Masih Ada? (2)

1520 Words
Pak Cecep Ustaz itu membacakan sebuah ayat Al-Qur'an, kemudian membahas makna dari ayat tersebut. "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 56 ) Sebagaimana firman Allah tersebut, kita diturunkan Allah ke dunia ini mengemban kewajiban untuk beribadah kepada-Nya, yakni dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Jika kita menyakini hal ini tentu kita akan memiliki komitmen yang kuat mentaati Allah dan tidak akan berani melanggar perintah-Nya sebab kita tak memiliki arti apa-apa jika kita tak bergantung kepada Sang Pencipta, Allah Taala. Kita selalu bergantung kepadanya karena sebagai makhluk-Nya memiliki kelemahan dan keterbatasan. Akal, hawa nafsu atau keinginan kita harus tunduk pada segala ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, 'tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga menjadikan hawa nafsunya tunduk pada ajaran yang aku bawa.'" Aku mencoba mencerna penjelasan ustaz tersebut. Apakah aku juga termasuk orang yang hanya mengedepankan kepuasan materi. Terpengaruh dengan gaya hidup kapitalistik sehingga menghalalkan segala cara, termasuk mencuri uang negara. Aku mencoba menyimak kembali penjelasan ustaz itu. "Pertanyaan ketiga, kemanakah manusia setelah meninggal dunia? Pandang materialisme yang dianut para atheis-komunis tidak meyakini adanya kehidupan lain setelah kehidupan dunia. Berasal dari materi dan akan kembali menjadi materi. Manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Sudah selesai. Lalu bagaimana pandangan Islam? Al-Qur'an sudah sangat jelas menggambarkan adanya kehidupan lain setelah kematian. Ada surga dan neraka. Ada pahala dan siksa. Jadi kematian bukan akhir. Kematian merupakan pintu gerbang kita menuju kehidupan akhirat yang abadi. Kita akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatkan kita selama di dunia. Selama hidup di dunia, apakah kita telah menjalankan tugas kita hamba Allah dengan baik atau sebaliknya, semua akan diperhitungkan. Semua dihisab tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Jika hisab kita lebih banyak amal kebaikan karena selama kita hidup di dunia menjadi abdi Allah yang taat, maka kita mendapatkan pahala berupa surga. Namun selama di dunia kita banyak mengingkari dan melanggar perintah-Nya sehingga yang berat adalah amal buruk kita, maka kita akan mendapatkan siksa neraka. Naudzubillah tsumma nau'dzubillah." Aku tertunduk. Bagaimanakah perhisabanku kelak di akhirat? Apakah korupsi yang kulakukan akan menyebabkan timbangan amal burukku makin memberat? Lalu bagaimana caranya supaya itu tidak terjadi? Jiwaku tiba-tiba merasa ketakutan. "Hadirin sekalian, ketiga pertanyaan tadi semuanya terjawab oleh Islam dengan meyakinkan. Jawabannya sungguh memuaskan akal dan menentramkan jiwa kita. Bandingkan dengan jawaban-jawaban dari orang yang tak bertuhan atau orang yang percaya pada tuhan tapi tak mau menginginkan tuhan mengintervensi hidupnya. Silakan pikirkan dan renungkan. Saudara sekalian mau meyakini jawaban yang mana untuk mengarungi hidup di dunia yang fana ini?" Ustaz itu menutup ceramahnya dengan doa. Dia memohon maaf bila dalam menjelaskan terdapat kata-kata yang tidak berkenan. Dia pun menutup ceramahnya dengan salam. Menurutku penjelasan dia sangat unik. Ustaz ini memberikan jawaban atas tiga pertanyaan mendasar tersebut menggunakan tiga sudut pandang, yaitu kapitalisme-sekularisme, sosialisme dan Islam. Ustaz ini mengomparasikan ketiga sudut pandang dan mengupasnya satu-satu persatu. Dari hasil komparasi, ustaz tersebut mengetengahkan jawaban yang paling meyakinkan dan sesuai fitrah manusia adalah jawaban dari Islam. * Setelah mengikuti ceramah beberapa hari yang lalu, aku jadi tertarik lebih jauh mengenai penjelasan ustaznya. Aku belum terlalu yakin dengan penjelasan-penjelasannya. Akan lebih meyakinkan jika aku mendapatkan tambahan materinya dengan membaca. Karena itu, dalam beberapa kesempatan aku sempatkan membaca buku-buku agama. Bahkan pada kesempatan bulan berikutnya saat ustaz itu mengisi ceramah lagi. Aku menyimaknya lagi seperti rekan-rekan yang lain. Sebagian yang lain menyimak sambil terkantuk-kantuk. "Roh atau kerohanian memiliki beragam makna. Ada roh yang bermakna nyawa. Pengetahuan manusia mengenai makna roh yang satu ini amat terbatas, sebagaimana ketika Rasulullah ditanya mengenai arti dari roh, Allah menjawabnya melalui wahyu yang turun, bahwa roh adalah urusan-Nya dan manusia tidak diberitahu kecuali hanya sedikit. Allah berfirman dalam Surah Ali Imran [17] ayat 85 yang artinya, dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". Baik kita saya tidak akan menjelaskan roh yang bermakna nyawa. Mari kita fokuskan pada pendapat yang mengatakan roh yang bermakna idrak shillah billah seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah. Idrak shillah billah maksudnya adalah kesadaran terhadap koneksi kita dengan Allah. Kita dikatakan memilih ruh jika kita mampu terkoneksi dengan Allah saat melakukan perbuatan. Selama kita memiliki rasa keterhubungan dengan Allah, maka selama itu pula kita dikatakan tidak memiliki rohani. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara kita terhubung dengan Allah? Ketika kita sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, maka secara otomatis kita terikat dengan hukum-hukum yang sudah Allah tetapkan dalam syariat Islam. Artinya kita terikat dengan syariat Islam. Kita diwajibkan menjalankan seluruh perintah dan larangan-Nya. Syariat Islam itulah membuat kita menjadi senantiasa terhubung dengan Allah sehingga kita memilih rohani. Jika ada yang bilang, waduh rohani saya terasa kering. Hakikatnya orang itu menyadari bahwa dirinya sedang tidak terkoneksi dengan Allah. Karena itu supaya kita tetap terkoneksi dengan-Nya dalam kehidupan sehari-hari, seharusnya kita berupaya menggabungkan antara aspek jasmani atau materi dengan aspek rohani. Jadi ketika melakukan perbuatan apapun, baik ibadah mahdhah atau pun aktivitas di luar ibadah mahdhah kita harus memasukkan aspek kerohanian di dalamnya. Aktivitas atau perbuatan kita seperti shalat, makan, berjalan, berbicara, bekerja dan yang lainnya itu adalah aktivitas jasmani yang bersifat materi. Kita harus senantiasa memasukkan aspek ruhani ke dalam perbuatan tersebut agar perbuatan tersebut memiliki nilai ibadah dan mendapatkan pahala. Bila kita shalat, maka kita upayakan agar kita menunaikannya dengan khusyuk, diawali dengan wudhu yang sempurna. Ketika mulai takbiratul ihram, seharusnya kita merasa bahwa kita sedang berhadapan dengan Zat yang Mahaagung sehingga pikiran fokus hanya kepada-Nya. Tidak ada kesempatan bagi kita untuk menunaikan shalat karena ingin mendapatkan penilaian baik dari manusia. Saat makan pun kita harus tetap terhubung dengan Allah. Mulai sejak dari cara kita mendapatkan makanan, apakah dari jalan yang halal ataukah haram. Kemudian saat kita makan, kita berdoa untuk mendapatkan keberkahan atas rezeki yang kita makan." Aku tertegun, ketika ustaz itu mengucapkan kalimat 'cara mendapatkan makanan dari jalan halal atau haram'. Bagaimana dengan yang kulakukan selama ini. Hasil usahaku dari jalan haram yaitu korupsi ada sebagian yang telah kumakan. Tak hanya aku, keluargaku juga kulibatkan. Ya Allah, bagaimanakah aku mempertanggungjawabkannya? Ustaz itu masih terus menguraikan penjelasannya, aku menyimaknya kembali. "Bekerja pun kita harus senantiasa melibatkan Allah. Bekerja memberi nafkah keluarga itu pahalanya luar biasa, seperti pahala berjihad. Tetap jangan sampai kita mencukupkan diri hanya dengan bekerja dan enggan melakukan jihad jika kesempatan berjihad itu datang kepada kita. Jihad yang saya maksudkan di sini adalah seruan jihad yang diserukan oleh pemimpin negara Islam sebagaimana Rasulullah dahulu menyerukan jihad para sahabatnya untuk membela Islam, bukan jihad ala ISIS yang sangat berseberangan dengan syariat Jihad dalam Islam. Kembali ke masalah bekerja. Karena pahala bekerja menafkahi keluarga sangat besar, maka janganlah kita mengurangi pahalanya atau mengotorinya dengan melakukan pekerjaan yang haram. Orang yang memiliki rohani akan selektif dalam memilih pekerjaan, dia akan senantiasa memilih pekerjaan yang halal. Menjadi tukang sapu di jalan, tukang becak, tukang cuci, menjadi pemulung s****h tentu akan jauh lebih mulia ketimbang meminta-minta di jalanan asal mereka bekerja dengan ikhlas dan tidak menyalahi aturan Allah. Tapi jangan sampai karena saya berbicara seperti ini lantas kita berani menghardik, menghina, dan memaki para peminta-minta. Pekerjaan yang saya sebutkan tadi meskipun dalam pandangan manusia terlihat rendah, namun jika tidak menyalahi syariat Allah jauh lebih baik daripada menipu, mencuri, memeras, korupsi, menyuap atau menerima suap." Ucapan terakhir ustaz itu sangat menohok. Dia seperti menodongkan pistol di kepalaku. Aku terperanjat. Jiwaku sangat tersinggung. Aku beristighfar. Mencoba merenunginya. Tidak ada yang salah dengan ucapannya. Aku tertunduk menyesali segala kesalahan yang telah kuperbuat. Ustaz itu menutup ceramahnya. Sebelum menutupnya dia benar-benar meminta maaf atas perkataannya yang kurang berkenan. Dia juga mengatakan bahwa dia harus menyampaikan kebenaran sekalipun kebenaran terasa pahit bagi sebagian orang yang mendengarnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya usai menyampaikan ceramah. Audiens dari kalangan tahanan dan petugas sudah meninggalkan masjid. Hanya ada beberapa orang saja yang tengah membaca Al-Qur'an dan berzikir. Aku mendekati ustaz itu. Ketika menyalaminya dan hendak mencium tangannya, ustaz itu segera menarik tangannya. "Ustaz, maaf saya mau menanyakan materi-materi yang ustaz sampaikan. Saya ingin mendalaminya lebih jauh. Bisakah ustaz merekomendasikan buku-buku apa saja yang harus saya baca sebagai pendalaman." Ustaz itu tersenyum, kelihatannya dia orang yang baik hati dan saleh. "Insya Allah jika saya diberikan kesempatan lagi mengisi ceramah, akan saya bawakan buku-buku bacaaan untuk Bapak." "Wah terima kasih, banyak. Oh ya, kenalkan nama saya, Cecep, biasanya dipanggil Cecep," ucapku seraya menjulurkan tanganku untuk berjabat tangan. Ustaz itu segera menyambut jabat tanganku. "Ok Pak Cecep. Saya Salim." * Ternyata bulan ini ustaz Salim tidak datang mengisi ceramah. Mungkin berhalangan. Sebagai penggantinya, ceramah bulan ini diisi oleh salah seorang santrinya. Namun aku tetap mendapatkan beberapa judul buku darinya. Dia menitipkannya kepada santrinya itu. Pekan ini, pikiran dan juga hatiku melahap isi buku itu satu persatu. Menghabiskan bacaan buku-buku yang diberikannya seolah mendapatkan hujan di musim kemarau. Rohaniku yang kering kini seperti mendapatkan kucuran air langit yang segar dan menyejukkan. Berkat buku-buku tersebut aku jadi termotivasi untuk rajin shalat. Tidak hanya shalat wajib, tapi juga shalat sunnah rawatib, Tahajud, Witir dan shalat Dhuha. Aku juga mulai mempraktikkan saran dari buku-buku tersebut dengan mulai rutin membaca Al-Qur'an dan puasa sunnah Senin-Kamis. * Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD