Haram?! (2)

1013 Words
Icha Aku jadi tidak bisa tidur nyenyak malam ini. Masih teringat-ingat ucapan Nina tadi siang. Ya Allah, Engkaulah yang membolak-balikkan hati. Kuatkan aku untuk menghadapi segalanya. Ucapan Nina sangat membekas di hatiku, seperti silet yang mengiris-iris kulit. Apa yang dia ucapkan mungkin benar. Di dalam tubuhku terdapat darah haram karena aku dihidupi oleh ayah dengan harta hasil korupsi. Aku tidak bisa memungkiri itu, boleh jadi kebaikanku selama ini tertolak karena adalah barang haram dalam diriku. Apa gunanya ini semua, mengapa ini terjadi padaku? Ya Allah apakah Engkau menolak shalatku, puasaku, doa-doaku, dan semua ibadah yang kulakukan untuk-Mu? Aku mendengar suara diketuk. Tak lama suara kudengar suara Mama, "Teteh, sudah tidurkah?" Aku tidak merespon. Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa-siapa. Kubiarkan saja panggilan Mama tidak kujawab. Mungkin aku akan pura-pura tidur saja seandainya Mama membuka pintu. Benar saja sepertinya Mama akan masuk. Pintu memang tidak dikunci. Sebelum pintu kamar terbuka, aku segera menyembunyikan diri di balik selimut dengan posisi menyamping. Kelihatannya Mama sudah masuk. Terdengar suara pintu berderit. "Teteh.. Ah sudah tidur ya.." Diam. Hening. Tak ada suara. "Tumben.. biasanya jam segini belum tidur," Mama terdengar bicara seperti orang bergumam. Aku berpikir ada apa ya? Ya Allah maafkan aku, aku sedang tidak ingin berbicara. Moodku lagi tidak enak. Tak ada suara. Entahlah mama sedang apa. Mataku masih terpejam seolah tengah tertidur pulas. Terdengar kembali bunyi pintu berderit. Mungkin Mama sudah keluar. Alhamdulillah, kelihatannya ingin berbicara sesuatu. Aduh maafin Icha, Ma. Icha belum siap. Nanti saja. Suasana perasaan Icha lagi kacau balau begini. Aku membuka mata. Kembali teringat ucapan Nina. Dan setiap kali mengingatnya, hati ini semakin perih. Ya, Allah aku berharap ini tidak menjalar kemana-mana. Aku juga tidak berhak membenci Nina. Kami berdua adalah teman baik. Ya Allah, jagalah kami dalam kebaikan. Semoga kami disatukan dalam ikatan persahabatan yang kuat karena-Mu. Menit-menit berlalu. Satu jam berlalu. Malam semakin. Mataku belum merasa ngantuk sedikit pun. Jam di dinding kamar menunjukkan beberapa menit lagi tepat pukul 12 malam. Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu. Aku duduk sejenak. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu. Aku keluar kamar. Aku pergi ke kamar mandi, membasuh muka dengan air wudhu. Aku tunaikan shalat Syukrul Wudhu, dan shalat sunnah Mutlaq beberapa rakaat. Di sepertiga malam nanti aku berharap bisa bangun, menunaikan Tahajud dan Witir. Di sepertiga malam nanti aku ingin mengadu dan meminta dimudahkan segala urusan, termasuk mendapatakan jodoh dan pekerjaan. Setelah menunaikan shalat aku mengambil buku untuk mengundang rasa kantuk. Aku baca buku Laa Tahzan karya Aidh Al-Qarny. Semoga dalam lembaran-lembaran bukunya, aku temukan obat untuk perasaan yang mengujiku saat ini. Semoga ... * Seminggu Kemudian Aku membantu Mama di dapur menyiapkan sarapan. Menu sarapan sekaligus untuk makan siang, aku masak sayur bayam dan oreg tempe. Semuanya sudah matang. Aku menyiduk secentong nasi, oreg tempe dan sayur bayam. Aku bawa sarapan ke ke dalam rumah. Saat menikmati sarapan, mama juga menghampiriku. Dia sudah berpakaian rapi karena sebentar lagi mau berangkat kerja. Dia juga membawa sepiring nasi. Sambil makan, Mama memulai percakapan pagi itu. "Cha, hari ini mama lembur ya." "Iya, Ma. Oh iya, kalau Aqila nggak dibawa juga nggak apa-apa, nanti diasuh sama aku aja." "Oh gitu, tumben Cha seminggu ini kamu pengen terus ngasuh Aqila..." "Ya lagi pengen aja... Mumpung belum dapat kerjaan, puas-puasin bersama Aqila." "Nggak ada kegiatan di kampus. Seminggu ini kamu nggak ke kampus. Padahal meskipun sudah wisuda biasanya Teteh ada saja agenda ke kampus." "Nggak ada Ma..." "Nggak ada apa-apa kan, Teh?" "Beneran ni?" Mama menyipitkan matanya. Dia menatapku seolah-olah ingin membaca pikiranku. "Jangan bohong, Teh. Mama perhatikan beberapa hari ini, Teteh kayak gelisah. Ayo cerita dong, Teh," Mama mendekatiku. Aku menyelesaikan suapan terakhirku dulu. Tak lama kemudian aku berkata, "Ada sedikit, Ma. Sepertinya nggak penting-penting banget sih, Ma. Insya Allah Icha bisa selesaikan sendiri, nanti kalau merasa mentok, baru Icha akan cerita ke Mama." "Nah, gitu dong, Teh. Kalau kayak gini mama jadi tidak khawatir. Mama yakin Teteh akan bisa mengatasi semuanya. Pasti akan ada jalan keluarnya. Dan kalau pun belum, ceritalah pada mama, supaya meringankan pikiran Teteh. Masalah apa karena jodoh dan pekerjaan?" "Hehe.. ya. Itu termasuk Ma..." Mama menyuap lagi nasi. Tidak ada percakapan lagi. Setelah suap terakhir, Mama berkata lagi, "Mama berangkat dulu, kalau gitu, jaga Aqila baik-baik ya, sayang." "Siaap, Ma," seruku sambil mengangkat telapak tangan ke pelipis, seperti menghormat kepada pemimpin upacara. Mama terkekeh dengan tingkahku. * Suara salam terdengar dari luar. Aku yang sedang bermain di kamar dengan Aqila keluar untuk melihat siapa yang datang. "Waalaikumussalam." Saat kubuka pintu, aku merasa mendapatkan kejutan yang membuatku bahagia. Sahabat terdekatku rupanya. "Ya Allah, Lina. Kenapa nggak ngabarin dulu mau ke sini." Aku merangkul Lina, biasa cipika-cipiki. "Aku sengaja nggak ngabarin kamu. Habisnya kamu somse sih. Nggak pernah ke kampus. Nggak pernah ke sekre. Huh mentang-mentang udah lulus. Padahal sudah lulus aja, aku tetap ke sekre." Aku menunduk. Merasa sangat malu. Aku sembunyikan wajahku. Merasa sangat berdosa. "Ayo masuk, Lin," aku membimbingnya masuk. "Tunggu sebentar ya..." Aku berlari setengah berlari ke kamar, dan tak lama kemudian kembali membawa Aqila. "Aku nggak ke kampus. Lagi ngasuh Aqila nih," ucapku ngeles. Tapi bukan berbohong kan, toh memang benar seminggu di rumah aku bersama Aqila. "Ah, kamu bohong, Cha. Itu alasanmu aja. Aku tahu, Aqila sebenarnya di daycare kan?" Aduuuh... Susah berbohong pada sahabatku yang satu ini. Aku heran tahu dari mana dia adikku di titip ke daycare. Akhirnya aku diam. "Lin, aku mau ambil minum dulu. Mau teh atau air putih?" "Nggak usah repotin, Cha. Kalau ada semuanya aja suguhin," candanya. Aku tertawa mendengar ucapannya. "Ya udah tunggu sebentar ya, aku ambilkan dulu minum," ucapku sambil melangkah menuju dapur. "Sini, Aqilanya sama kakak main," aja Lina sambil mendekati Aqila. Aqila orangnya gampang akrab. Dia mau diajak main sama siapa pun. Apalagi Lina sebelumnya pernah bertemu dengan Aqila. Aqila menyambut tawaran Lina. Kini Aqila duduk di pangkuan Lina. Aku sendiri di dapur, mau menyeduh teh. Sudah kuambil teh celup dan kutaruh di cangkir. "Air putih aja, Cha." "Ok." Aku ambil lag teh celup. Kuisi cangkir itu dengan air putih dari keran galon. Kudengar Aqila tertawa riang. Lina menggoda anak itu sampai dia tertawa berkali-kali. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD