Karamnya Bahtera

1295 Words
PoV Bu Euis Serasa dijatuhi batu-batu besar dari langit. Aku kehilangan kata-kata. Berbagai emosi muncul dalam waktu bersamaan, membuat perasaan ini tak jelas dan mengalami kekacauan. Kaget, tak percaya, sedih, marah, dan berbagai rasa lain yang tak bisa kusebutkan. Awalnya aku sangka, Afdan hanya menyodorkan berita politik biasa. Ya berita tertangkapnya koruptor itu berita biasa yang sudah lumrah. Media setiap hari menjejalkan berita itu kepada rakyat di negeri ini. Dan entah kenapa saban hari, bukannya koruptor makin berkurang, tapi justru, makin diungkap lebih lanjut makin terkuak para pelakuya. Aku tak ambil pusing. Berita-berita tersebut toh tidak menimpaku, suamiku atau keluargaku yang lain. Aku juga percaya suamiku tidak akan melakukan itu. Namun berita yang ada dihadapanku telah membalikkan seratus delapan puluh derajat semua hal yang telah menjadi keyakinanku. Euis, ternyata suami, koruptor yang merugikan negara, sebuah suara menggaung dalam batinku. Bukan, suamimu, bukan koruptor, tapi copet alias maling negara, ada suara lagi yang berteriak. Kudengar dengan jelas menusuk-nusuk nuraniku. Suara-suara itu memantul dan bergaung berulang-ulang hingga ruang hatiku terasa amat sesak. Sungguh aku muak. Ingin kebungkam suara-suara itu seandainya aku mampu menemukan mulut-mulut yang berteriak itu. Euis Ratna Sari, suamimu seorang maling, lagi-lagi suara itu. Omong kosong! Persetan! Menyingkirlah! Ayah? Bagaimana kamu bisa melakukan itu? Apakah aku terlalu banyak menuntut nafkah padanya? Aku rasa tidak, karena aku sendiri punya penghasilan. Aku juga bekerja. Aku tidak mengandalkan semua kebutuhan pada Ayah. Meskipun aku bersuami seorang bupati, sebagaimana sebelum menikah dengannya, aku tetap bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit swasta. Aku sangat menyukai pekerjaanku. Jadi, meskipun ayah anak-anak pernah memintaku berhenti bekerja, aku memohon padanya untuk tidak melarangku tetap bekerja. Ayah? Kenapa kamu mencoreng keluarga? Aku tak kuasa lagi menonton berita. Kini hampir semua saluran televisi menjadikanmu sebagai headline news. Tambah memuakkan lagi, kamu berdua dengan seorang perempuan di kamar hotel. Aku tak pernah mau membayangkannya. Kemana janji setiamu setelah kamu ucapkan ijab-qabul saat pernikahann kita? Wanita yang bersamamu di hotel memang cantik. Lelaki mana yang tidak menyukai perempuan cantik, muda lagi. Namun perempuan mana yang ikhlas suaminya bermesraan dengan perempuan lain di belakangnya? Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kutinggalkan Afdan yang kedua matanya masih melotot menyimak semua berita tentang ayahnya. Aku melangkah lunglai menuju kamar. Kalau tadi saat di depan televisi, air mata masih bisa kutahan biar tidak tumpah. Kini setelah sampai di kamar, kedua mataku meleleh. Kututup pintu kamar biar Afdan tidak melihatku. Ya Tuhan... Aku menangis sesenggukan di pojok kamar. Hatiku teriris-iris. Perih. * Pukul 00.30. Sejak menyaksikan berita itu, aku tak bisa tidur. Entahlah, apakah anakku juga sama denganku. Aku ingin mencurahkan perasaanku, tapi kepada siapa? Emak dan Abah sudah tidak ada. Kucoba menghubungi Icha. Jika terhubung aku ingin segera dia pulang malam ini juga. Aku ingin dia pulang, tak peduli sekalipun acara pelatihan dia masih tinggal sehari, dua hari, atau pun tinggal seminggu. Dia harus pulang. Ini darurat! Aku yakin, dia belum tahu soal ayahnya. Aku tekan nomor hape Icha. Teteh, ayo angkat, sayang. Meskipun gagal, tidak terhubung, berkali-kali aku coba hubungi lagi. Tak ada hasil. Nomornya tidak aktif. Ini anak ada apa lagi, sudah hampir seminggu nomornya tidak pernah aktif. Aqila tiba-tiba terbangun. Dia membolak-balikkan badannya berulang kali. Matanya terbuka. Tangisnya pecah. Rengekannya menggaung ke seluruh penjuru kamar. Aku segera mendekatinya. Kubenahi posisi tidurnya. Aku berbaring menyamping ke arah putri kecilku itu. Kebelai-belai rambutnya. Tak berapa lama kemudian dia tertidur lagi. Jarum detik dan menit di dinding terdengar jelas. Malam makin dingin. Waktu terus bergulir. Kepalaku berat. Tetapi mataku tak mampu terpejam. Tak ada lagi yang bisa kukatakan, kecuali... Ya Tuhan... Alur pikiranku tak jelas arahnya. Dia liar mengikuti kemauannya sendiri. Bayanganku terdampar di rentang belasan tahun bahkan puluhan tahun. Aku anak seorang petani di kampung yang tak jauh dari kawasan suku Badui. Keluargaku pas-pasan. Aku adalah anak semata wayang. Sebenarnya aku punya kakak dan adik, namun mereka meninggal saat masih kecil. Begitu cerita dari kedua orang tuaku. Meskipun dari kampung, aku terlahir sebagai perempuan cerdas. Di sekolah sejak SD, SMP, dan SMA aku selalu rangking satu dan juara umum pertama. Teman-temanku tak pernah ada satu orang pun yang berhasil menggeser posisiku sebagai juara umum pertama. Karena itu, setelah lulus aku ingin melanjutkan kuliah. Kedua orang tuaku tak mampu memberikan biaya. Hasil pertanian mereka hanya cukup untuk keperluan hidup sehari-hari. Ya namanya juga petani kecil. Namun aku tidak pernah menyerah. Keinginanku sangat kuat untuk melanjutkan kuliah. Aku pun nekad. Emak dan Bapak memberiku sejumlah uang yang cukup untuk ongkos perjalanan pulang-pergi dan uang pendaftaran mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi). Aku berangkat ke Depok sendiri. Tidak tanggung-tanggung karena aku jurusan IPA, aku pilih jurusan kedokteran. Aku punya harapan akan lulus. Minimal lulus dulu UMPTN. Aku mendapatkan info ada lembaga donor yang bisa membantu memberikan beasiswa sekaligus memberikan pembinaan jika lulus UMPTN. Lembaga inilah yang menjadi satu-satunya harapan agar impianku bisa terwujud. Singkatnya, aku lulus UMPTN, masuk salah satu perguruan tinggi negeri beken di kawasan Depok. Dan lembaga donor tersebut memberikanku beasiswa. Aku tidak menyia-nyiakannya. Aku belajar di kampus dengan serius hingga nilai-nilaiku selalu bagus. Bahkan saat wisuda, IPK yang kuraih mencapai Summa Cumlaude. Namun, di hari yang bahagia itu, aku mendapatkan musibah yang tak terlupakan. Wisudaku tak dihadiri oleh emak dan bapak. Sehari sebelum wisuda, emak dan bapak meninggal dalam kecelakaan saat berangkat ke Depok. Setelah lulus, aku diterima bekerja di sebuah rumah sakit di luar kota Depok. Aku mulai memikirkan masalah jodoh. Aku juga tidak ingin terus-terusan hidup sebatang kara. Setelah Emak dan Bapak tiada, aku ingin ada seorang pedamping hidup yang bisa kuajak berbagi suka dan duka. Aku ingin berkeluh kesah menumpahkan kepedihanku kepadanya dan berharap dia memberikanku kekuatan lebih untuk bisa tetap survive. Aku ingin menitipkan diriku padanya. Aku berharap dia memberikan penjagaan dan kasih sayangnya. Mencari jodoh agak susah-susah gampang. Mungkin kupikir, karena waktu kuliah aku terlalu sibuk belajar, jadi tak pernah ada waktu buat larak-lirik lawan jenis. Jadinya selama kuliah statusku tetap menjomblo. Ada beberapa teman lelaki sekelas yang kelihatannya naksir, suka memperhatikan dan menggodaku. Tapi saat itu aku terlalu dingin merespon mereka. Aku pikir saat itu, malah akan memecah konsentrasiku. Aku tidak mau target kuliahku terganggu. Lembaga donor menuntuk keseriusan dan komitmen penerima beasiswa. Jadi akan sangat lucu bila aku mendapatkan skorsing karena kuliah tidak selesai sesuai target. Aku memutuskan tegas untuk masalahku ini. Hidup memang harus tegas demi kesuksesan. Aku juga keras pada diriku sendiri. Suatu hari, aku sedang bertugas di rumah sakit seperti biasanya. Sesuai jadwalku, pukul sepuluh pagi, aku menghadapi beberapa pasien. Aku memeriksa mereka satu persatu dan menanyakan keluhan-keluhan mereka. Aku juga periksa tensi darah mereka. Setelah itu aku tulis resep obat untuk mereka. Seorang pasien laki-laki duduk setelah menunggu sekian lama di ruang tunggu. Dia duduk di depanku setelah dipanggil oleh rekanku seorang petugas administrasi, Bu Sita. "Baik Pak Cecep," aku panggil pasien itu, sesuai dengan nama yang tercantum di kartu registrasi. Lengkapnya Cecep Permana. "Apa yang Bapak rasakan?" tanyaku sambil sekilas menatap ke arahnya. Pasien yang ada di hadapanku, tersenyum sambil meringis. "Ini Bu," ucap Pak Cecep, "Badan saya lemas. Kepala saya pusing. Kadang mual dan kehilangan keseimbangan." Pak Cecep berbicara singkat. Dia tidak bicara lagi setelah itu. Aku sendiri belum pernah memeriksa dia sebelumnya, baru kali ini aku berkesempatan memeriksanya. "Saya periksa dulu tensi darahnya ya, Pak." Dia menjulurkan lengannya. Aku mengecek mengecek tensi darahnya dengan tensimeter. Aku lihat dia menatapku lama. Aku merasa tidak enak dipandangi terus seperti itu. "Ehm.. Bapak sebelumnya pernah berobat ke sini?" "Oh sering, Bu. Rumah sakit ini langganan saya hehe." "Biasanya Bapak diperiksa sama dokter siapa?" "Dokter Bayu. Saya sudah hubungi dia, kebetulan jadwal saya sama Dokter Bayu nggak ketemu, saya minta rekomendasi dari dia ke dokter siapa. Nah, dia merekomendasikan saya ke Ibu ... Ibu Euis ..." "Euis Ratna Sari..." sambungku. "Oh begitu. Jadi Bapak sahabatnya Pak Bayu?" "Iya, kata Dokter Bayu, saya punya gejala hipotensi. Benar begitu ya, Bu?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD