Bab 3

1837 Words
"Kau dari mana? Kenapa rapi sekali?" Clara sudah ada di salon saat aku kembali. Rajin sekali dia setiap hari ke salon. Cari target sepertinya. Oops! "Habis wawancara. Dan... diterima," girangku. "Serius? Yeah!" Clara ikut girang bersamaku, bahkan memeluk dan mencium pipiku. "Dimana? Dimana? Jadi sekretaris?" Aku mengangguk. "Hm. Di Aldric Pratama Tbk, jadi sekretaris CEO." Saat teringat kembali raut CEO yang selalu datar itu, ekspresi senangku hilang seketika. "Tapi CEO-nya dingin banget kayak es. Lihat mukanya aja, aku jadi ikut-ikutan beku. Mukanya udah kayak balok aja, datar banget. Nggak ada ekspresi." "Aldric Pratama?"Clara mematung. "Hm, kenapa? Apa ada masalah dengan perusahaan itu?" "Oh, nggak. Sepertinya sering dengar." Ada yang beda dari sahabatku ini. Apa yang dia pikirkan? "Mulai kapan masuk kerja?" "Besok." "Hah?" Kedua matanya melotot padaku. "Besok? Kenapa bisa cepat sekali? Apa yang kau lakukan hingga bisa seperti itu? Kau tidak menggodanya kan?" Eish, bagaimana mungkin aku bisa menggodanya? Sekalipun aku memang ada rasa tertarik sekaligus penasaran dengan sosok datar dan dingin itu, tapi aku tidak serendah itu untuk menggodanya hanya demi diterima bekerja di sana. Lebih baik aku selalu berada di salon ini. "Kau pikir aku ini apaan?" kesalku. "Tidak ada yang tau apa yang bisa kau lakukan, Ra. Namanya saja Ratu, jadi apa yang diinginkan pasti akan dituruti." Aku hanya mencebik mendengar jawaban sahabat ku itu. Namaku memang Ratu, tapi bukan seperti ratu yang di kerajaan yang semua keinginannya akan terpenuhi. Itu hanyalah sebatas nama untukku. Apalah arti sebuah nama, kata orang. Dan memang begitulah adanya untukku. Nama itu hanyalah sebatas panggilan saja untukku. "Oh ya, bagaimana kalau untuk merayakan ini, kita makan di luar? Aku akan mengajak kak Bryan untuk mentraktir kita." Nah, bagaimana hubungannya dengan kak Bryan? Aku yang dapat kerja kenapa kak Bryan yang harus mentraktir? Sahabatku ini memang semakin aneh? Tidak mungkin kan ini pengaruh anjing baru? Kalau memang iya, aku akan menuntut pemiliknya itu. Jangan-jangan dia menyebarkan penyakit melalui anjingnya. "Kenapa kak Bryan?" tanyaku. "Lalu siapa lagi? Kau punya cowok yang bisa mentraktir kita?" Ia malah balik bertanya padaku. Cowok dari mana Cla, temanku hanya kau seorang. "Ayo." Dia menarik tanganku sambil mengucapkan salam untuk tante Salma. Aku bisa melihat kalau tante Salma hanya bisa tersenyum. *** "Aish, ini orang kemana sih? Lama banget datangnya?" gerutu Clara sambil memperhatikan ponselnya. "Mungkin dia memang tidak bisa, kenapa memaksanya? Kenapa kita nggak makan berdua saja?" tanyaku. "Dia sudah mengiyakannya tadi. Mungkin hanya terjebak macet, kita tunggu saja sebentar lagi." Kembali ponsel diletakkannya di meja. Ini sudah hampir satu jam kami menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda kalau pria tampan itu akan muncul. "Aish!" Clara lagi-lagi berdecak sebal. Kedua kakinya menghentak di bawah meja. "Lagian udah dibilangin kita makan saja, masih ngotot," ketusku. "Sorry, sayang. Jalannya macet parah." Seseorang yang kami tunggu muncul begitu saja dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi Clara. Sepertinya dia memang menyadari kekesalan adiknya hingga berlaku semanis itu. Kalau orang lain yang melihatnya, pasti akan mengira kalau mereka berpacaran. Tapi nyatanya... Clara melotot marah pada kakaknya itu. "Tadi kami jalan kenapa tidak ada macet sama sekali? Bilang saja kakak hanya cari-cari alasan!" kesalnya. Kak Bryan menghela nafasnya. "Kalau hanya untuk mendengar omelan, kakak balik aja deh." "Eh eh eh! Harusnya kan aku yang marah." Dia menahan tangan kakaknya yang akan beranjak. "Dan berhentilah bersikap sok mesra denganku. Aku ini adik kakak. Orang-orang bisa salah menilai. Kakak tidak mau kan hidup menjomblo seumur hidup?" Aku hanya bisa diam memandangi dua kakak beradik ini. Perdebatan mereka seolah sesuatu yang sangat menarik untuk disaksikan. Kak Bryan mengacak rambut adiknya. "Tidak mungkin. Kakak bahkan sudah punya target," katanya misterius. "Tapi sebelum bertanya apa-apa, mana makanan kita? Kita mau makan, bukan?" Clara menyengir. Ia pasti sudah melupakannya. "Jadi bagaimana kamu bisa diterima di perusahaan itu? Kamu tidak mencoba menggoda CEO-nya kan?" Pertanyaan itu muncul lagi dari kak Bryan setelah kami menyelesaikan acara makan siang kami. Kenapa semua orang menyangkanya seperti itu? Seburuk itukah image seorang sekretaris? "Kakak hanya bercanda. Tapi kamu serius akan melakukannya?" lanjut kak Bryan seolah mengerti apa yang aku pikirkan. "Iya, kak. Mungkin memang lebih baik. Lagipula kata tante Salma, bisa saja aku bertemu dengan seorang pria yang tampan dan mapan di sana. Tidak yang tau kan?" Kak Bryan tersenyum. "Ya, memang. Tapi jangan mudah percaya dengan orang-orang seperti itu. Banyak bohongnya." "Kakak juga?" tuduh Clara cepat. Kak Bryan memutar bola matanya, menatap malas pada Clara. "Apakah kakak seburuk itu di mata kamu?" tanyanya. "Kakak sendiri yang bilang. Jadi wajar saja kalau aku curiga," gumam Clara. "Tapi nggak! Aku nggak akan membiarkan kakak jatuh ke pelukan wanita-wanita yang aku tidak kenal sama sekali. Aku akan mencarikan kakak seorang yang baik, yang pantas untuk menjadi kakak iparku." "Bagaimana dengan Ratu?" Aku tersedak ludah sendiri. Apa yang mereka maksudkan? Clara menatapku dengan senyuman yang menyiratkan sesuatu. Sepertinya sedikit berbahaya. Apa yang dia pikirkan? "Oke, aku setuju. Sebelum dia terjatuh ke pelukan lelaki yang salah, ada baiknya kita ikat saja dia sekarang." Aku menatap keduanya bergantian. Ada perasaan was-was. Jantungku berdegup sangat kencang, seperti sedang ada dalam penantian akan hukuman pancung. "Bagaimana, Ra? Hm, sebenarnya sih aku memang berniat melakukannya sejak awal," jujur Clara. "Semuanya sudah aku atur, hanya saja aku belum ketemu waktu yang pas." Apa? "Apa maksudmu?" tanya kak Bryan. Clara memukul lengan kakaknya dengan keras. "Kakak ini bodoh ya? Masa sih tidak bisa melihat apa yang sudah aku lakukan untuk kakak? Jadi selama ini kakak tidak melakukan apa-apa?" tanyanya emosi. Memangnya apa yang harus kak Bryan lakukan? "Tentu saja kakak tidak tau. Kamu tidak pernah mengatakannya pada kakak." Jadilah sekarang aku hanya menonton perdebatan lagi. Kebiasaan dari dua makhluk di hadapanku. Clara mendesah panjang. "Aku sungguh menyesal punya kakak sebodoh ini," gerutunya. "Sudah tau ada kesempatan, masih saja disia-siakan. Bodoh sekali!" umpatnya. "Apa? Bodoh? Bodoh kamu bilang? Apa perlu kakak tunjukkan semua pencapaian kakak di depan kamu?" Dan perdebatan belum juga berakhir. "Maaf ya, Ra," sesal Clara. "Harusnya kita menikmati makan siang ini, tapi nyatanya karena kak Bryan semuanya jadi seperti ini." "Kenapa jadi kakak lagi yang disalahkan?" Apakah kak Bryan berencana untuk memulai perdebatan sesi selanjutnya? Oh, ini bahkan sudah tiga jam sejak aku dan Clara tiba di tempat ini. Mungkin kami akan menjadi pelanggan terlama yang duduk di sini. "Jangan memulai perdebatan lagi. Aku ingin menikmati waktu-waktu bersama sahabatku sebelum dia akan sibuk di kantornya nanti." Clara menyedot jus jeruknya. "Hm, aku ke toilet sebentar." Tanpa menunggu apa-apa, dia langsung berdiri dan meninggalkan kami. Tapi sedikit aneh, kenapa dia harus membawa tasnya segala? Kak Bryan menyaksikan kepergian Clara hingga tubuh gadis itu tak terlihat lagi, menghilang di balik tembok. Dia mendesah panjang, kembali menatapku. Membuatku salah tingkah saja. "Maaf soal tadi," katanya memulai pembicaraan. Aku mengangguk. Lagi pula tidak ada yang harus dipermasalahkan bukan? Ponselnya yang berdering membuatnya memutus pandangan kami. Dia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Hembusan nafas kasar yang terdengar setelah ia membaca pesan itu. "Ada apa, kak? Apakah terjadi sesuatu?" tanyaku. Kak Bryan menggeleng. "Tidak, tidak ada apa-apa." Dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja di luar. Bukankah kalian sudah lama ada di sini?" tawarnya. "Eh? Bagaimana dengan Clara?" "Tadi dia yang mengirimkan pesan ke kakak. Katanya dia sudah pulang. Mama menelefonnya, mengatakan kalau anjingnya membuat kerusuhan di rumah." Benarkah? Terlihat sedikit mencurigakan. "Hm, ya sudah." Aku juga sudah bosan berada di tempat ini. Duduk selama itu membuat pantatku sedikit kebas. Kak Bryan membawaku ke taman kota. Hari yang sudah semakin sore membuat pemandangan di tempat ini semakin indah. Banyak orang-orang yang juga menikmati udara segar di sini. "Mau kembang gula?" tawarnya. "Eh? Hm, iya." Aduh, sejak tadi aku hanya ah-eh ah-eh saja. Kak Bryan tersenyum kemudian berjalan cepat mendekati seorang penjual kembang gula di atas sepedanya. Dia kembali dengan dua kembang gula di tangannya. Senyumnya mengembang sempurna. Ah, dia sangat tampan. Kami melanjutkan perjalanan santai hingga akhirnya berhenti di salah satu kursi yang memang disediakan. Di bawah pohon rindang dengan pemandangan sunset di depan. Sungguh indah sekali. Kalau dilihat bersama dengan pacar, pasti akan romantis. "Ra." "Hm?" Aku menoleh padanya, hanya sesaat. Satu tanganku masih sibuk menyubit kembang gula dan memasukkannya ke mulut. Makanan masa kecil yang terus aku sukai sampai saat ini. "Bagaimana pendapatmu tentang kakak?" Aku menatapnya dalam. Seolah sedang memikirkan jawaban yang pas untuknya. "Kakak tampan," balasku. "Hanya itu?" "Hm... Kakak juga baik, ramah, humoris, dan mapan. Idaman banyak wanita tentu saja." Entah kenapa kalimat terakhir itu bisa keluar dari mulutku. "Bagaimana denganmu?" "Eh?" Tuh kan, kambuh lagi. Kak Bryan tersenyum. Entah sudah keberapa kalinya sejak aku melihatnya beberapa jam yang lalu. "Apakah kakak termasuk idamanmu juga?" Ya, aku memang memiliki tipe pria idaman sepertinya. Baik dan perhatian. Terlebih, dia humoris dan mudah berbicara apa saja. Akan mudah baginya mencari topik pembicaraan. Tapi kan dia kakak sahabatku. Aku juga menganggapnya sebagai kakakku. Tidak ada niatan untuk menjadikannya pria yang spesial untukku. "Mau jawaban jujur apa bohong?" tanyaku. "Ya, terserah kamu." Aku menoleh sebentar padanya, kemudian membuang pandanganku pada pemandangan sunset di depan. Kegiatan mencomot kembang gula juga kuhentikan. "Jujur sih, kakak memang tipe pria idamanku. Hanya saja, aku juga menganggap kakak sebagai kakakku, sama seperti Clara. Aku tidak bermaksud sama sekali merebut perhatian kakak dari Clara, apalagi merebut kakak sepenuhnya." Usai mengucapkannya, aku kembali menoleh padanya. Senyum misterius tersungging di bibirnya. Menghapus jarak di antara kami yang otomatis membuatku menarik mundur wajahku. "Tapi Clara tidak pernah berpikir seperti itu. Justru dia menginginkan kamu menjadi kakak iparnya." Aku teringat kembali kata-kata Clara di restoran tadi. Apakah itu perkataan serius dan bisa dipercaya? Aku tau persis Clara yang sebenarnya. Aku sudah sejak lama berteman dengannya. "Bagaimana?" "Eh?" "Come on, Ratu. Kamu bukan lagi anak kecil yang tidak mengerti pertanyaan kakak." "Memangnya kakak mencintaiku? Atau setidaknya, sedikit menyukaiku?" Kak Bryan tertawa lepas. "Hei, lihat." Tangannya menahan daguku hingga tatapan mata kami bertemu, saling memandang tajam. "Kakak tidak mungkin meminta kamu menjadi kekasih kakak kalau memang kakak tidak mencintaimu, atau sekedar menyukaimu. Dengar baik-baik Ratu Brigita, aku mencintaimu," ucapnya penuh penekanan. Bisa kupastikan wajahku memerah sekarang, karena rasanya sangat panas. Padahal sejak tadi tidak sebegitu panasnya. Matahari juga sudah semakin rendah. Jadi sudah pasti bukan karena suhu luar, tapi suhu dari dalam tubuhku sendiri. "Sejak kapan?" Malah pertanyaan itu yang muncul di otakku. Kak Bryan menggigir bibir bawahnya. Oh, itu gerakan s*****l yang bisa merusak iman seorang gadis biasa sepertiku. Jangan diteruskan! Dia menggeleng. "Aku tidak tau, sejak pertama kali berbicara denganmu, mungkin," katanya. Pertama kali berbicara denganku, itu kan sudah sangat lama. "Se-lama itu? Tapi bukannya kakak waktu itu punya pacar?" "Ya. Dan jujur saja kami putus setelahnya." Aku meringis. Aku tidak ingin menjadi alasan berakhirnya hubungan orang lain. Aku tidak ingin dituduh macam-macam dan akhirnya harus menerima pembalasan aneh-aneh dari mereka seperti di dalam beberapa novel yang pernah aku baca. "Bukan karena kamu. Clara tidak menyukainya dan mencari masalah dengannya. Dan... ya begitulah. Aku terlalu menyayangi Clara waktu itu." "Dan sekarang tidak?" Dia tertawa. "Tentu saja masih sayang juga. Apalagi dia memberikan sahabatnya menjadi kekasih kakaknya. Kurang baik apa dia jadi seorang adik? Aku akan sangat berterima kasih padanya." "Tapi kan aku belum menerima kakak." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD