Tertangkap Basah

1327 Words
Agenda utamanya di hotel itu adalah menghadiri undangan peresmian rampungnya pembangunan gedung baru PT. ABC besok hari. Hari berikutnya juga dia akan menghadiri muktamar Partai DEF, partai yang menjadi kendaraan politiknya saat ini. Meskipun acaranya terpisah, baginya kedua acara itu saling berkaitan. Dia akui PT. ABC menyumbang dana cukup besar untuk dirinya dan juga partainya sehingga dia mampu menduduki jabatan strategis beberapa tahun ini. Penampilan Pak Cecep di usia 40 tahun masih tetap prima. Bahkan dia terlihat Rambutnya hitam, wajahnya putih bersih, giginya rapi. Perutnya rata, meskipun tidak berotot seperti binaragawan. Postur tubuhnya pun mencapai 175 cm. Pak Cecep memilih tempat duduk yang paling dekat dengan kaca jendela. Menu sudah dia pesan sekira sepuluh menit yang lalu. Dia memesan nasi, gurame tumis, yoghurt dan jus sirsak. Sudah setengah jam lewat, orang yang dia tunggu-tunggu belum juga muncul. Yang muncul hanya notifikasi di messenger. Pak Cecep segera membacanya. Maaf telat, Pak. Saya terjebak macet. Menu yang dia pesan sudah tersaji. Dia menyuap nasi dan gurame tumis tanpa sendok. Dia mencoba mengunyah dengan pelan sambil berharap orang yang dia tunggu datang. Pak Joko, dialah orang yang dia tunggu. Dia orang kepercayaan PT ABC. Waktu terus melaju. 10 menit berlalu. Nasi yang dikunyahnya sudah habis. Sementara Pak Joko tak kunjung muncul. Dia juga teringat Viona. Kenapa aku tadi tidak meminta nomor hapenya? Pikir Pak Cecep. Seandainya ada nomor yang bisa dihubungi dia ingin mengabari Viona untuk sabar menunggu. Dia juga baru ingat apakah Viona sudah makan atau belum. Karena malas naik lift, dia meminta bantuan resepsionis untuk menghubungkannya ke nomor telpon kamarnya. "Silakan Pak," kata resepsionis berambut panjang dan bermuka putih bersih dengan makeup minimalis. "Terima kasih ya," Pak Cecep menerima gagang telpon. "Kamu sudah makan?" "Oke, Aku pesankan ya. Nanti diantar ke kamar. Mau menu apa?" "Oke. Kalau gitu. Pesen Buah-buahan aja ya. Tunggu ya, orang yang ditunggu belum datang. Dia terjebak macet." Pak Cecep menyerahkan gagang telpon itu. Lalu memesankan buah-buahan kepada penjaga restoran untuk dikirimkan ke kamarnya. Pak Cecep kembali ke tempat duduknya. 15 Menit 20 Menit Dia pandangi jus sirsak dan yoghurt yang masih utuh. Pak Cecep belum berminat meminumnya. Bayangan Pak Joko mengganggu pikirannya. Lama-lama mulai gusar. 5 menit Pak Cecep mulai kesal. Dia mulai menggerutu dalam hati. Selama inikah dia harus menunggu. Dia lihat aplikasi messengger. Tida ada pesan yang masuk. Kemana nih orang, kalau ketemu, pasti aku maki-maki dia. s**l, aku paling tak suka menunggu, ini mah ngerjain orang, gerutunya dalam hati. Kekesalannya makin menjadi. Hanya dalam hitungan tiga menit, Dia menghabiskan jus sirsak dalam tiga kali tegukan. Dalam sekejap, gelas berukuran tinggi itu sudah kosong. Setelah itu buru-buru dia habiskan yogurt. Pak Cecep sudah tak berminat menunggu lagi. Dia segera meluncur ke kamar hotel di lantai 10. Beberapa menit dia menaiki lift. Lalu dia masuk ke kamar nomor 1066. Sesampai di kamar, dia benamkan tubuhnya di kasur. Viona sedang menikmati apel dan masih mengenakan kimono mandi berwarna putih. Beberapa jenis buah lain tersedia di sebuah keranjang kecil. Ada anggur dan beberapa potong semangka yang terlihat segar. Viona melihat aneh roman muka Pak Cecep. "Orangnya belum datang juga, Tuan?" Viona memberanikan diri bertanya. Pak Cecep menoleh ke arah Viona, "Membosankan, berlama-lama menunggu." Pak Cecep merasa tubuhnya lengket. Dia bangkit sejenak untuk membersihkan tubuhnya dengan mandi air hangat. Saat langkah kakinya di ambang pintu kamar mandi. Dering hape membuatnya urung. Orang yang dia tunggu memberikan kabar. Dimana? Telat banget nih, Pak. Dengan perasaan yang masih kesal, Pak Cecep mengetik kalimat Aku sudah balik ke kamar. Mau mandi. Temui saja aku di kamar. Pak Cecep membersihkan tubuhnya. Hanya kurang dari 10 menit dia sudah keluar dari kamar mandi. Dia kenakan baju kaos putih dan celana training warna hitam yang bagian sampingnya bergaris putih dan merah. Viona sudah mengganti pakaiannya. Pakaian terlihat jauh lebih seksi dari sebelumnya. Aroma parfum yang dikenakannya memenuhi penciuman Pak Cecep. Tubuhnya kembali berdesir. Konsentrasi Pak Cecep terpecah lagi, ketika ada pesan masuk lagi di hapenya. Aku sudah di depan pintu kamar... Pak Cecep segera membukakan pintu untuk Pak Joko. "Tas ini berisi uang yang kami janjikan buat Bapak," ucap lelaki itu sambil menyerahkan sebuah tas koper hitam berukuran kecil. Malam itu Pak Joko itu terlihat sangat serius berpakaian serba hitam, mulai dari celana sampai dasi, hingga sepatu. Pak Cecep mengulurkan tangan menerima tas koper itu. Senyumnya mengembang. Ada rasa bahagia ketika menerima koper itu. Namun jiwanya yang lain merasakan sebuah kecemasan. Namun rasa cemas itu segera terkubur oleh rasa senangnya. Dilihatnya sekilas gepokan uang dalam koper itu, lalu ditutupnya lagi koper berisi uang dolar Singapura itu dengan segera. Terbayang di benaknya, dia punya tambahan modal untuk kampanyenya di musim pilkada tahun mendatang. "Pak tidak dicek ulang?" ucap lelaki yang ada di hadapannya. "Hmmm. Tidak... aku sudah percaya," lirih Pak Cecep. "Baiklah," kata lelaki yang usianya hampir sama dengan Pak Cecep, "Saya tidak bisa berlama-lama. Masih ada urusan lain yang harus saya tuntaskan. Saya pamit dulu, Pak." "Ok!" "Selamat malam dan selamat bersenang-senang" ujar lelaki itu sambil mengulurkan tangan. Giginya serinya yang putih terlihat jelas. Bibirnya tersenyum penuh arti ke arah Pak Cecep dan Viona yang memerhatikan percakapan keduanya dari dalam kamar. Pak Cecep membalasnya dengan mengucapkan terima kasih. Setelah lelaki itu menghilang di balik pintu lift hotel. Pak Cecep menutup pintu kamar. Sebelum pintu itu tertutup rapat, ada sebuah tangan yang mencoba mendorong pintu itu sehingga pintu itu kembali terbuka. Malah pintu itu dengan paksa dibuka lebar. Seorang petugas mengenakan jaket kulit berwarna hitam mengenalkan diri bahwa mereka dari petugas KPK. Tiga orang yang lain berdiri di belakangnya. "Kami membawa surat tugas untuk melakukan penangkapan atas nama Bapak Cecep Permana." "Apa-apaan ini?" Pak Cecep mulai geram. Wajahnya memerah dan amarahnya tak terkendali. Petugas itu berkata, "Kami harap kerja sama Bapak. Kami diperintahkan untuk menangkap Bapak beserta barang bukti yang ada pada Bapak." Pak Cecep melirik koper kecil yang masih dipegang tangan kirinya. Pikirannya kalut seakan-akan ada pusaran air amat kuat menyedot dirinya. Dia tergulung dalam pusaran itu dan dia tiba-tiba sirna dalam pusaran itu. Antara sadar atau tidak, Pak Cecep terbata-bata, "Apa maksudnya?" Pak Cecep mencoba mundur beberapa langkah dari orang-orang yang siap sedia menangkapnya. Dia berpikir keras, bagaimana bisa menyelamatkan diri atau minimal koper uang yang ada di tangannya tidak jatuh ke tangan lain. Tak jauh dari belakangnya, Viona ikut gemetar. Tubuhnya mematung. Wajahnya pucat dan mengeluarkan keringat deras. "Kami harapkan Anda kooperatif," ucap lelaki berjaket itu. Dia melangkah masuk ke dalam kamar perlahan mengikuti langkah mundur Pak Cecep. "Aku tidak bersalah. Aku tidak ..." Pak Cecep mulai kehilangan cara. Pikirannya mampet. Dia pun bingung, apakah yang hendak ia lakukan berguna atau tidak. Dia tidak peduli apa yang dia lakuan ini masuk akal atau tidak. Kegusarannya makin menjadi-jadi manakala ia tertangkap di kamar hotel tidak sedang sendirian. Dia meraih gagang telepon. "Halo, Halo..." Ah, s**l, tidak ada yang mengangkat, Pak Cecep merutuk dalam hati. "Lebih baik Anda segera ikut kami." jelas petugas berjaket. Pak Cecep tertegun. Kakinya serasa tak berpijak lagi di lantai. Tubuhnya hampa, serasa melayang. Tubuhnya bermandi keringat. Wajahnya pucat seolah seluruh darah di tubuhnya telah disedot hantu penghisap darah. Kopernya yang sedari tadi masih dia pegang jatuh ke lantai seketika. Seorang petugas mengambil barang bukti itu. Dengan sisa energi yang masih ada, Pak Cecep menyerahkan kedua tangannya tanpa berbicara. Borgol kini mengikat pergelangan kedua tangannya. Dia pun digelandang bersama Viona oleh para petugas. Di lobby hotel, para wartawan segera mengerubuti mereka. Mereka menjepret berkali-kali kamera ke arah Pak Cecep. Pak Cecep menampakkan wajah tersenyum meskipun hatinya meringis. Dia tersenyum seperti saat diwawancara usai kampanye menjelang pilkada. Sementara Viona menundukkan muka. Gadis itu tidak melihat detil wajah orang satu per satu. Pemandangan yang ada di hadapannya terlihat blur. Seorang petugas diwawancarai beberapa wartawan mulai dari surat kabar cetak maupun online, televisi dan radio. Pak Cecep dibawa masuk menuju kendaraan petugas KPK. Kendaraan pun segera meninggalkan lokasi operasi tangkap tangan. Kendaraan petugas lainnya melaju untuk mengejar target operasi yang sudah tidak berada di lokasi. Petugas terus melacak jejaknya. Malam itu juga mereka segera mengendus jejak Pak Joko dan menangkapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD