"Ayolah, Moy! Bantuin gue lagi please! Gue beneran engga bisa ngelewatin hari ini begitu aja!" mohon Aruna.
Ia sengaja memasang wajah memelas senatural mungkin untuk bisa memperoleh bantuan dari temannya ini.
Sedangkan Moria, orang yang saat ini sedang berhadapan dengan tingkah merepotkan Aruna, hanya bisa mendengus kesal karena tidak bisa menolak permintaan dari temannya itu.
"Terakhir ya! Habis ini gue engga mau lagi bantuin lo soal apapun," ujar gadis itu memperingati.
Aruna berbinar senang, ia bergerak cepat untuk memeluk Moria dan mengecup pipinya sekali hingga membuat gadis dengan potongan rambut tidak seimbang itu terdorong menjauh dengan wajah ngeri.
"Engga usah cium-cium juga kale! Pipi gue yang berharga jadi ternodai!" ketusnya.
Tapi sayangnya Aruna tidak perduli, anak perawan itu sudah kadung senang karena kali ini juga bisa lolos dari jeratan Andika.
Dia berbalik, menyambar tas miliknya dan berlari kecil keluar kelas.
Beberapa saat yang lalu adalah waktu dimana kuliahnya berkahir, dan seharusnya dia masih harus duduk diam di dalam kelas hingga Andika datang menjemputnya.
Tapi sayang nya itu mustahil dia lakukan di saat ada pertandingan futsal yang akan diikuti suami masa depannya.
Rona Senja.
Seorang pria sok misterius yang selalu tiba-tiba.
Tiba-tiba menjadi tetangganya.
Tiba-tiba menjadi teman satu kampusnya.
Tiba-tiba menjadi dekat dengannya.
Dan tiba-tiba menjadi suami masa depannya.
Tentu saja yang terakhir adalah khayalan milik Aruna sendiri. Karena sejak pertama kali melihat Rona sebagai tetangga baru rumahnya, Aruna sudah jatuh cinta pada pria tinggi berkulit agak coklat dan rambut nyaris cepak itu.
Rona pribadi yang pendiam, namun entah kenapa pria itu tidak pernah terlihat risih walaupun Aruna selalu terang-terangan muncul di hadapannya bahkan sejak pertama mereka belum saling kenal.
Kata orang, Rona tidak bisa bersikap ramah. Namun Rona tidak pernah mendorong setiap orang yang mendekat padanya. Hal itu lah yang selalu membuat Aruna cemburu, karena walaupun Rona tidak tahu caranya membuat orang lain nyaman saat berada di dekatnya, tetap saja masih banyak mahasiswi yang dengan senang hati menempel padanya.
Aruna berhenti sejenak saat kakinya sampai di depan fakultasnya. Ia menunduk, memperhatikan sebuah aplikasi ojek online yang ada di ponselnya. Beberapa detik setelahnya, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Seorang driver ojek yang menanyakan keberadaanya dan di susul kedatangan seorang pria berhelm full face dengan jaket ijo mencolok mendekat bersama motornya.
"Sesuai aplikasi, Mbak?"
Aruna mengangguk, "Iya, Pak. Minta tolong agak cepetan tapi hati-hati ya," pintanya.
Si driver mengangguk dengan mata menyipit menandakan dia sedang tersenyum. Kemudian motor matic itu membelah jalanan dan menyalip beberapa kendaraan.
Aruna memegangi ponselnya dengan erat. Ia tahu saat ini Andika pasti sudah menyadari bahwa dia menghilang dan melupakan janjinya. Karena sedari tadi ponselnya bergetar tanpa henti, hingga akhirnya saat sampai di tempat tujuan dan sudah selesai memberi penilaian pada si abang ojek, Aruna mematikan ponselnya.
Tidak banyak waktu yang tersisa dalam pertandingan karena Aruna sadar dirinya terlambat. Ia berlari, memandangi jam di tangannya dan berdecak keras.
Untungnya saat sampai di dalam, masih ada waktu sampai pertandingan benar-benar selesai.
Ia tersenyum, berjalan mengambil tempat duduk di bagian tengah kursi penonton. Matanya dengan cepat memindai, mencari keberadaan suami masa depannya.
Dan saat berhasil menemukan sosok Rona, matanya berbinar. Tangannya melambai ke arah pria itu hingga Rona menoleh dengan mata membulat.
Hanya dibutuhkan waktu tiga puluh menit sampai akhirnya pertandingan selesai dan tim Rona berhasil memenangkan game. Aruna bisa melihat bagaimana pria itu bersorak bersama rekan satu tim kemudian tiba-tiba dicegat oleh beberapa gadis yang Aruna tebak adalah teman satu fakultas Rona.
Aruna cemberut, berjalan turun dari tempat duduknya dan menghampiri Rona. Seiring dengan kehadirannya, gadis-gadis itu juga menoleh. Menatap dirinya dengan tatapan tidak senang apalagi saat Rona menembus jarak untuk bisa menghampirinya.
"Kamu datang sama siapa?" tanya pria itu.
Rona melirik gadis-gadis itu yang sama sekali tidak terlihat beranjak dari sana meskipun Rona sudah mengabaikan mereka.
"Naik ojek online," jawab Aruna pelan.
Rona mendelik, "Aruna, aku udah bilang ojek online engga begitu aman," tegurnya.
Biasanya Aruna akan langsung cemberut saat sudah ditegur seperti itu oleh Rona. Namun karena kali ini ada yang sedang memperhatikan mereka, dan melihat bagaimana wajah para gadis itu terkejut mendengar Rona kesal hanya karena dirinya menggunakan ojek online, Aruna jadi merasa senang.
"Maaf, soalnya cuma itu yang bisa anterin aku sampai sini. Kalau aku naik taksi, yang ada aku malah kejebak macet," ucapnya dengan sendu.
Rona tampak menghela nafas pelan, kemudian pria itu menepuk kepala Aruna sekali.
"Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu," pintanya.
*
"Kemana Aruna?"
Moria menggigit bibirnya saat tiba saatnya dimana dia harus berhadapan dengan mantan ketua BEM fakultas yang juga merupakan pacar dari temannya yang tadi baru saja melarikan diri.
"U-udah pulang, Dik. Tadi katanya dia ada urusan mendadak," ujar Moria bohong.
Andika menaikan sebelah alisnya, "Tapi dia udah janji sama gue hari ini. Kenapa tiba-tiba dia malah pulang?"
Meskipun mendengar pertanyaan itu, Moria tetap saja tidak bisa menjawab pertanyaan Andika. Bukan karena tidak tahu jawabannya, hanya saja dia tidak mungkin membocorkan apa yang saat ini sedang Aruna lakukan.
"Coba lo telpon aja, siapa tahu dia masih di dekat sini," usul Moria.
Andika menurut, pria itu langsung mengeluarkan smartphone canggih miliknya dan kemudian menempelkan di telinganya.
"Engga diangkat," ujarnya lesu.
Moria meringis, tentu saja tidak akan diangkat. Jelas-jelas Aruna melarikan diri dari Andika, jadi mustahil jika temannya yang biadab itu akan mengangkat panggilan dari orang yang di hindarinya.
"Dik, sorry. Gue duluan ya, gue masih ada urusan juga habis ini," ujar Moria.
Andika yang sejak tadi fokus pada ponselnya itu mendongak kemudian mengangguk.
"Oke, tengkyu ya, Moy!" ucapnya dengan ramah.
Moria tersenyum canggung dan berjalan menjauh, namun di langkahnya yang belum cukup jauh, dia mendengar Andika berbicara dengan seseorang dan orang itu memberitahu keberadaan Aruna pada Andika.
Moria panik, dia langsung mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Aruna untuk memberitahu bahwa Andika sudah mengetahui rute pelariannya. Namun sialnya, nomor Aruna itu malah tidak bisa dihubungi karena kemungkinan Aruna mematikan ponselnya.
"Hah, kali ini kayaknya bakal putus lebih cepat," desahnya.
*
"Harusnya tadi engga usah kesini, toh pas kamu datang juga pertandingannya udah mau habis," ucap Rona.
Dia menyerahkan helm yang tergantung di motornya. Helm yang memang disediakan untuk Aruna.
"Seenggaknya aku masih bisa ngelihat kamu main dan nyaksiin kamu menang," elak Aruna.
Rona melirik gadis itu sekilas kemudian mendesah pelan. Entah kenapa setiap kali berada di dekat Aruna, dirinya lebih banyak menghela nafas.
"Sekarang kamu kemana? Ke kampus lagi atau pulang?" tanya Rona.
Aruna berpikir sejenak, "Rona mau kemana?" tanyanya balik.
"Aku balik ke kampus, masih ada kuliah sore," jawabnya.
Mendengar jawaban itu, Aruna menghela nafas kecewa. Dirinya sudah tidak ada jadwal kuliah, namun kalaupun harus kembali ke kampus itu namanya cari mati.
"Anterin aku pulang aja deh," pintanya lesu.
Rona mengangguk, pria itu bergerak naik ke atas motornya.
Namun di saat Aruna yang juga hendak naik ke boncengan motor Rona, seseorang tiba-tiba saja meneriaki namanya dengan keras.
Aruna terkejut, ia reflek bergerak mundur saat Andika berjalan cepat ke arahnya dengan wajah merah padam. Pria itu marah, jelas saja. Karena Aruna tiba-tiba kabur demi bisa mendatangi pria lain.
Tapi masalahnya, pria lainnya kan Rona. Dan bagi Aruna, Rona ada di atas segalanya.
"Kamu batalin janji kita karena dia?" tuding Andika.
Aruna menunduk, merasa bersalah karena sudah membuat Andika marah.
"Maafin aku, hari ini Rona ada pertandingan final. Dan aku engga tahu gimana caranya ngasih tahu kamu, karena kamu pasti marah," sesalnya.
Andika mendelik, "Jelas aja aku marah. Cowok mana yang rela kalau ceweknya lebih milih datengin cowok lain dan batalin janji gitu aja? Bahkan kamu engga batalin janji, kamu cuma kabur gitu aja dan engga jawab telpon sama pesan dari aku. Kamu keterlaluan Aruna!"
Aruna semakin menunduk, dari ekor matanya ia bisa melihat Rona yang tampak marah namun tidak bisa melakukan apapun.
"Aku rasa kamu emang engga pernah suka sama aku dari awal, jadi lebih baik kita engga usah lanjutin hubungan ini!" tukas Andika.
Aruna mendongak, menatap Andik dengan rasa bersalah.
"Maaf," ujarnya.
Andika membuang muka, kemudian langsung berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan kemarahan dan rasa kecewa yang dia dapat dari Aruna.
"Kamu salah, Aruna," ujar Rona datar.
Aruna tahu. Aruna tahu kebiasaan buruknya ini jelas salah, dia memanfaatkan orang lain hanya untuk menarik perhatian dari seseorang yang sama sekali tidak terpengaruh.
"Aku tahu, tapi aku cuma mau..."
Tidak ada ucapan lagi yang terlontar, Aruna hanya masih menunduk dengan rasa bersalah yang selalu ia rasakan setiap menyakiti orang lain. Sialnya dia masih saja terus melakukan itu berulang kali, betapa b******k dirinya ini.
"Ayo pulang, kamu perlu nenangin diri," ajak Rona pelan.
Aruna mengangguk, dia kembali mendekat ke arah motor Rona dan kemudian naik di atasnya.
Biasanya, Aruna hanya akan memacari pria b******k sehingga dirinya tidak akan merasa bersalah atau menyesal saat harus putus. Tapi kali ini, karena dirinya ceroboh saat menerima cinta dari pria sebaik Andika, kini hatinya dirundung rasa bersalah yang menyesakan.
Di perjalanan yang biasanya selalu menyenangkan karena ada di belakang Rona, kali ini Aruna menangis. Ia masih terbayang bagaimana wajah terluka Andika saat pria itu menumpahkan amarahnya.
Andai itu dirinya yang berada di tempat Andika, dimana dia dikhianati oleh orang yang dicintainya, Aruna mungkin tidak akan bisa memaafkan orang itu.
Itu artinya, dirinya akan kesulitan memaafkan dirinya sendiri.
**