Bab 4

1727 Words
Kuperhatikan kembali penampilanku sebelum berangkat. Aku harus terlihat lebih baik dibanding saat bekerja di salon. Tentu saja. Aku ini sekarang adalah sekretaris seorang Aldric Pratama, CEO ternama itu -meski masih dalam pencobaan. Setidaknya aku harus memberikan penampilan awal yang baik. Untuk seterusnya, aku tidak terlalu peduli. Akan dipikirkan ulang nanti. Bunyi klaskson mobil di depan rumah membuatku mempercepat gerakan untuk memoles bibir dengan lisptik merah muda yang lembut. Aku tidak suka terlalu mencolok. Menurutku akan menjadi menor. Apalagi kali ini, sangat pas dengan kemeja yang aku pakai di dalam balutan blazerku. Oh ya, kemarin aku resmi menjadi kekasih kak Bryan. Tidak bisa kupungkiri kalau aku memang menyukainya. Aku memang tidak yakin betul kalau apa yang kurasakan itu adalah cinta. Yang pasti, aku menyukainya. Dan kami setuju untuk mencobanya. Berjalan dengan cepat, aku menemuinya yang sudah membukakan pintu mobil untukku. "Morning, sweetheart," sapanya dengan senyuman khas miliknya. "Morning," balasku dan masuk ke dalam mobil. "Kamu cantik sekali pagi ini," pujinya setelah duduk di kursi kemudi. Satu tangannya meraih sabuk pengaman dan melilitkan diri di dalamnya. "Biasanya tidak?" "Jangan mengajakku berdebat, sayang. Baiklah, kita berangkat sekarang." Mobilnya melaju perlahan kemudian semakin cepat meninggalkan rumah. Jujur, aku menuruti keinginannya untuk mengantarkanku hanya karena kantor kami bersebelahan. Jadi dia hanya butuh waktu lebih untuk menjemputku ke rumah. Dan aku sangat penasaran, bagaimana kalau dia bertemu dengan CEO bernama Aldric Pratama itu? Walau kemungkinannya memang sangat kecil, apakah mereka akan saling mengenal? "Kak," panggilku. "Hm?" gumamnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya. Jalanan cukup ramai membuatnya harus tetap fokus. "Kakak masih ingat tidak sama yang aku pernah bilang seseorang mirip kakak?" "Ya, kenapa?' "Ternyata orang itu adalah CEO di perusahaan aku bekerja nanti. Dia akan menjadi bosku. Kantor kakak kan bersebelahan dengannya, kakak tidak mengenalnya, atau sekedar pernah melihatnya?" "Sebelahan kan tetap saja ada banyak orang. Lagipula, kalau dia CEO pasti tidak akan berkeliaran dengan mudahnya. Dia kan orang penting. Orang rendah seperti kakak mana mungkin bisa bertemu dengannya." "Eish. Jangan sok merendah deh, kak. Kakak juga sekarang seorang GM. Kurang bagus apa lagi? Jadi manager saja sudah cukup, kalau buat aku mah." "Ya, karena ini demi masa depan kita, kakak akan terus naik sampai menjadi pemilik perusahaan besar seperti CEO kamu itu. Jadi kamu tidak akan tertarik lagi dengan pria lain dan akan jadi milik kakak selamanya." "Itu artinya kakak sedang cemburu?" "Tentu saja, sayang. Siapa yang tidak cemburu saat orang yang dicintainya bekerja dengan orang lain?" "Aku nggak." "Okey, jangan berdebat lagi. Kita sudah sampai." Eh, aku bahkan tidak sadar kalau ini sudah sampai di depan gedung milik Aldric. "Baiklah. Terima kasih untuk jemputannya, kak." "Jangan lupa, pulang nanti bareng kakak juga. SMS kakak kalau sudah keluar." Aku mengangguk mengiyakan. Merapikan kembali kerah kemeja dan blazerku sebelum keluar. Dan kesempatan itu dimanfaatkan kak Bryan untuk mencuri kecupan di keningku. Dia yang aku pelototi hanya memamerkan senyum tak berdosa. "Bye," lanjutnya saat aku melangkah keluar. Tepat saat aku melangkahkan kaki di lobi, pria itu menampakkan dirinya dari arah berlawanan denganku, bersama dengan seseorang yang mengikutinya di belakangnya membawa beberapa dokumen dan sebuah tab. Dengan satu tangan, dia memberikan kode untukku. Kupercepat langkahku mendekatinya. "Iya, pak?" tanyaku dengan nada serendah mungkin sambil terus mengikuti langkah panjangnya. Tidak berani menatap balik mata coklatnya. "Kamu gunakan saja lift yang ini. Akan sangat lama jika harus menunggu itu." Pria yang mengikutinya tadi dengan cepat menekan tombol lift di depan kami. Memang, lift selain yang satu ini terlihat banyak pengantri di depannya. Hm, mungkin ini adalah lift khusus CEO. "Kamu dengar?" tanyanya. "Iya, pak. Saya mengerti," jawabku sambil menganggukkan kepala. Mengikuti langkahnya masuk ke ruangan kecil yang akan membawa kami ke lantai paling atas itu. Dia memutar kepalanya melihat ke arahku dari atas kepala hingga ke ujung kaki seolah sedang menilai. Tentu saja membuatku risih. Apakah penampilan terbaikku ini tidak pantas untuknya? Aku rasa tidak berlebihan juga. "Mulai besok, gunakan celana saja. Saya tidak ingin orang-orang menatap kakimu yang saya akui memang indah. Bukan pujian, hanya ingin menjaga image perusahaan." Sungguh, ingin rasanya aku mencekik lehernya. Maksudnya penampilanku menggoda orang lain? Bilang saja kalau dia memang menyukai kaki indahku. Dasar! Pria yang bersama dengan kami hanya diam saja. Ini pertanda kalau memang pria bernama Aldric ini memang mempunyai tabiat yang seperti ini. Inilah aslinya. Ternyata hanya tampilan awal yang pendiam dan jarang bicara. Baru hari pertama, sudah mengomel seperti ini. Mengomentari sampai masalah pakaian lagi. Menyebalkan! Ugh, hari pertama yang cukup buruk untukku. Mungkin ini alasannya dia butuh sekretaris secepatnya, karena tidak ada yang tahan dengan sikap menyebalkan miliknya. "Kamu dengar?" "Iya, pak." Saat itu juga pintu lift terbuka dan kami tiba di lantai yang kami tuju. Dua orang wanita yang ada di balik meja resepsionis itu langsung berdiri melihat kedatangan kami dan menudukkan kepala untuk menghormati sang CEO. Langkah Aldric terhenti tiba-tiba membuatku dan pria yang aku belum ketahui namanya itu juga berhenti. Dia berbalik badan. "Sarah, hari ini bantu Ratu melakukan pekerjaannya!" perintahnya. Wanita dengan rambut sebahu berwarna coklat terang yang berada di balik meja resepsionis itu mengangguk cepat dan melangkah mendekatiku. *** Ugh, ini hari yang melelahkan. Aku tidak menyangka dia akan memperlakukanku seperti ini. Bukan hanya jadi sekretaris, tapi juga jadi pembantunya. Dia punya asisten pribadi -pria yang sedari awal aku lihat mengikutinya, dan di kantor ini juga ada OB kan? Kenapa harus aku yang menyiapkan kopi juga makan siang untuknya? Menyebalkan! Aku memijat tengkukku yang terasa pegal. Kedua kakiku juga seakan mati rasa. Jalan kesana kemari dengan heel tujuh senti. Memang tidak terlalu tinggi. Tapi karena biasanya aku hanya pakai sandal jepit, jadilah begini. Kedua kakiku belum terbiasa seperti ini. Kulirik jam yang ada di sudut bawah layar komputer, masih dua jam lagi menuju jam pulang. Itu berarti aku masih harus menyiapkan diri jika dia butuh sesuatu. Huh, hari pertama saja sudah membuatku seperti ini. Aku tidak yakin akan bertahan dalam waktu yang lama. Ketampanannya yang menjadi pemandangan dan hadiah untuk sekedar dilihatpun sama sekali tidak memberikan sedikit saja kesegaran. Bagaimana tidak, tidak ada senyuman sama sekali di sana. Membosankan untuk melihatnya. "Bagaimana, Ra?" tanya Sarah yang sejak tadi membantuku. Nadanya terdengar sedikit menertawaiku. "Tidak apa, aku hanya belum terbiasa," balasku. Dia memberikan minyak angin yang diambil dari dalam tasnya. "Semoga bisa membantu. Sebaiknya mulai besok persiapkan hal seperti ini," bisiknya. "Apakah dia memang selalu seperti ini?" Sarah menggeleng dengan sedikit memanyunkan bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala. "Dulu tidak seperti itu. Ini terjadi tiga bulan belakangan ini setelah dia mengalami masalah dengan kekasihnya. Dan kamu sudah menjadi sekretaris ketujuh selama tiga bulan terakhir." What? Itu artinya mereka-mereka yang sebelumnya hanya bertahan selama dua minggu? Dan apa itu, hanya karena masalah dengan kekasihnya? Tidak profesional! Hari ini aku masih beruntung karena wanita murah senyum di sebelahku selalu membantu. Apalagi aku yang belum tau sama sekali letak-letak ruangan di kantor ini. Sangat terbantu olehnya. "Memangnya apa yang terjadi dengan mereka?" Kekepoanku muncul. Wanita yang lebih tua dua tahun itu mengendikkan bahu. "Aku hanya dengar kalau ada masalah di antara mereka. Tidak ada yang berani membahasnya. Kalau ketahuan, akan mendapat masalah darinya." Oh, seperti ituuu~~~ Sarah sendiri sudah tiga tahun ada di kantor ini dan menjadi resepsionis di lantai ini. Jadi dia kenal betul dengan perangai CEO tampan nan dingin bak balok es itu. "Nikmati sajalah. Semoga aura baik kamu membuatnya luluh," katanya menyemangati. "Dan sepertinya dia memang tertarik denganmu." Aku menatap gadis cantik di sebelahku. Dia tertawa pelan, takut ketahuan sampai ke ruangan di sebelah kami. "Ini masih lebih baik dibandingkan perlakuannya pada sekretaris sebelumnya. Jangankan perempuan, ada dua orang laki-laki sebelum kamu, mereka bahkan menyerah." Aku hanya meringis. Ah, bagaimana ini nasibku? Sarah menepuk pundakku bersamaan dengan pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok tampan dalam balutan jas donker miliknya. Hanya dengan gerakan satu jari telunjuk, dia memintaku untuk masuk ke ruangannya. Menoleh pada Sarah sekilas, aku mengikuti perintahnya dengan langkah cepat. Kalian tau, bagian belakang kakiku saja sudah kuberi handsaplast -yang untungnya tak sengaja terbawa dalam tas yang kupakai- karena lecet. Dia sudah duduk di kursi kebesarannya. Kedua tangannya memilah-milah beberapa map di mejanya. "Antarkan ini ke masing-masing divisi." Kalimat perintah yang sangat datar. Kuraih tumpukan map itu. Aku pikir ini semua divisi akan mendapatkannya, karena memang jumlahnya lumayan banyak. Aku menundukkan tubuhku sebelum keluar dari ruangannya. Aku jadi teringat akan peringatan pertamanya pagi tadi. Kalau aku mengenakan celana, memang akan lebih mudah untuk berjalan kesana-kemari. Dan besok sepertinya aku akan mengenakan flat shoes saja. Benar dugaanku, ini map harus aku bagikan ke seluruh divisi di lantainya masing-masing. Aku akan mempertanyakan posisiku sebenarnya. Aku ini sekretaris atau kuli? Sekembalinya aku ke mejaku, Sarah terlihat sedang membuka sesuatu di dalam komputer di mejaku. "Ada apa?" tanyaku. "Pak Aldric memintamu untuk memperlajari ini. Besok dia akan membawamu meeting dengan klien. Dan dia memintamu untuk mengurus jadwalnya mulai besok." Sarah menjawabku tanpa menoleh. Dia sepertinya terlalu terbawa dengan apa yang sedang dibacanya di sana. Aku mengambil posisi di sebelahnya. Ikut melihat monitor yang menyala. Ada jadwal yang sudah tersedia sebelumnya di sana. Pantas saja hari ini dia menyiksaku. Dia sama sekali tidak ada jadwal rapat dan bla-bla-bla. Dan kenapa dia harus menitipkan pesan itu pada Sarah? Sebelumnya kan aku bertemu dengannya. Dasar aneh! Rehan -pria yang sejak pagi selalu mengikutinya- terlihat tergopoh menuju ruangan itu. Aku menatap Sarah seolah bertanya ada apa. Gadis itu terlihat santai. "Itu berarti sudah jam pulang dan dia akan keluar sebentar lagi." Benar sekali. Keduanya keluar dengan Rehan yang membawakan tas kerja dan dia hanya memegang sebuah tab di tangannya. "Ikut denganku!" perintahnya datar. Kenapa tiba-tiba jadi begitu gaya bicaranya? Dengan terburu aku membereskan perlengkapanku yang masih berserakan di meja. Kalau aku tau ini sudah jam pulang, mungkin aku sudah kabur sejak tadi. Ah, aku juga lupa mengabari kak Bryan. Pintu lift hampir tertutup saat aku tiba. Nafasku bahkan masih terengah. Jaraknya memang lumayan jauh dari ruangan. Aku berdiri di belakangnya, memperhatikan kembali isi tasku yang bahkan belum sempat aku kancingkan. Dia masih belum bicara saat kami keluar dari ruangan kecil itu. Berjalan tegap tak mempedulikan kami berdua di belakangnya, juga salam hormat dari seluruh karyawan, disertai tatapan memuja dari sekian banyak wanita-wanita cantik di sini. "Hai, sayang. Kenapa tidak mengabariku? Teleponku juga tidak kamu jawab." Kak Bryan dengan wajah tak berdosa datang menghampiriku. Langkah tegap di depanku langsung berhenti, membuat Rehan juga ikut berhenti. Memutar tubuhnya yang dalam penglihatanku seolah sebuah gerak lambat yang detil. Ini pertanda bahaya. Bola mata coklatnya memicing melihatku dan kak Bryan yang merangkul bahuku. Mati aku!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD