12

1504 Words
"Lagi ada masalah ya?" Rona menoleh, membagi senyum pada Andita yang sudah menemaninya sekitar dua puluh menit. Pembicaraan nya dengan Aruna tidak berjalan lancar, gadis itu masih tidak mau langsung memberikan maaf pada Rona. Dan Rona pun tidak bisa melakukan apapun, dia tidak ingin memaksakan kehendaknya pada Aruna. Maka yang dia lakukan selanjutnya adalah pulang, memberi waktu pada Aruna untuk bergelut dengan rasa kecewa dan kesalnya. Tapi di pertengahan jalan dia malah mendapatkan pesan dari Andita, gadis itu meminta waktu agar dirinya bisa mentraktir Rona makan sebagai balasan kebaikan Rona terakhir kali. "Enggak ada apa-apa kok. Daripada itu, gimana belakangan ini? Mereka masih suka mukul kamu?" Kini Rona menyingkirkan pikiran tentang Aruna sejenak. Dia ingin tahu kabar dari gadis malang yang selalu saja menerima perlakukan buruk dari kedua orang tuanya, lebih tepatnya dari Ayah kandung dan Ibu tirinya. "Ya begitu lah. Tapi belakangan ini aku kan sibuk sama skripsi, jadinya aku jarang pulang. Dan selama aku enggak pulang, Andini juga aku titipin sama orang tua temannya yang tahu keadaan kami." Rona mengangguk paham. Dia selalu saja merasa salut pada Andita. Dia hanya lah seorang gadis biasa, namun bisa bertahan di lingkungan keluarga beracun seperti itu. Sejak Ibunya meninggal karena penyakit kanker Payudaraa, ayahnya menikah hanya berjarak dua bulan kemudian dan membawa seorang istri baru yang sejak awal memperlihatkan sikap tidak sukanya pada Andita dan Andini. Jika yang ada di posisi Andita adalah Aruna, Rona yakin jika gadis itu sudah mengalami depresi parah. Baru membayangkannya saja membuat Rona merasa tidak tahan. "Tuh kan, katanya enggak apa-apa tapi kamu lagi-lagi ngelamun lagi." Tersentak, Rona kemudian menghela napas pelan. Dia bersandar pada dinding rumah pohon yang sudah hampir rapuh. Mau dilihat bagaimana pun, rumah pohon ini benar-benar sudah tidak layak untuk digunakan oleh dua manusia dewasa yang memiliki bobot tubuh yang berat. "Aku...ngelakuin kesalahan yang bahkan aku sendiri ngerasa kesalahan itu enggak bisa dimaafin dengan mudah," ujar Rona pada akhirnya. Andita memiringkan kepala, mencondongkan tubuhnya lebih ke arah Rona. "Kamu hamilin anak orang?" tebaknya. Rona terkejut, sedetik kemudian dia berdecak cukup keras. "Apa kamu pikir aku bakalan ngelakuin hal kayak gitu?" Andita tertawa, kepalanya menggeleng membuat surai panjangnya ikut bergoyang. "Ya habisan kamu kenapa sih enggak langsung ngomong aja masalahnya apa? Aku kan enggak pinter nebak-nebak." Rona berpikir sejenak. Jika dia bercerita, maka Andita akan langsung tahu bahwa yang dia maksud adalah Aruna. "Tetanggaku..." "Aruna?" Nah kan! Sudah pasti Andita langsung bisa menebak. Karena ini bukan kali pertama Rona menceritakan perihal Aruna pada Dita. Kembali menghela napas, Rona kemudian mengangguk. "Iya, dia. Tadi siang..." Cerita itu mengalir dengan sendirinya. Rona menceritakan awal dari masalah ini bermula, sejak Aruna mendatangi dirinya hingga ke kantin Fakultas lalu bertemu dengan Gemini. Semuanya Rona ceritakan tanpa terkecuali, termasuk upayanya untuk menemui Aruna di rumah dan meminta maaf pada gadis itu tapi berakhir dengan Aruna yang menyuruhnya pulang. Usai bercerita, Rona kembali dilanda rasa bersalah. Satu sisi dia sangat ingin menyalahkan Gemini yang sudah membuat keadaan menjadi seperti ini, namun dia sadar betul jika dia juga yang paling bersalah karena tidak percaya pada Aruna. Semua memang salahnya. "Kamu... Apa yang bikin kamu enggak percaya sama Aruna? Sedangkan yang aku tahu, kamu deket banget kan sama dia?" Rona menunduk, memainkan jemarinya seperti abege labil yang sedang patah hati. "Karena aku pikir mungkin aja Aruna ngelakuin itu atas dasar rasa sukanya sama aku, dia mungkin terganggu sama kehadiran Gemini yang makan berdua sama aku. Jadi aku pikir itu bukan hal mustahil yang bisa dilakukan Aruna." Tiba-tiba saja Andita tertawa hingga membuat Rona kebingungan. "Kamu terlalu percaya diri, Rona. Walaupun kamu tahu dia suka sama kamu, bukan berarti dia akan berpikir pendek dengan langsung melabrak setiap perempuan yang deket sama kamu. Atau jangan-jangan..." Mata Andita menyipit, membuat Rona menantikan apa yang akan gadis itu katakan. "Jangan-jangan itu adalah angan-angan kamu sendiri? Kamu berharap Aruna cemburu berat ngeliat kamu sama wanita lain?" Rona terkejut, "Mana mungkin!" sanggah nya langsung. "Aku cuma..." "Kalau begitu wajar aja kalau Aruna enggak bisa maafin kamu, karena kamu sudah meremehkan dia dengan menganggap bahwa dia perempuan yang seperti itu. Perempuan yang tidak bisa berpikir panjang hanya karena cemburu. Kamu sudah melukai harga dirinya, Rona." * Esok nya, dengan sangat terpaksa Aruna tidak bisa datang ke kampus. Padahal selama ini walaupun dia tidak ada agenda untuk bimbingan, dia selalu datang hanya untuk bertemu dengan Rona. Tapi kali ini dia tidak bisa. Bukan karena dirinya masih dalam mode marah pada Rona, hanya saja tiba-tiba saja dia mendengar kabar duka bahwa adik bungsu dari Mamanya mengalami kecelakaan hingga harus di operasi pagi ini. Dan Aruna beserta semua keluarganya akan pergi ke Bogor karena disana lah Om bungsunya itu akan menjalani operasi. "Aruna, sudah siap? Kita sudah mau berangkat." Aruna bergegas menghampiri Mamanya. Bisa dilihat bahwa Mamanya sangat panik. Bagaimana pun dari lima bersaudara, adik bungsunya ini adalah yang paling malang karena sudah ditinggal oleh orang tua mereka sejak berumur tujuh tahun. Itu lah alasannya baik Mamanya dan ketiga saudaranya yang lain sangat menjaga dan menyayangi om bungsunya ini. "Katanya, Bang Bahar sama Rumi udah di rumah sakit, Pa," kata Linda tiba-tiba saat melihat ke arah ponsel nya. Kemudian kedua orang tuanya itu terlibat obrolan tentang kecemasan mereka terhadap Rivano, Om bungsunya Aruna itu. Mamanya khawatir jika kecelakaan ini akan mempengaruhi trauma masa lalu Rivano yang beberapa tahun ini sudah membaik. Soal jenis trauma seperti apa yang dialami oleh Om nya itu, Aruna juga tidak terlalu paham. Dia hanya pernah bertemu dengan Om nya beberapa kali saja dan itu pun saat dia masih sangat muda sehingga dia ingat-ingat lupa. Ketika sampai di rumah sakit, Mamanya langsung menarik dirinya ke ruang operasi yang pintunya tertutup. Sudah ada para Om dan Tantenya yang lain disana. Wajah mereka sama cemas nya dengan wajah yang ditunjukkan oleh Linda. "Katanya perutnya kena setir mobil jadi pendarahan di dalam, makanya harus operasi buat mastiin kalau enggak ada organ dalam yang terluka parah," ujar Bahar yang merupakan kakak paling tua. Wajah Linda semakin cemas, dia langsung memeluk tubuh suaminya untuk mencari ketenangan. Sedangkan Aruna hanya menyapa Om dan Tantenya sambil lalu karena keadaan yang tidak memungkinkan, setelahnya dia memisahkan diri dengan duduk di kursi yang agak jauh dari yang lain. Tiba-tiba saja ponsel yang ada di dalam tasnya berdering. Dia terkejut karena tahu bahwa itu adalah Rona. Menarik napas dan kemudian menghembus nya, Aruna kemudian mengangkat panggilan itu. "Kenapa, Ron?" tanyanya lemah. "Kamu dimana? Kamu enggak ke kampus?" tanya Rona langsung. Aruna langsung menoleh ke arah Mamanya dan semua orang yang masih menunggu dengan cemas di depan ruang operasi yang lampunya menyala. "Aku lagi di rumah sakit." Aruna tidak menyangka jika jawabannya itu akan langsung membuat Rona berteriak panik. Berulang kali pria itu bertanya apakah Aruna yang sakit atau bukan. Ini sama sekali bukan seperti Rona yang Aruna kenal selama ini. "Bukan. Om aku yang sakit karena kecelakaan, makanya aku ikut kesini sama Mama dan Papa. Jadi kamu tenang aja," balasnya berusaha santai. Padahal degup jantungnya sudah meronta-ronta tidak karuan sejak menerima rasa khawatir Rona yang berlebihan. "Dimana? Aku nyusul ya?" Rasanya Aruna mau langsung meneriakkan kata 'iya' sebagai jawaban. Tapi kemudian dia dipukul kenyataan bahwa kini dia sedang berada di rumah sakit si Bogor. Rona akan sangat kesulitan jika harus kesini menggunakan motor. "Enggak usah. aku lagi di Bogor sekarang, lagian enggak ada keperluan mendesak kan?" Aruna mengigit bibirnya sendiri saat Rona kemudian terdiam. Dia tahu bahwa lelaki itu masih mau meminta maaf padanya, tapi Aruna benar-benar tidak bisa menemui Rona saat ini. "Iya, enggak ada kok. Tapi kamu Hati-hati ya, nanti tolong kabarin aku." Aruna hanya bergumam mengiyakan padahal dia sendiri masih belum tahu apa yang harus dia laporkan pada pria itu. Setelah sambungan terputus, dia memutuskan untuk mendekat ke arah Mamanya yang kini sudah duduk bersama Papanya. "Masih lama ya, Ma?" tanya Aruna. Mamanya langsung merangkul pundak Aruna. "Mama belum tahu. Aruna bosan ya?" Aruna menggeleng dengan senyum kecil. "Enggak kok, Ma. Tapi Aruna mau ketemu sama Om bungsu, udah lama enggak ketemu tapi pas ketemu malah kayak gini. Lukanya enggak parah kan?" Mamanya mendesah pelan, "Mama kurang Paham. Tapi kata Om Bahar, perutnya kebentur setir cukup kenceng jadi ada lebam yang besar. Pihak Dokter sedang mencari tahu apakah ada organ yang rusak karena itu. Kita cuma bisa berharap semoga enggak ada hal serius." Aruna juga tidak mengerti. Hanya saja walaupun dirinya tidak begitu dekat dengan adik bungsu dari Mamanya itu, namun Aruna berharap Om nya benar-benar bisa pulih seperti sedia kala dan tidak mendapatkan dampak besar dari kecelakaan ini. Menunggu bersama anggota keluarga lain di depan ruang operasi adalah hal yang cukup membosankan sebenarnya, apalagi Aruna tidak begitu dekat dengan para Om dan Tantenya. Mungkin berbeda hal nya jika anak-anak mereka juga ikut datang, sayang sekali kebanyakan dari mereka sibuk bekerja atau bersekolah. Sehingga kemudian Aruna memutuskan akan ikut pulang bersama dengan Abangnya nanti kalau Arsha datang. Walaupun untuk itu dia harus menunggu sampai Arsha bisa datang setelah jam dua belas nanti. Tidak apa-apa, dia bisa bersabar sampai waktunya tiba. Yang terpenting sekarang dia harus mencari cara untuk membunuh waktu sampai operasi ini selesai dan hasilnya diketahui. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD