Dear, Ayah!

1365 Words
POV Afdan Sore-sore habis mata kuliah Kalkulus di kampus. Gue nggak ada acara lagi. Jadi gue langsung cabut ke rumah. Gue ambil motor gede koleksi gue di parkiran kampus. Sejak gue mulai kuliah, bokap sama nyokap udah sepakat ngasih gue kendaraan roda empat. Mereka udah beliin khusus. Nggak tanggung-tanggung, mereka berdua beliin gue produk made in Eropa. Gue udah beberapa kali bawa ke kampus. Tapi gue rasa nggak asyik. Gue lebih asyik bawa motor aja. Gue kenakan helm warna hitam. Nggak lupa jaket parasit warna biru dongker. Keluar dari parkiran, motor gede kesayangan gue membelah jalan yang tidak terlalu ramai. Biasanya perjalanan gue habisin perjalanan nyampe rumah sekitar satu jam-an. Beberapa kali di perempatan dan pertigaan, lampu merah menyala. Ups, lupa. Gue belum ngenalin diri. Kenalin Gue Afdan putra Pak Cecep, Alias Pak Cecep. Afdan Pratama Nugraha lengkapnya. Afdan itu sebenarnya nama yang lazim digunakan di Malaysia. Tapi nyokap suka nama itu. Ceritanya waktu itu, dia jalan lagi jalan-jalan sama bokap ke Kuala Lumpur. Nyokap lagi ngandung gue usia 4 bulan. Dia punya kenalan yang baik di sana. Namanya Afdan. Entah kenapa nyokap kayak ngidam suka nama itu. Ya, akhirnya pas gue brojol, nama itu disebut-sebut dan resmi digunakan di akta kelahiran gue. Gue adiknya Icha. Selisih kelahiran gue sama Icha 4 tahunan. Kalau dia sekarang di semester akhir. Gue kebalikannya, di semester awal. Kalau Icha ngambil jurusan ekonomi, gue ngambil jurusan yang menurut gue kece. Sesuai dengan harapan gue pas lulus SMA, gue milih jurusan Teknik Informatika di sebuah kampus bergengsi di kawasan Jawa Barat. Icha, nyokap, sama bokap bilang gue itu orangnya bandel. Biarin, gue gak peduli. Gue pengen jadi diri sendiri. Lagian gue tetep pede, nilai-nilai rapor gue nggak jelek-jelek meskipun nggak bisa dibilang memuaskan atau istimewa. Tapi gue sendiri ngerasa, biarin bandel yang penting pelajaran gue nggak ngecewain. Waktu di SMA gue, agak diistimewakan sama guru dan teman-teman di sekolah. Mungkin karena gue anak bupati kali ya. Guru-guru semua baik, tapi ada juga yang tegas dan hukum gue kalau menurut mereka kejailan gue udah kelewat batas. Gue pernah disuruh bersihin toilet Aula lantaran gue nggak ikut apel beberapa kali tiap hari Senin. Gue bawaanya emang males kalau ikut-ikut acara seremonial. Males berdiri panas-panasan. Gue nggak ngerti emang malas dah kalo urusan macam begitu. Di awal masa perkuliahan juga, gue udah terkenal. Teman-teman di kampus tahu kalau gue anak pejabat. Gue kadang-kadang manfaatin nama besar bokap gue buat deketin cewek-cewek yang gampang digoda. Hehe lumayan lah, buat dibawa jalan-jalan pas malam mingguan. Tapi satu hal yang agak susah gue lakuin pas kuliah. Pekerjaan ini nggak semudah gue pas SMA. Waktu SMA kan gue punya gank. Gue jadi kaptennya. Gue sama teman-teman yang anak pejabat dan polisi sering melakukan operasi malak. Target operasi kita ada teman-teman yang rada-rada unyu, lugu, sekaligus b**o. Kita ancam mereka kalau nggak ngasih dilaporin polisi atau kita buat gimana cara biar dia memiliki masalah dengan pejabat dan aparat. Kita bawa nama bokap masing-masing untuk melancarkan urusan. Nah, berhubung masa SMA udah lewat, kita udah beda-beda kampus, jadinya gank dibubarkan. * Gue nyampe rumah pas udah malam. Perut gue protes. Cacing-cacing di usus teriak-teriak. Sumpah, gue laper. Gue lari ke ruang makan. Di sana ada nyokap. "Eh, Mama," sapa gue ke nyokap yang lagi menyuap sesendok nasi. "Ikut gabung makan ah, laper banget nih," lanjut gue basa-basi. Gue mengambil dua centong nasi. Ambil sayur sop sama goreng ikan lele. Ah nikmat banget rasanya. Gue makan dengan lahap. "Teh Icha kapan pulang ya, A? ini udah seminggu kan ya?" celetuk Mama. "Bukannya belum seminggu ya, Ma. Seingat Aa, dia pulang besok. Emang kenapa sih, Ma?" "Enggak, Mama kuatir aja. Kirim pesan via messengger juga dia nggak baca. Sudah coba Mama telpon juga nggak aktif," lanjut Mama. Wajahnya sedikit berkerut. Mama emang gitu. Kalau dia mengkhawatirkan anak-anaknya, wajahnya kayak udah tua, nambah tua, mungkin 5 tahunan. Ups, jangan sampe ketahuan nih. "Tenang aja, Ma. Teh Icha, orangnya baik dan salehah kok. Dia bakalan pulang dengan selamat," ucapku mencoba menghibur Mama yang lagi galau. "Ayahmu juga, keluar kota mulu, A. Rumah ini kok sepi banget ya..." "Nggak apa-apa atuh, Ma. Keluar kota enak lagi. Ayah jadi sering bawa oleh-oleh buat kita hehe," ucapku sambil tertawa. "Ah si Aa, oleh-oleh aja yang dipikirin," bantah Mama. "Iya emang bener kan? Emang Mama nggak mau ayah bawa oleh-oleh? Ya udah oleh-olehnya buat Aa semua ya." "Ya nggak gitu dong Aa," tolak Mama, "Mama suka dibawain oleh-oleh. Tapi Mama malas ditinggal Ayah," Mama kelihatan sok manja. Ah, dasar perempuan. Udah tua juga masih aja tetep manja. Lagi-lagi ini nggak boleh ketahuan ucapan dalam hati gue ini nggak boleh ketahuan Mama. Sorry ya, Ma. "Emang Ayah keluar kota ngapain sih, Ma?" Kening Mama terlihat berkerut. Kelihatannya dia lagi mengingat-ingat. "Kata Ayah sih, dia diundang acara syukuran PT. ABC." "Enak ya, Ma. Jadi pejabat itu diundang ke sana-sini. Aa juga jadi banyak kecipratan rezeki hehe." "Ya, mudah-mudahan aja, ayah dapat rezeki lebih banyak lagi. Biar Aa bisa kuliah sampai meraih gelar doktor." Tak terasa sambil ngobrol, makanan yang gue tuang di piring sudah ludes. Ah, rasanya kok masih laper ya. Gue pun mengambil lagi secentong nasi lengkap dengan menu sebelumnya. Nggak apa-apa kali. Emang gue masih dalam masa pertumbuhan lagi. Jadi maklum bin wajar saja ya makannya banyak. Mama keluar dari ruangan itu mendengar tangisan si kecil Aqila. Gue makan sampai benar-benar kenyang. Setelah itu baru ke kamar. * Tiba-tiba gue ngerasa bosan di kamar. Lagi males main games. Gue nyalain televisi di kamar. Tapi gue matikan lagi. Nggak tahu kenapa jadi bosen tinggal di kamar. Gue pun keluar, kaki melangkah menuju ruang keluarga. Mau ngapain ya? Gue pun selonjoran di sofa berwarna biru. Ah ada tumpukan majalah. Majalah wanita koleksi mama. Bukan selera gue. Gue serasa mati gaya. Ah, tangan gue ambil lagi remot kontrol. Televisi layar LED di hadapan gue pun menyala. Klik ... Acara reality show. Menyebalkan! klik ... Sinetron nggak mutu. Nggak ada manfaat! klik ... Ajang pencarian bakat. Ah lebay! Gue pencet nomor sembarang beberapa saat kemudian. Klik... Berita. Gue lihat sekilas. Kasus koruptor. Ah terlalu sering. Negeri ini sudah kesohor negeri para maling. Eiit tunggu... tunggu. Kok... Ada ayah. Narator berita dengan jelas menyebutkan nama ayah tertangkap tangan di sebuah hotel. What? Sure? Serius bokap gue koruptor? Gue terus simak berita hingga tuntas. Pembawa acara menyebutkan, Pak Cecep tertangkap tangan menerima suap sejumlah 5 milyar dari PT. ABC agar perusahaan tersebut bisa beroperasi mengelola energi panas bumi di kawasan Gunung Jati. "Mama! Mamaaa!" teriak gue kayak orang kerasukan setan. Mama sama sekali tidak menyahut. Mungkin dia sudah tidur. Meskipun teriakan gue udah keras tetap saja nggak kedengaran. Gue gedor-gedor pintu kamarnya tetap aja nggak nyahut. Gue pun nekad buka pintu kamar Mama. "Mama, ayah ... lihat.. itu di tivi.." Mama yang tengah tertidur ngelonin Aqila terperanjat. "Ssst... pelan-pelan dong, Aqila nanti bangun lagi," mama bicara dengan berbisik pelan. Dia terbaring menyamping menghadap Aqila yang sudah memejamkan mata, tubuhnya terlentang. "Ma, ini gawat, Ma..." Gue tak sedikit pun menurunkan volume suara gue. Lagi-lagi mama menegurku. Dia menegakkan jari telunjuknya di kedua bibirnya. "Maksud kamu, gawat gimana, A?" "Aduuuh ... udah ke sana aja,lihattivi langsung." Mama pun bangun, dia mengikuti langkahku ke ruang keluarga. Padahal gue pikir sebenarnya bisa aja nyalain tivi di kamar Mama. Tapi gue kasihan sama si kecil Aqila, takut dia bangun lagi. Untung, saluran televisi itu masih memberitakan Ayah. Jadi gue nggak perlu ngomong ba-bi-bu lagi certain ulang sama Mama. Mama menyimak beritanya. Usai pemberitaan di saluran televisi nasional itu, aku pindahkan ke saluran televisi lain. Beberapa teleivisi masih jeda iklan. Jadi gue lewat-lewat aja. Gue coba cari channel berita. Klik... Nah lagi Breaking News. Waww.. tepat sekali. Breaking News itu kembali memberitakan ayah. Kulihat ayah memasuki mobil petugas. Dia tebar senyum kepada awak media. Di samping kanan-kiri dan belakangnya ada petugas. Ada juga gadis seksi yang wajahnya terlihat menunduk. Bener-bener gila. Masih sempat-sempatnya tebar senyum dan pesona. Jangan-jangan ayah udah nggak punya muka atau saraf kemaluan eh.. malunya sudah terputus kali ya. Gue nggak nyangka Ayah bisa sejahat itu. Dulu gue anggap korupsi itu jauh dari keluarga gue. Ternyata hari ini, kenyataan berkata lain. Kulihat Mama duduk terhenyak menyaksikan berita itu. Tidak ada sepatah kata pun. Matanya tak berkedip.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD