Bab 2

1371 Words
Kenapa malah jadi seperti ini? Tadi Clara-lah yang meminta untuk makan malam dulu, tapi malah dia kabur. Dengan alasan takut anjingnya hilang lagi, dia malah pulang lebih dulu naik taksi. Huh, ada-ada saja kelakuan gadis satu ini. Di sinilah diriku sekarang. Hanya berdua dengan kak Bryan. Aku sudah memintanya untuk pulang saja, dia malah ngotot harus makan dulu. Jadilah aku hanya bisa mengikutinya walau perasaan sedikit bingung. "Kamu bukannya ngambil sekretaris dulu?" tanyanya di sela perbincangan kami. "Iya. Tapi jadi nggak pengen, kak." Kak Bryan mengangkat kedua alisnya. "Kenapa? Bukannya jadi sekretaris itu enak ya? Aku lihat sih sekretarisku begitu. Kalau saja lowongan itu kosong, aku bisa mengajakmu gabung." Aku meringis. "Udah nyaman kak dengan yang sekarang. Siapa tau nanti bisa punya salon sendiri seperti tante Salma. Oh iya, kakak udah lama nggak berkunjung." Seingatku, sekitar setengah tahun yang lalu pria ini terakhir kali berkunjung ke sana. Belakangan ini tidak pernah lagi. "Tidak punya cewek lagi ya kak yang ngajak ke salon?" candaku. "Niatnya mau kamu aja, biar setiap hari ada alasan berkunjung," balasnya bercanda dengan tawa. Tapi hal itu malah membuatku menegang. "Ya udah yuk." Dia bangkit berdiri setelah meletakkan dua lembar uang ratus ribuan di meja. Ah, senangnya punya banyak duit. Enak sekali rasanya menarik uang itu dari dalam dompetnya. *** Mimpi apa aku semalam? Tante Salma mengungkit masalah sekretaris lagi di hadapanku. Katanya ada sebuah perusahaan yang membuka lowongan untuk sekretaris. Bukan sembarang perusahaan, itu adalah perusahaan besar di negeri ini. "Sudahlah. Coba saja dulu. Sia-sia kamu dibayarin orang yang punya duit tapi nggak dimanfaatin." Ya, aku menyelesaikan kuliahku dengan beasiswa. Siapa lagi yang bisa membayarnya untukku? Tante Salma punya empat anak yang harus dia hidupi seorang diri. Suaminya sudah meninggal bahkan saat usia anak bungsunya masih balita. "Apalagi itu perusahaan besar itu sedang buka lowongan yang banyak. Kalau memang tidak bisa jadi sekretaris, kamu bisa ditempatkan di posisi lain." "Iya, tan. Nanti aku pikirkan. Tapi itu tidak berarti tante memecatku, kan?" "Tentu saja tidak. Kita ini masih keluarga, saling membantu. Tante juga mengingatkanmu supaya hidupmu lebih baik. Mungkin di tempat itu juga kamu bisa bertemu dengan pria yang mapan. Siapa yang tau?" Ugh, aku teringat lagi gosip-gosip sekretaris menjadi simpanan bosnya. Itu termasuk kan, bertemu dengan orang mapan? Hanya saja salah jalan. Tante Salma mengambil sesuatu dari laci uangnya. "Nih, tante punya kartu nama CEO-nya. Ada alamat perusahaannya di situ. Kamu bisa masukin lamaran secepatnya." Aku meraihnya. Membaca apa yang tertulis di sana. Abrisam Aldric Pratama CEO Aldric Pratama Tbk. Sebuah perusahaan investasi yang sangat terkenal. Sanggupkah aku jika harus bekerja di sana? Jangan-jangan keberadaanku yang sudah dua tahun meninggalkan dunia sekretaris malah akan menghancurkan mereka. Dan nama ini... hei, sudah pasti nama ini sangat familiar karena perusahaan miliknya sangat terkenal. Aku bahkan mungkin saja sudah pernah atau beberapa kali melihat wajahnya di media. "Ada apa? Ini pelanggannya nggak diperhatiin nih?" Aku terkaget mendengar suara itu. "Kak Bryan?" Ia terkekeh. "Iya. Hai, aku datang berkunjung. Kemarin seseorang menuntutku karena sudah lama tidak berkunjung. Ya sudah, aku datang saja. Tapi aku kecewa, beginikah pelayanan di salon ini?" candanya. "Jangan sok dramatis, Bryan. Kau tidak merindukan tante? Mentang-mentang jadi GM sudah lupa dengan tempat ini." Aku mencebik ke arah tante Salma. "Tante juga sok dramatis. Kakak mau diapain nih?" tanyaku. "Dicium boleh?" "Eh?" Aku melotot padanya. Kak Bryan tertawa lebar. "Maksudnya guntingnya yang nyium rambut kakak. Kakak mau model terbaru, biar lebih muda." Pembawaan laki-laki ini sangat santai hari ini. Gaya bicaranya saja tidak lagi sekaku semalam. Memang aslinya juga sedikit humoris sih. Mungkin hanya karena sudah lama saja tidak bertemu. "Kayaknya udah keliatan tua banget nih, nggak ada cewek yang mau nempel," lanjutnya. Sembari aku menangani rambutnya, kak Bryan memilih untuk membaca majalah yang kami sediakan. Kalau seperti ini, dia akan semakin tampan. Dan... hei, lihat wajah datar itu. Sangat mirip dengan pria yang aku lihat dua hari lalu. "Kak..." panggilku. "Hm?" Dia bergumam, memandang ke arah mataku dari cermin. Sebenarnya aku sangat ragu untuk menanyakannya. "Kakak masih punya kakak atau saudara kembaran gitu? Soalnya kemarin aku ketemu orang, mirip sama kakak. Hampir aja aku manggil dia dengan nama kakak." Dia malah terlihat sedikit berpikir. Sebuah senyuman kemudian menyungging. "Benarkah? Aku ingin bertemu dengannya. Mungkin kami bisa foto bersama, kemudian kuminta saja dia menjadi saudara kembarku." Yang benar saja! "Eh? Kakak ada di sini? Cie, kayaknya ada kemajuan nih." Tiba-tiba saja Clara sudah menongol di dekat kami. Tumben sekali dia tidak mengeluarkan suara halilintarnya. Datang dengan adem-ayem saja. Apa karena pengaruh anjing barunya? "Mau ngapain, Cla?" tanya kak Bryan. Clara menghempaskan tubuhnya ke kursi di sebelah kak Bryan. Kulihat pandangan mereka bertemu di sana. "Aku kan biasa ke sini, kak. Emang kakak, mau pacaran?" "Siapa yang pacaran?" protesku. "Nggak takut anjingnya diambil orang lagi?" tanya kak Bryan. "Ra, aku juga mau dong perawatan. Masa iya kalah sama kak Bryan." Clara malah mengalihkan pembicaraan. Hal yang sangat jarang Clara lakukan. Biasanya hanya hewan-hewan peliharaannya yang diberikan perawatan. "Ya udah, noh sama tante Salma," celutuk kak Bryan. Clara mendelik pada kakaknya. "Nggak mau ya acara berduanya diganggu?" "Iya, bisa-bisa Ratu nggak fokus sama guntingnya, malah kuping kakak yang digunting. Kan nggak lucu kalau kakak cuma punya satu kuping." "Huu..." Clara mencebikkan bibirnya, kemudian bangkit menuju tante Salma. Seriusan dia mau perawatan? Akan kuabadikan! *** Seperti kata tante Salma kemarin, hari ini akhirnya aku memasukkan lamaran ke perusahaan yang dia maksud. Berkas-berkas, cek. Semuanya sudah komplit. Aku mematut diriku di depan cermin. Melihat kembali penampilanku, apakah sudah cocok menjadi seorang sekretaris. Aish, mimpi! Ini masih masukin berkas. Harusnya, apakah sudah pas sebagai seseorang yang sedang minta dikasihani. Kupoles sekali lagi wajahku dengan bedak, sedikit menambah blash on biar tidak pucat. Lipstik pink lembut di bibir. Tinggal satu lagi. Sepatu. Oke, siap. Aku menarik nafas dalam-dalam. Pasti bisa! Aku menyemangati diriku sendiri. Kuhentikan kakiku saat tiba di depan gedung tinggi yang alamatnya tertera di kartu nama yang kumiliki. Mendongakkan kepala, memandang gedung tinggi itu. mempersiapkan diri untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke sana. Dengan langkah yakin, aku memasuki gedung tinggi di hadapanku. Apapun yang terjadi, terjadilah. Hei, bukankah itu pria yang dua hari lalu ke salon? Wow, setelannya membuatnya semakin bersinar. Kupikir dia orang penting juga di gedung ini. Apalagi itu ada dua orang yang setia mengikutinya. Aduh, kenapa aku malah memandanginya? Sebaiknya menyelesaikan urusanku secepatnya. Kalau tidak, bisa-bisa aku melihat semakin banyak orang tampan nan kaya di tempat ini, malah membuatku kecantol. Apa lagi ini yang aku pikirkan? Kutemui seseorang yang ada di balik meja resepsionis. Menanyakan dimana aku harus memasukkan berkas lamaranku. "Oh itu. Mbak langsung saja ke lantai dua puluh empat. Di sana mbak akan dituntun oleh resepsionis di lantai itu." Wanita cantik itu tersenyum ramah. Kuanggukkan kepala dengan yakin. "Terima kasih."Lantai dua puluh empat. Ah, tinggi sekali. Ting! Lift sudah mengantarkanku hingga ke lantai yang kutuju. Lagi-lagi seorang wanita menyambutku dengan senyuman hangatnya. "Ada yang bisa saya bantu?" Kujelaskan maksudku untuk memasukkan lamaran sekretaris. Wanita itu mengambil berkasku, kemudian memintaku untuk menunggu. Kuputuskan untuk duduk si salah satu kursi yang tersedia di sana. Hampir satu jam menunggu, akhirnya wanita tadi memanggilku kembali. "Silahkan, mbak. Sudah ditunggu sama pak Aldric." What? Langsung berhadapan dengan CEO? Kenapa seperti ini? "Memang seperti ini, mbak?" tanyaku heran sekaligus gugup. "Kebetulan beliau butuh sekretaris secepatnya. Jadi akan berhadapan langsung dengan beliau. Silahkan." Wanita itu menggunakan tangannya untuk menuntunku. Alamak! Aku pikir akan tes seperti biasanya. Bisa mati berdiri aku kalau orang yang dimaksud itu menyeramkan. Kabur dari sini di saat seperti ini sudah tidak mungkin lagi. Deg! Dia? CEO-nya dia? Pria itu? Dia menghentikan aktivitasnya dengan laptop di depannya. Saat itu juga pandangan kami bertemu. "Silahkan," katanya dengan nada tegas. Aku mengerjap beberapa kali, meyakinkan kembali diriku kalau penglihatanku tidak salah. Apa dia tidak mengingatku? Aish, memangnya aku ini siapa harus dia ingat? Kugetok kepalaku pelan. Saat kembali menatapnya, ternyata dia memandangiku. Aduh, salah lagi nih. "Bisa kita mulai?" Tatapannya sungguh tajam. *** Hei, aku diterima menjadi sekretarisnya. Wow, ini luar biasa. Aku yang belum mempunyai pengalaman sama sekali akan menjadi sekretaris CEO. Boleh aku berbangga diri? Tapi ada masalah. Apa aku bisa bertahan untuk tidak tergoda pesonanya? Dia hanya datar begitu saja sudah membuat jantungku berdebar. Padahal sewaktu di salon itu, tidak terjadi apa-apa. Ah, aku pikir aku yang memang sedang bermasalah. Ya, jantungku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD