2. Menahan Rasa

1115 Words
"Sial!" erang Franklin sembari memukul setir. Entah sudah berapa kali ia mengumpat pagi ini. "Haruskah gue perjelas lagi kalau lo beda aqidah dengan keluarga gue?" Franklin mengerang frustrasi kemudian menggeleng. Tembok itu tak kasat mata, akan tetapi ia tak akan mampu menerobos bahkan menghancurkannya. Perbedaan keyakinan. Ia mengacak kasar rambutnya. Wajahnya kembali basah oleh air mata. Saudara kembar gadis yang ia cintai kembali menamparnya dengan kenyataan itu. Perjuangannya belum dimulai, akan tetapi ia harus dipaksa mundur. Franklin baru saja keluar dari gerbang kampusnya. Ia menemui wakil dekan bidang akademik di fakultas Ekonomi tempatnya menuntut ilmu dengan tujuan untuk mengundurkan diri sebagai mahasiswa di universitas incarannya sejak dulu. Ya, ia memutuskan menuruti keinginan sang ayah. Meskipun berat baginya, ia tak punya pilihan lain. Ia tahu bahwa Andre ingin ia melupakan gadis yang sudah sangat ia sayangi sejak kecil. Azzura Fitratunnisa Maqil, anak dari sahabat kedua orang tuanya. Selama bertahun-tahun, ia tak pernah melihat kedua orang tuanya berselisih dengan orang tua Azzura. Hubungan persahabatan mereka patut diacungi jempol. Meskipun keluarganya berbeda keyakinan dengan keluarga Azzura, toleransi selalu hadir di antara mereka. "Papi hanya ingin menjaga hubungan baik kita dengan Ayah Hazig dan Bunda Nayyara, Nak. Jangan sampai karena perasaanmu, hubungan kita dengan mereka memburuk! Kamu bisa mencari gadis lain yang seiman dengan kita. Itu akan lebih baik nantinya daripada tetap memaksakan untuk berjuang, tapi akhirnya akan menyakiti hatimu." Franklin menghela napas kasar. Ia memilih mengemudikan kembali mobilnya menuju suatu tempat. *** "Zura, lo udah selesai?" tanya Olivia, sahabatnya. Azzura mengangguk pelan. Ia menutup buku yang ia pinjam lalu mengembalikannya pada tempatnya. Saat Azzura dan Olivia keluar dari perpustakaan, seorang pemuda mendekati mereka. "Assalamu 'alaikum." Kedua gadis itu kompak menjawab salam pemuda itu. "Zura, laporan pertanggungjawaban dana Rohis selama setahun kamu bawa gak?" Azzura menepuk jidatnya. "Astagfirullah, aku lupa, Zidan. Udah selesai kok, cuma ketinggalan di rumah." Zidan tersenyum, membuat Olivia menatapnya begitu memuja. "Aku ambil aja di rumah kamu nanti sepulang sekolah." "Benar nih? Nanti malah kamu kerepotan lagi." "Gak apa-apa kok. Rumahmu searah sama rumahku kok." "Ya udah kalau begitu." "Aku pergi dulu, ya! Assalamu 'alaikum." "Wa 'alaikumussalam!" "Zura, Zidan cakepnya masya Allah, ya! Gak bisa tidur nih gue nanti malam." Azzura mencubit gemas pipi sahabatnya. "Matanya dijaga, Neng!" "Menikmati keindahan ciptaan Allah kan gak salah, Zura!" kilah Olivia. "Pintar banget lo berkilah," cibir Azzura. "Yuk, ke kelas! Bentar lagi Pak Dirga masuk." "Rajin bener tuh guru! Sekali-sekali absen kek dari jam ngajarnya." "Huss ... ada-ada aja lo, Liv!" "Gue ngantuk kalau dia masuk! Berasa didongengin tahu gak!" "Pak Dirga ngajar Fisika, bukan Sejarah!" Olivia merengut. Sia-sia saja ia berdebat dengan Azzura. "Liv, ayo!" Azzura menarik lengan Olivia yang masih berdiri di posisinya. "Iya, deh!" Kedua gadis itu bergegas menuju lantai dua di mana kelas mereka berada. Azzam dan Azzura menuntut ilmu di sekolah yang sama. Namun, mereka berbeda kelas. Jika Azzura memilih jurusan IPA, Azzam justru menyukai jurusan IPS. Alasan Azzam hanya satu, ia merasa muak dengan Fisika dan Kimia. Lagi pula, ia merasa harus melanjutkan perusahaan sang ayah suatu hari nanti karena Hazig telah memintanya jauh-jauh hari. "Zura, ini cara kerjanya gimana? Bingung banget gue!" keluh Olivia. Azzura menghela napasnya, lalu pelan-pelan ia mengajari Olivia sampai ia bisa. *** "Kak Zura, ajarin ini dong!" pinta Emira, sang adik bungsu. "Eh, minta tolong sama Kak Azzam bisa gak? Aku mau makan dulu." "Kak Azzam!" rengek Emira. "Mana? Sini duduk!" perintah Azzam sembari menepuk sofa di sampingnya. Emira menurut. Ia berlari kecil agar segera sampai. "Sini, aku ajarin! Harus sampai bisa, ya!" Emira mengangguk patuh. Gadis berusia 11 tahun itu mulai memperhatikan cara Azzam mengajari soal Matematika yang menjadi tugasnya hari ini. Bila Azzam, Azzura, dan Emira sering berkumpul di rumah untuk belajar bersama, berbeda dengan Mirza yang sangat jarang di rumah. Anak tertua Hazig itu memiliki bisnis cafe yang ia rintis sejak setahun yang lalu. Pemuda berusia 18 tahun itu memilih mengikuti sekolah tata boga agar kemampuan memasaknya semakin terasah. Sang ayah pun tak pernah memaksakan keinginannya pada Mirza, asalkan ia menjalaninya dengan serius dan sepenuh hati. Ia juga kerap kali berdiskusi dengan sang ayah tentang hal-hal yang berhubungan dengan bisnis. Setelah Azzura makan, ia ikut duduk di samping Azzam. Ia memeluk saudara kembarnya dari samping. "Ada apa nih? Tumben banget!" ucap Azzam. "Biasanya juga aku kayak gini. Kenapa? Mau protes?" "Sejak kita masih dalam rahim Bunda, kita tuh udah saling nempel gak terpisahkan. Ya kali baru gini aja aku protes. Kenapa sih? Jangan-jangan soal-" "Berisik! Emira nanti dengar!" bisik Azzura tajam. "Aku yakin ada apa-apanya nih!" "Gak usah sok tahu!" Azzura merengut, membuat Azzam terkekeh lalu mengacak gemas rambut adik kembarnya. "Seperti yang sudah sering aku bilang, kita ini udah sering berbagi. Gak perlulah pakai malu-malu segala!" Azzura berdiri hendak ke kamar. "Mau ke mana sih?" "Mau tidur, Kakak." Baru saja ia hendak ke kamar, ia dikejutkan dengan suara ketukan pintu. "Aduh, jangan-jangan Zidan!" ujarnya panik. Ia menoleh pada kakak kembarnya. "Kak, bukain pintunya dong! Aku mau ambil jilbab dulu." Azzam menurut. Ia pun membuka pintu dan mendapati Zidan dengan senyum khasnya. "Zura ada?" "Bentar, dia pakai jilbab dulu," sahut Azzam, datar. "Lo masuk aja dulu!" Zidan mengangguk. Ia pun masuk ke dalam rumah. "Ah, ada laki-laki lain di rumah!" pekik Emira. Gadis kecil itu pun segera membereskan buku-buku dan alat tulisnya lalu bergegas ke kamarnya. Mau tak mau Azzam dan Zidan menertawakan Emira. "Sorry, adik gue emang gitu. Dia emang udah terbiasa pakai jilbab sejak kecil, makanya dia risih kalau ada laki-laki yang bertamu." "Bagus dong! Artinya dia gak bakalan risih menutup auratnya suatu hari nanti," timpal Zidan. "Semua karena didikan Bunda gue." Dalam hati, Zidan kagum dengan keluarga gadis yang diam-diam ia kagumi selama ini. "Rumah lo sepi, pada ke mana?" "Kakak gue lagi di restoran. Orang tua gue asyik honeymoon lagi. Udah seminggu pergi belum balik-balik juga." Zidan terkekeh. "Orang tua lo lagi gak mau diganggu kayaknya." Azzam pun ikut tertawa. "Malah Ayah pernah bilang kalau dia pengen kasih adik lagi buat kami. Gue cuma bilang No, thanks! Punya adik kayak Emira aja kadang bikin pusing, eh malah mau nambah lagi." "Hahaha ... gue salut sama orang tua kalian. Pasti mereka tak pernah bisa berpisah walau beberapa hari." "Lo bener. Bunda sih biasa-biasa aja, tapi Ayah ...." Azzam menggeleng. "Maklumlah, udah terlanjur bucin! Kalau Bunda gak jawab teleponnya, pasti dia telepon anaknya satu-satu." Tak lama kemudian, Azzura turun dari lantai dua. "'Afwan, tadi buang air* dulu. Ini laporannya!" ucapnya seraya menyerahkan laporan pertanggungjawaban yang Zidan minta. "Sip!" sahut Zidan seraya mengacungkan jempolnya. Zidan pun berdiri lalu pamit pada saudara kembar itu. Azzam mengantarkan Zidan hingga ke halaman rumah. "Zura, siap-siap minggu depan, ya!" Azzura hanya mengangguk seraya melambaikan tangannya. Dari kejauhan, Franklin mengepalkan kedua tangannya disertai tatapan terlukanya. "Siapa dia?" monolognya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD