"Lo bakal nyesel, Ron."
Rona terkejut, cepat dia menatap ke arah Aruna yang sudah berbalik badan dan meninggalkan tempat ramai itu dengan langkah lebar.
Ini pertama kalinya Aruna menyebut Rona dengan kata 'Lo'. Bahkan dulu saat Rona pertama kali mengenal gadis itu dan masih menggunakan sapaan 'lo-gue', Aruna tidak pernah melakukannya sekalipun pada Rona. Gadis itu dengan manis hanya terus menyebut aku..aku hingga akhirnya Rona terbiasa dan melakukannya juga.
Tapi kali ini, Rona sepertinya sudah melakukan kesalahan besar.
"Hah! Semuanya gila!"
Tatapan Rona langsung teralih ke arah Moria. Gadis itu menatap tajam padanya, melipat kedua tangannya di d**a.
"Harusnya lo tahu, segila apapun Aruna cinta sana lo, dia enggak akan pernah ngelakuin hal kekanakan kayak gitu. Dia bukan tipe orang yang akan nyerang orang duluan kalau dia enggak diserang. Sayang sekali..." Moria menatap Rona dan gadis gila itu secara bergantian. "Ternyata cuma segini aja kualitas cowok yang dikejer-kejer sama Aruna? Bahkan Andika bakalan seratus kali lipat lebih baik dari ini."
Usai mengatakan hal itu, Moria langsung ikut meninggalkan tempat.
Sedang suasana ramai di sana akibat kejadian ini masih terasa. Rona tiba-tiba saja mengalami ancaman terakhir yang dikatakan oleh Aruna, dia menyesal.
Dia menyesal karena berpikir Aruna yang begitu menyukainya memang selama ini tidak pernah menyukai wanita manapun yang dekat dengannya. Rona pikir, mungkin saja Aruna melakukan seperti apa yang dituduh kan oleh Gemini karena gadis itu memang kadang keterlaluan jika sedang marah.
Tapi dari bagaimana Aruna tampak begitu terluka dan bahkan berlaku seperti itu padanya, sepertinya Rona memang salah.
Dia mendesah berat, mengambil tasnya yang ada di atas kursi.
"Rona, kamu mau kemana? Tolong anterin aku buat ganti baju dulu."
Mendengar rengekan dari Gemini dan tangan gadis itu yang memegang lengannya, dengan sepenuh hati Rona langsung menepis tangan itu keras-keras.
"Jangan pernah muncul di depan gue lagi. Lo bener-bener keterlaluan."
Seakan baru saja mengatakan itu pada dirinya sendiri, tanpa sadar Rona mengepalkan kedua tangannya.
Itu benar. Bukan Gemini sebenarnya yang salah, karena kalau saja dirinya langsung mempercayai Aruna mungkin saat ini gadis itu sedang berjalan di sampingnya sambil terus berbicara tentang ini itu.
Yang salah adalah dia yang mengaku begitu mengenal Aruna, malah meragukan gadis itu dan mempercayai tipus muslihat dari wanita lain.
Bergegas dia berlari meninggalkan kantin dan juga makanan yang bahkan belum dia sentuh sama sekali. Langkahnya lebar, mencari keberadaan Aruna.
Ponsel yang ada di tangannya ia gunakan untuk menghubungi gadis itu, tapi tentu saja Aruna tidak akan mau mengangkat panggilannya.
Di pikiran Rona, dia yakin bahwa saat ini Aruna tengah menangis. Dan itu adalah fakta yang paling tidak disukai oleh Rona.
"Ah, sial!" umpat nya.
Dia bahkan kini sudah sampai di fakultas bisnis, namun sepertinya penampakan Aruna tidak terlihat dimana pun. Apa mungkin gadis itu sudah pulang?
"Hey, Bro! Lagi ngapain?"
Rona terlonjak, dia langsung menoleh ke belakang tubuhnya dan mendapati Andika yang sedang bersama pria lainnya. Tiba-tiba saja ucapan Moria tentang pria di depannya itu kembali teringat, katanya bahkan Andika jauh lebih baik darinya seratus kali lipat.
"Gue...nyari Aruna," jawab Rona dengan suara ragu.
Kening Andika mengerut, pria itu menoleh ke arah teman yang ada di sampingnya.
"Ah, jadi tadi dia nangis karena berantem sama lo ya?"
Mata Rona membuat terkejut. Ternyata apa yang dia pikiran benar-benar terjadi. Ya sudah pasti jika gadis itu akan menangis, Aruna adalah gadis yang sangat perasa.
"Tadi gue lihat dia jalan sama Moria, temennya. Terus kayaknya dia pulang sama Moy itu, naik mobilnya. Kalau lo punya nomornya Moy, lo bisa tanya langsung ke dia."
Rona menunduk dengan anggukan pelan. Dia tidak memiliki nomor ponsel sahabat Aruna itu, tapi kalau pun punya sudah pasti Moria juga enggan menjawab panggilan darinya.
"Kalau begitu, makasih ya. Gue duluan," ujarnya membagi senyum pada Andika.
*
"Udah dong, jangan nangis!"
Aruna mengusap air mata yang masih saja meluncur dari matanya.
Tadi dia langsung berlari dari kantin fakultas tanpa bisa menahan air mata yang sudah terlanjur jatuh. Menjadi tontonan bagi orang-orang yang melihatnya, mengerutkan kening mereka dengan heran namun juga ada yang diam-diam berbisik sambil tertawa.
Aruna tidak bisa menghindari kejadian itu karena bagaimana pun dia merasa kecewa dan sakit hati atas apa yang sudah dilakukan oleh Rona. Rona adalah orang yang paling mengenal dirinya, yang seharusnya dapat mempercayai Aruna tanpa diminta.
Namun pria itu malah berujar dengan dingin, meminta dirinya untuk meminta maaf atas kesalahan yang tidak pernah Aruna lakukan.
Dan satu lagi, wanita gila itu!
Aruna berjanji jika dia tidak akan pernah melupakan wanita itu sampai kapan pun.
"Gue mau pulang," rengek Aruna.
"Tapi nanti keluarga lo jadi heboh kalau ngeliat lo pulang dengan muka bengkak karena nangis kayak gini. Mending lo ke rumah gue aja dulu, atau kita bisa jalan-jalan dulu ke mall atau kemana gitu."
Aruna mengangguk. Dia juga tidak mau jika keluarganya tahu bahwa alasan dia menangis seperti ini adalah karena Rona. Walaupun sudah dibuat kecewa seperti ini, tapi di bagian hatinya yang terdalam dia masih tidak senang jika Rona dipandang buruk oleh keluarganya. Iya, dia tahu kalau dia memang bodoh.
"Aku mau taman yang deket sama SD itu aja, Moy."
Moria menoleh dengan tatapan terkejut.
"Ngapain elo mau kesana?"
"Disana banyak yang jual jajanan. Kan kalau sore ada Madrasah disana. Gue mau beli jajanan aja disana, Moy."
Karena Moria sedang dalam misi menghibur sahabatnya yang sedang galau, maka dia akhirnya menuruti permintaan Aruna.
Mungkin saking depresinya temannya itu sampai lupa jika hari masih siang, Moria hanya bisa berharap semoga penjual jajanan benar-benar ada di sana.
"Kenapa ya dia jahat banget sama gue? Padahal kalau kejadiannya kebalik dan dia yang dituduh begitu, gue pasti langsung percaya sama dia."
Moria berdeham pelan.
"Tapi kayaknya enggak mungkin kebalik deh kejadiannya. Soalnya kalaupun dia yang dituduh, kayaknya dia enggak akan perduli lo mau percaya atau enggak sama gue."
Aruna langsung menunduk. Dia merasa kesal dengan ucapan yang dikatakan oleh Moria, tapi juga tidak bisa membantah. Karena dia juga berpikir demikian, Rona tidak akan merasa sakit hati dan kecewa seperti yang sekarang dia rasakan kalau saja Rona yang ada di posisinya. Dari hal dasarnya saja sudah berbeda, Rona tidak memiliki perasaan apapun padanya, sedangkan Aruna cinta mati pada pria itu.
Semakin menyadari kenyataannya, Aruna semakin dilanda rada sakit yang luar biasa. Dia memalingkan wajah ke arah jendela, menyembunyikan tangisnya yang nyaris kembali pecah.
Lalu ponsel yang ada di dalam tasnya kembali bergetar. Dia tahu bahwa hang menghubungi nya adalah Rona. Pernah dia berpikir untuk mengangkat panggilan itu, karena hal yang paling dia sukai adalah mendapatkan panggilan dari Rona lebih dulu.
Tapi dia menahan dirinya sekuat tenaga, dia tidak ingin lagi kalah dari keinginan hatinya itu. Apa yang sudah dilakukan oleh Rona begitu keterlaluan, Aruna bahkan tidak tahan menanggung rada sakit yang dia rasakan. Dipermalukan di depan semua orang di saat dia datang hanya untuk bertemu dengan pria itu.
Bahkan tadi Rona tidak bertanya lebih dulu padanya dan langsung saja mempercayai ucapan gadis itu. Apa memang seburuk itu dirinya selama ini di mata Rona, makanya Rona tidak pernah sekalipun bisa menyukai dirinya?
"Hiks..."
Aruna langsung menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Perih sekali
Sejak pertama mengenal pria itu, dia hanya tahu cara untuk membuat Rona ada di sampingnya. Dia sama sekali tidak berpikir hanya dengan satu sikap dingin Rona, hatinya sudah sehancur ini.
"Udah dong, Na. Lo jangan nangis terus, gue kan jadi ikut sedih lihatnya."
Berulang kali Aruna menganggukkan kepalanya. Dia juga tidak ingin menangis, tapi air matanya jatuh begitu saja dan malah menjadi deras.
"Apa perlu gue sekalian aja ngadu ke Abang lo? Biar Rona digebukin sama abang lo?"
Kali ini Aruna menggeleng masih dengan menutupi wajahnya.
"Ja..ngan.." ujarnya terbata.
Setelahnya dia buru-buru menghapus jejak air mata di wajahnya itu. Dia menarik napas berat kemudian menghembuskan nya. Melakukannya berulang kali hingga dirasa hatinya menjadi lebih tenang.
"Nah, sebentar lagi kita sampai. Lo jangan nangis lagi ya," pinta Moria.
Gadis itu memperlambat laju mobilnya saat tiba di kawasan sekolah Dasar. Untungnya masih banyak penjual jajanan yang berada di depan sekolah itu.
Aruna langsung turun begitu mobil milik Moria berhenti, yang pertama dia datangi adalah penjual telor gulung. Dia memesan dua puluh ribu, yang berarti dia akan mendapatkan dua puluh tusuk telor gulung saat masing-masing berharga seribu rupiah.
"Lo bisa bisulan kalau banyak makan telor," celetuk Moria.
Tapi Aruna tidak perduli. Dia tetap berdiri menunggu sampai pesanannya selesai. Setelah itu dia kembali menarik Moria ke penjual es teh manis. Membeli empat cup es teh manis untuk dirinya dan juga Moria.
"Lo beneran kalap, Na," kata Moria sambil menggelengkan kepalanya.
Gadis itu tidak membeli apapun, hanya melihat Aruna yang tampaknya masih belum puas hanya dengan jajanan itu. Kini gadis yang sedang dilanda patah hati mulai berhenti di penjual martabak mini, memesan empat porsi dengan rasa yang berbeda.
Lalu kalau saja Moria tidak menahan lengan Aruna, mungkin gadis itu sudah akan kembali mengantri di penjual kebab. Tapi Moria menahannya.
"Gue bakalan aduin soal masalah ini ke abang lo kalau lo masih beli jajanan lainnya," ancam Moria.
Bukannya apa-apa, dia yakin Aruna hanya lapar mata. Moria sangsi jika sahabatnya itu akan bisa menghabiskan semua makanan yang dia beli.
Untungnya kali ini Aruna menurut. Gadis itu langsung membawa semua makanan nya ke arah sebuah taman yang tidak memiliki penghalang sama sekali.
Moria rasa hanya mereka orang gila yang akan duduk di sebuah kursi besi yang ada di taman di siang hari seperti ini.
**