Haram?! (1)

1052 Words
Icha Pertemananku dengan Nina telah berubah. Dia seperti menjauh dariku. Ketemu di kampus atau di basecamp, dia lebih banyak menghindar. Aku belum tahu penyebabnya apa. Ingin sekali aku berbicara hanya berdua dengannya. Aku ingin menanyakan kenapa dia menghindariku. Aku sedang di perpustakaan. Baca-baca koran hari ini. Aku mencari-cari lowongan pekerjaan. Seperti biasa aku akan mengirimkan lamaran. Mudah-mudahan ada yang nyangkut. Aku catat beberapa alamat perusahaan dan alamat emailnya. Usai membaca koran, aku lanjutkan untuk melihat-lihat koleksi buku di rak. Kali aja ada koleksi buku baru. Aku sambangi beberapa rak buku. Aku baca satu persatu judul bukunya. Belum ada yang membuatku tertarik untuk membaca lebih jauh. Beberapa buku aku coba ringkasannya di cover belakang. Aku lihat-lihat juga daftar isinya. Saat aku hendak mengambil satu judul buku, aku terhenyak dengan sosok di hadapanku. Jarak aku dengan hanya terhalang rak dan jejeran buku. Mata kami beradu. Dia terlihat menunduk. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. "Nina, Alhamdulillah, akhirnya Allah mempertemukan kita di sini." Nina tidak merespon, dia diam dan memalingkan muka. "Nin, tolong, bisakah kamu meluangkan waktu sejenak. Aku ingin bicara sebentar. Please, bentar aja." Nina mengambil hape di sakunya. Entahlah mungkin dia melihat jam di hapenya. "Boleh, mau ngobrol di mana? Tapi 5 menit aja bisa?" Aku mengangguk, "Di meja sana aja," aku menunjuk meja baca, "Mumpung lagi kosong." Aku lebih dulu menghampiri meja baca. Setelah duduk kulihat Nina melangkah mendekati meja. Tatapannya lebih banyak menunduk. Kami duduk saling berhadap-hadapan. Yang memisahkan kami hanya meja baca yang lebarnya kutaksir mungkin sekira semeter lebih sedikit. "Nin, aku minta maaf ya, kalau selama ini punya salah padamu," kalimat itu tidak meluncur dengan lancar.  Tiba-tiba berduaan dengan sahabat yang sudah berteman empat tahunan ini terasa menjadi canggung. Aku mengambil sebuah buku di antara tumpukan buku di meja itu. Buku itu mungkin bekas dibaca orang. Aku tidak membuka buku itu hanya memegangnya saja untuk menutupi kecanggunganku. Nina masih tertunduk memainkan Hape. Dia terlihat dingin. Belum pernah aku melihat dia berubah seperti itu. Selama 4 tahun aku bersahabat dengannya, dia adalah sahabat yang ramah dan perhatian. Aku menunggu ucapan yang keluar dari mulutnya. "Sudahlah, Cha. Tidak usah ngomong begitu. Aku jadi tidak enak hati." "Enggak Nin, kamu berubah semenjak kita ikut pelatihan. Apa karena kamu mendapatkan berita ayahku tersandung kasus korupsi?" Nina terdiam. "Baiklah, sekarang aku akan terbuka padamu. Lebih baik terbuka daripada satu sama lain saling curiga. Dan maaf jika ucapanku nanti sangat menyakitimu," ucap Nina. "Tidak masalah," balasku. Aku menyiapkan diriku untuk menyimak ucapan Nina selanjutnya. "Terlepas dari subjektivitasku. Aku mungkin terlalu melebih-lebihkan semuanya. Sekali lagi mohon maaf, Cha. Berita tentang kasus ayahmu sebenarnya hanya sebagian kecil yang menggenapkan kenapa aku berubah sikap padamu." Nina menghirup napas. "Kalau dibanding-bandingkan, aku tidak apa-apanya dibandingkan dirimu. Kamu memiliki segalanya. Keluarga kaya, tinggal kota, sementara aku anak desa dari keluarga petani sederhana. Aku kagum denganmu. Dengan kelebihan yang kamu miliki kamu bisa memaksimalkan dan menggunakannya untuk kepentingan dakwah. Kamu gunakan rezeki yang kamu miliki untuk bisa menghidupkan organisasi sehingga jauh lebih baik. Bahkan aku juga tidak akan pernah lupa, jika aku mengalami kekurangan uang, aku sering meminjam padamu. Dan beberapa kali, kamu membebaskan hutang-hutangku. Jika ada acara-acara yang rutenya jauh aku sering ikut nebeng tumpangan kendaraan. Atau jika tidak ikut nebeng, kamu suka bantu aku ngasih ongkos angkot atau bus. Kebaikanmu itu sampai kapan pun takkan pernah kulupakan. Tapi mohon maaf, hanya saja aku manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan. Aku sadar seharusnya, masalah perasaan tidak boleh diutamakan. Sikap, perasaan, atau perilaku kita harus tunduk pada hukum syara. Namun sayang untuk hal ini aku kelihatannya belum berhasil menaklukkan emosiku sendiri. Mungkin kamu baru tahu hal ini. Karena memang aku sengaja merahasiakannya darimu dan juga dari teman-teman kita semua. Pada bulan kita mengikuti pelatihan bisnis itu, aku sedang ..." Nina seperti ragu melanjutkan, dan inilah justru yang membuatku penasaran. "Sedang apa Nin? Lanjutkan saja tidak usah ragu-ragu. Aku berharap jika kita jujur satu sama lain, hubungan persahabatan kita ke depan bisa diperbaiki." "Aku sudah dikhitbah. Tapi prosesnya gagal. Dan yang paling menyakitkan aku mendengar ikhwan tersebut sedang melakukan taaruf denganmu." "Dari mana kamu tahu aku sedang taaruf, Nin?" "Maaf, aku tidak bisa mengatakannya," jawabnya. "Oke. Tidak masalah," ucapku, meskipun pikiranku dipenuhi tanda tanya. "Setelah itu pikiranku jadi kacau. Aku tidak bisa objektif menilaimu. Aku menilaimu negatif. Bahkan mendapat kabar berita tentang ayahmu yang dipenjara, aku merasa-sekali lagi ini pikiran negatif yang sengaja setan hembuskan padaku-itu adalah balasan Allah karena kamu sudah menggagalkan proses taaruf dan khitbah yang telah kujalani selama ini. Setelah ayahmu dihukum, aku jadi salah sangka padamu dan berburuk sangka. Aku memang salah, telah melupakan kebaikanmu dan menempatkanmu sebagai posisi tersalah karena ayahmu. Aku menganggapmu buruk karena kamu dihidupi dari harta yang tidak halal." Aku menitikkan air mata. Kata-kata Nina membuat hatiku terisis-iris. Namun aku tidak bisa membela diri dan menyangkalnya kalau sudah berurusan dengan masalah ayahku. Begitulah faktanya, apanya yang harus aku bela. Hanya saja aku masih belum bisa menerima mengapa kegagalan dia dalam proses taaruf hingga ke pernikahan dialamatkan kepadaku? "Terima kasih, Nin, kamu sudah mau bercerita hingga aku tidak bertanya-tanya lagi. Aku tidak bermaksud membela diri. Mohon maaf sekali dan ikut bersedih mengenai kegagalanmu padahal tinggal selangkah lagi menuju pernikahan. Aku memang pernah ditawari menerima CV dengan orang yang sama. Namun aku tidak bersedia karena saat itu sedang fokus-fokusnya mengerjakan skripsi dan menghadapi kasus ayahku. Semoga penjelasan saya ini bisa jadi clear. Sehingga tidak jadi fitnah dan perselisihan di antara kita." Kulihat Nina terperanjat mendengarkan penjelasanku. Setelah itu tak ada lagi percakapan. Aku sendiri tidak ada lagi yang mau disampaikan. "Tolong maafkan aku, Nin." "Aku butuh waktu dan proses untuk bisa move on. Tolong beri waktu aku untuk memperbaiki semuanya, Cha. Kamu memang orang yang baik. Maafkan aku sudah salah sangka." "Tidak masalah, yang penting kita sudah tahu masalahnya. Aku perlu waktu dan kamu juga perlu waktu. Jika pun ini pertemuan terakhir kita, semoga suatu saat kita bisa berjumpa dengan sama-sama membawa hati yang lapang dan tanpa ada kebencian." "Terima kasih. Aku pun berharap demikian. Aku rencananya memang tidak ikut wisuda. Keluargaku dari kampung tak ada yang menghadiri. Aku pun tak punya biaya untuk mendaftar wisuda. Itu juga tidak wajib-wajib amat. Jadi ke kampus lagi nanti saja jika ijazah sudah bisa diambil." Itulah kalimat terakhir dari Nina. Dia pun pamit meninggalkanku di perpustakaan. Aku terdiam sendiri untuk menata kembali perasaanku yang tidak nyaman. * Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD