemukan aku dengannya. Di hadapan Pak Hendra aku sampaikan pembelaanku. Pak Hendra mencatat apa yang kusampaikan dan dia tulis menjadi pledoi. Hari ini, dalam forum sidang dia bacakan pledoi itu. Aku menyimaknya dengan perasaan cemas. Muncul pula harapan mengenai hukuman yang nanti kuterima bisa mendapatkan keringanan. Seminggu kemudian, sesuai dengan nota pembelaan, Pak Hendra menyebutkan bahwa aku tidak pernah meminta dana dari PT. ABC dan perizinan perusahaan tersebut untuk membuka usaha sudah melalui prosedur yang benar. Setelah Pak Hendra selesai membacakan, aku memejamkan mata saat jaksa penuntut umum menolaknya dan ketua majlis hakim mengabulkan penolakannya itu. Sungguh, jantungku seperti terlepas dari tubuhku. Aku sudah tak punya harapan. Ini kiamat untuk karir politikku. * Beberapa saat lagi, ketua majelis hakim akan menetapkan vonis hukuman yang atas kasusku. Sudah sangat jelas aku dinyatakan menerima suap dari PT. ABC. Tubuhku bersimbah keringat. "Saudara Cecep, Anda telah mendengarkan uraian jaksa penuntut umum seminggu yang lalu. Sehari yang lalu, kuasa hukum Anda menyampaikan nota pembelaan. Kami menilai pledoi yang dibacakan tidak tidak memiliki dasar yang jelas. Karena itu kami menolaknya," jelas Pak ketua majelis hakim. Aku menunduk. Ruangan hening. Aku menunggu kalimat selanjutnya. "Anda terancam Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Anda telah menyalahgunakan wewenang Anda untuk meloloskan izin usaha PT. ABC. Oleh Karena itu, Anda dituntut hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda sebesar 250 juta rupiah." Ketua majelis hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali. Aku tertunduk. Keringat dingin menjalari sekujur tubuhku. Inilah hukuman yang harus kuterima akibat kejahatanku. Aku harus menanggung dosa ini. Tak hanya aku yang menanggung dosanya, tapi juga anak dan istriku. Nota pembelaanku sudah ditolak. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku mencoba berdiri, lalu berteriak sekuat tenaga. "Keberatan yang mulia. Hukuman ini terlalu berat. Ini tidak adil. Sungguh ini tidak adil. Masih banyak koruptor di luaran sana yang belum ditangkap. Jumlah uang yang mereka curi jauh lebih banyak dibandingkan saya. Ini tidak adil karena masih banyak para koruptor mereka dijatuhi hukuman hukuman penjara sangat sebentar dan dendanya pun sangat ringan. Besaran denda mereka juga terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah harta yang mereka curi. Bagaimana keluarga saya nanti? Bagaimana keluarga saya nanti?" Aku terus meracau. Namun ucapanku tidak digubris. Vonis sudah dijatuhkan hakim. Aku merasa diperlakukan tidak adil. Apakah memang hukum di negeri ini sengaja dibuat untuk menciptakan ketidakadilan? Aku yakin para koruptor kelas kakap yang hukumannya sebentar dan dendanya sedikit itu punya trik tersendiri. Meskipun dipenjara kekayaan mereka tak pernah habis. Apakah karena hukum ini yang membuat adalah manusia sehingga sangat gampang diperjualbelikan? * Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD