3. Luka Tak Berdarah

1137 Words
"Dia siapa?" "Siapa yang Kak Franklin maksud?" "Yang tadi siang ke sini." "Zidan?" Franklin mendengus. Tatapan tajamnya masih tak lepas dari Azzura. Gadis itu hanya bisa menghela napas dalam-dalam. "Ada urusan apa dia ke sini?" "Dia itu ketua Rohis di sekolah. Dia minta laporan pertanggungjawaban keuangan Rohis sama aku untuk disetor ke guru pembina Rohis." "Kenapa harus kamu?" Franklin masih saja menginterogasi Azzura yang kini mulai menatap kesal padanya. "Karena aku yang ditunjuk sebagai bendahara, Kak. Aku ditunjuk berdasarkan hasil musyawarah, bukan asal ditunjuk Zidan. Puas?" Franklin menghela napas lega. "Puas banget." Ia mengembalikan wajah cerianya. "Aku merasa aneh dengan Kak Franklin." Franklin mengernyit. "Aneh kenapa?" "Kamu terlihat seperti orang yang sedang terbakar cemburu!" celetuk Azzura yang mulai mengalihkan pandangannya dari Franklin. Ia tak ingin menatap pria itu secara berlebihan. Franklin tersedak saat ia meminum jus jeruk yang Azzura buatkan untuknya. "What? Aku? Cemburu? Ck, kayak gak ada gadis lain aja!" Mendengarkan hal itu, wajah Azzura berubah jadi muram. Ia pun berdiri dan membuka pintu. "Pulang!" "Zura, aku masih mau di sini!" "Kak Azzam udah tidur, Emira lagi belajar, dan Kak Mirza tetap tinggal di apartemen seperti biasanya. Kalau kamu masih di sini, bisa mengundang pembicaraan hangat besok pagi di perkumpulan ibu-ibu kompleks." Azzura tak lagi bersikap ramah pada Franklin. "Zura, aku-" "PULANG!" Franklin menghela napasnya lalu berdiri. Saat di depan pintu, ia kembali berbalik. Ia tatap kembali Azzura yang tertunduk, menyembunyikan wajah terlukanya karena ucapan Franklin. "Maaf kalau aku nyakitin kamu. Aku pulang, ya!" Tanpa menjawab, Azzura menutup pintu dengan pelan. Ia segera berlari menuju kamarnya. Franklin menatap sendu rumah yang selalu ia singgahi sejak ia kecil. "Maaf," gumamnya, lirih. *** Sebenarnya Azzam belum tidur. Ia memperhatikan dari jauh interaksi sepasang manusia yang ia tahu sudah saling jatuh cinta dalam diam. Ia melihat sendiri bagaimana ekspresi adik kembarnya yang berusaha mati-matian agar perasaannya tak terbaca oleh Franklin. Begitu ia melihat Azzura menutup pintu dan berlari menuju kamarnya, ia kembali bersembunyi dari balik pintu kamarnya. Setelah pintu tertutup, ia keluar dan mengintip kamar adiknya. Ia melihat Azzura melepas jilbabnya dan langsung membanting tubuhnya di atas ranjangnya. Azzam langsung masuk dan duduk di tepi ranjang. Ia usap dengan lembut kepala adik kembarnya. Azzura terkejut. Namun, tak lama kemudian, ia memeluk tubuh kakaknya. "Nangis aja, Dek! Aku di sini kok," bisik Azzam. "Kenapa Kakak tahu?" "Kamu lupa? Apa pun yang kamu rasakan, aku bisa tahu. Melihat kamu begini hatiku juga sakit, Dek." Azzura tak menyahut. Ia memilih kembali memeluk kakak kembarnya. "Temani aku, ya!" Azzam mengangguk. Ia membantu Azzura berbaring dan kembali mengelus puncak kepalanya hingga gadis itu benar-benar terlelap. "Aku tak bisa membantu apa pun, Dek. Semoga Allah selalu menguatkanmu," ucap Azzam, lirih. Ia kecup kening adiknya sebelum meninggalkan kamar itu. *** "Dari mana, Nak?" Franklin menoleh ke arah sang ibu yang baru saja selesai mencuci piring. "Dari rumah Ayah Hazig, Mami." "Ketemu Zura, ya?" Franklin hanya tersenyum tipis. "Maafkan Papi, ya, Nak." Felisha tak bisa melakukan apa pun terkait kepindahan Franklin secara mendadak. Ia tahu betul watak Andre selama bertahun-tahun ia hidup bersama pria itu. Andre memang begitu mencintainya dan anak-anaknya, akan tetapi ia tak bisa diajak kompromi bila sudah memiliki keinginan yang kuat. Termasuk tentang keinginan sang suami untuk menjauhkan Franklin dari Azzura. Franklin hanya bisa menghela napas pasrah. "Andai saja bisa semudah itu melupakan Azzura, Mi," ucapnya. Felisha hanya bisa memeluk erat putranya. "Maafkan Mami yang tak bisa berbuat apa-apa, Nak." Franklin menggeleng. "Sudahlah, Mami. Mungkin Papi benar. Tak seharusnya aku jatuh cinta pada yang tak seiman dengan kita. Tak seharusnya aku berharap lebih karena hubunganku dengannya tak akan pernah lebih dari sekadar sahabat." "Kalau ternyata Azzura juga punya rasa yang sama denganmu, gimana?" Franklin tersenyum getir. "Azzura akan tetap memilih diam daripada mengorbankan aqidahnya demi cinta. Dia gadis yang punya prinsip yang kuat." "Sama persis seperti Bunda Nay, Nak." Franklin mengangguk setuju. "Tidurlah! Tiga hari lagi kamu akan berangkat." "Secepat itu, Mami?" Mata Franklin terbelalak. "Apa boleh buat, Nak. Kamu baik-baik di sana, ya!" Franklin hanya bisa pasrah. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan sang ibu di ruang tamu menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, ia langsung berbaring dan memejamkan matanya. "Aku pengecut, ya? Tapi aku bisa apa saat kenyataan membuatku terhempas sebelum melangkah. Aku dan kamu tak akan pernah menjadi kita." *** Azzura meminta izin pada Lukman, sang guru mata pelajaran Sejarah sekaligus pembina ekstrakurikuler Rohis untuk membeli tinta printer di seberang sekolah. Setelah diizinkan, gadis itu keluar dari lingkungan sekolah dan menyeberangi jalan raya dengan cukup berhati-hati. Setelah urusannya selesai, ia segera kembali ke sekolah. Namun, ia terkejut saat ada seorang pengendara motor yang diserempet mobil hingga ia terjatuh, sedangkan mobil tersebut langsung tancap gas meninggalkannya. "Astagfirullah!" Azzura membantu orang tersebut bersama beberapa warga yang melintas. "Ini gimana, Dek? Rumah sakit agak jauh dari sini." "Dibawa ke sekolah aja, Pak! Di sana ada UKS, jadi bisa langsung diobati lukanya," cetus Azzura. Gadis itu menoleh ke arah pengendara motor itu yang ternyata adalah seorang pemuda. "Kak, motornya disimpan di bengkel sana dulu, ya! Nanti Kakak istirahat aja dulu di sekolah sambil Kakak coba hubungi siapa pun yang bisa bantu Kakak saat ini." Pemuda itu pun mengangguk. Ia pun dibawa ke sekolah dan langsung menuju ruang UKS dibantu warga. Setelah itu, Azzura mengucapkan terima kasih pada warga dan kini tinggal mereka berdua saja. Azzura mengambil ponselnya dari saku rok seragam yang ia pakai dan menghubungi seseorang. "Kak Azzam, masih di kelas gak?" "Aku di toilet. Kudengar barusan kamu habis nolongin seseorang. Mana dia?" "Di ruang UKS, Kak. Kakak ke sini, ya! Cuma berdua nih soalnya." "Oke. Nih aku udah jalan!" Panggilan terputus. Ia pun menoleh ke arah pemuda yang masih menatapnya. "Kenapa telepon kakakmu?" Azzura tersenyum. "Biar dia ada di sini. Gak enak kalau cuma berdua. Takut satu sekolah berpikir macam-macam." "Bukankah mereka lihat sendiri kalau kamu cuma berusaha menolongku?" "Kita gak akan tahu seperti apa yang mereka pikirkan. Untuk menghindari fitnah, sebaiknya memang harus ada pihak lain sebagai saksi kalau kita memang gak macam-macam." Azzura membuka kotak P3K yang tersimpan di rak yang letaknya di sudut ruangan. Setelah itu, ia kembali mendekati pemuda itu lalu berjongkok. Ia melipat celana panjang hitam yang pemuda itu kenakan hingga sampai pertengahan betisnya. Ia membersihkan lukanya dan memberikan obat merah serta menutup luka dengan plester luka. Tak lama kemudian, Azzam sampai di ruang UKS. "Lama banget!" protes Azzura. "Maaf, tadi singgah sebentar di kelas IPS 2. Gimana?" "Udah selesai." Azzura menyimpan kembali kotak P3K ke tempatnya semula. "Kak, habis ini sebaiknya ke dokter, ya! Biar dokter yang langsung periksa lebih lanjut," ujar Azzura. Pemuda itu mengangguk seraya tersenyum. "Terima kasih, ya!" "Sama-sama, Kak. Maaf, saya harus kembali. Saya sudah ditunggu soalnya. Sudah hubungi keluarga atau teman?" "Udah kok. Sebentar lagi mereka ke sini kok." "Alhamdulillah kalau begitu. Saya permisi, ya." Sepasang kembar itu pun undur diri, meninggalkan pemuda itu yang kini tersenyum sendiri. "Definisi cantik lahir dan hati," gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD