Reunion

1556 Words
Aulia POV Setelah 6 tahun kami dipisahkan oleh jarak dan waktu, bukan lagi anak-anak polos yang bisa tertawa lepas tanpa batasan. Sekarang, kami harus bertemu lagi dengan kondisi yang berbeda. Dia berubah jauh lebih tinggi, lebih jangkung dari terakhir kali aku bertemu dengannya. Itu sekitar 12 tahun yang lalu (ya iyalah, everybody changes gitu loh, apalagi selama belasan tahun), suaranya jadi terdengar lebih berat, tulang rahangnya terlihat kokoh, rambutnya cepak ber-wax rapi warna hitam kecoklatan. Terus, wajahnya itu ... MasyaaAllah, blasteran Jawa-Kanada, sih. Wajar kalau ganteng banget! Meskipun kulitnya putih pucat --lebih putih dari aku, hiks-- tapi hidungnya mancung, terus matanya kecoklatan gitu kayak kacang hazel, dan bibir merahnya semakin tipis ketika tersenyum.  Aku tahu dari mana semua itu? Aku sering curi-curi pandang. Pas kemarin dia sama Om dan Tante berkunjung ke rumah kami, aku sering lirik-lirik dia.  Astaghfirullah. Ampuni aku, Ya Allah. Aku mengagumi seseorang yang bukan mahramku. Dosa, Lia! Dosa!  Tapi jangan salahkan aku. Cowok bule ini yang sering mengejarku kemana-mana. Aku ke kampus diikuti. Aku ke kantin dikepoin. Aku ke kamar mandi ditungguin. Semua itu masih bisa kuhindari dengan berlari dan bergabung dengan teman-teman kampusku. Terus sekarang, dia masih juga mengejarku sampai ke perpustakaan ini. Maunya apa, sih? Lelah adek, Bang. Eh, apa ini? Dia menyorongkan secarik kertas di sebelah lenganku. Ya, ampun. Kayak jaman batu aja sih pakai surat-suratan segala. Nulis apa sih dia? Kuambil lalu kubuka kertas itu untuk dibaca. 'Assalamu'alaikum' Aku tertegun. Bukan apa-apa. Pasalnya, mau ngucap salam saja pakai ditulis segala sih, Bang? Aku kan jadi tambah gemes. Astaghfirullah. Harus kubalas apa ya salamnya?  Otakku berusaha memutar ulang pelajaran dari Ummi tentang adab dan sunnah Rasul. Ketika non Muslim mengucap salam pada kita, sebaiknya kita balas dengan ... Mmm ... Apa, ya? Ah, iya! 'Wa'alaikum' Kutulis cepat jawaban itu. Lalu, kusorongkan kertas itu padanya. Fiuh, Alhamdulillah, akhirnya bisa kubalas juga salamnya.  Tapi kemudian suasana di antara kami mendadak jadi sunyi. Sebuah dengkusan terdengar jelas di telingaku. Sepertinya dia lagi menghela napas berat. Berat banget. Apa aku salah jawab, ya? Lha memangnya aku harus balas salamnya dengan apa? Kata Ummi, jika ada seorang non Muslim mengucap salam, sebaiknya kita jawab dengan kalimat yang kutulis di kertas tadi. Sudah betul sesuai dalil, kok. Aku bahkan masih ingat haditsnya. “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan ‘wa’alaikum’.” (HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163) Tapi aku nggak bisa menjelaskan itu padanya. Kenapa? Karena kita beda keyakinan. Aku Islam. Dia Katolik. Aku bingung harus memberi literasi yang belum tentu ia percayai. Selain itu, aku juga sedang grogi setengah mati. Bayangkan saja, sudah lama kami nggak bertemu. Wajar kan kalau aku grogi. Ditambah, semua perubahan fisik pada dirinya membuatku jadi semakin adem panas nggak karuan. Meskipun kami nggak berkhalwat, sedang berada di dalam perpustakaan kampus, tapi... Astaghfirullah, sepi sekali perpustakaan ini. Wajar sih, karena sekarang jam makan siang. Para mahasiswa sudah pasti lebih memilih memenuhi kantin atau warung di sekitar kampus daripada hanya sekedar nongkrong di perpustakaan ini. Jangankan jam makan siang, jam normal saja jarang ada mahasiswa yang mau datang ke sini kecuali lagi kepepet ngerjakan tugas, ya kan? "Ada apa dengan balasan salammu?"  Suara bariton itu bikin aku kaget lagi. Cowok blasteran ini tiba-tiba bertanya dengan nada sinis dan nggak ramah sama sekali. Tuh, kan, bener. Dia nggak terima dengan balasan salamku. Soalnya, orang awam tahunya dimana-mana tuh jawaban salam ya 'Wa'alaikumsalam'. Padahal nggak sama. Duh, gimana dong aku harus ngasih penjelasan? "Nggak ada apa-apa." Aku jawab gitu, dia jadi tambah sinis nggak, ya? Pokoknya sudah kujawab. Daripada aku diam, nanti malah dikira nggak sopan.  Bodo amatlah. Aku tutupi wajahku dengan buku, pura-pura lagi baca, padahal lagi grogi berat. Dari tadi, wajahku sudah kupasang sedatar mungkin. Tapi pipiku rasanya panas banget. Aku malu kalau sampai ketahuan lagi grogi gini. Malu banget! Terserahlah. Aku nggak peduli mau dinilai apa. Aku juga nggak tahu harus menjelaskan bagaimana. Kami berdua beda keyakinan, sih. Dia Katolik. Aku Muslim. Aku takut penjelasanku akan melukai hatinya. Hari gini kan Islam selalu dinilai negatif. Kalau aku bilang dia Kafir nanti dia sakit hati. Serba salah, kan? Jadi, lebih baik aku diam. Lagipula, jantungku sejak tadi aneh banget, nggak bisa diajak kompromi, berdebar-debar kayak mau ngajak perang. Aku jadi makin gugup. Gret ... Mati aku! Dia malah menggeret kursi di sebelahku, terus .... duduk di situ!  Aaa... merem aja, deh. Pura-pura nggak lihat. Tapi nggak mengubah keadaan. Dia masih tetap duduk di sampingku, gimana, dong? Nih orang maunya apa, sih? Ya, Allah. Aku semakin gugup. Refleks, kupandang dia seper-sekian detik. Kemudian, kugeser kursiku menjauhi kursinya dengan jarak beberapa centi. Sekali lagi, aku berdoa dalam hati. Semoga dia tidak tersinggung dengan sikapku ini. Tapi kalau aku nggak ngomong, mana dia bisa paham hal itu? Dia bukan paranormal yang bisa tahu isi hatiku tanpa aku harus ngomong, kan? "Jangan tersinggung. Aku hanya tidak nyaman duduk berdekatan berdua denganmu. Kita bukan Mahram," jelasku akhirnya. Fiuh, benar-benar kayak lagi ikut acara uji nyali. "Oya? bagaimana dengan balasan salam-mu?"  Bukannya paham, eh dia malah ngungkit balasan salamku tadi, Kayaknya dia masih belum puas sama jawabanku. Duh, Gusti. Masa iya aku harus balas kalau dia kafir, sih? "Apa yang perlu dibahas? Aku sudah membalas salammu kan?" Aku tuh lagi berusaha bersikap tenang. Padahal hatiku lagi ambyar banget ini. Semakin gugup, sikapku malah jadi semakin sinis. Tolong, Ya Allah! Nggak ada suara. Aku penasaran sama reaksinya. Wajahnya sekarang seperti apa, dong? Aku nekat mellihat dia dari sudut mataku. Ternyata,dia lagi mengambil ponsel dari dalam tas, dan mulai mengetik sesuatu di layar. Aku nggak ngerti dia lagi ngetik apa, nggak bisa lihat. Tapi Alhamdulillah, deh, mungkin dia lagi sibuk sosmed-an atau nge-game. Entahlah. Setidaknya, dia nggak mepersoalkan perbedaan keyakinan kami lagi. Meskipun sebenarnya aneh juga, ya. Kita jadi saling diam begini. Apa aku kabur sekarang aja, ya? Sopan nggak, sih? Nanti dikira aku orang yang kurang ajar, tiba-tiba melarikan diri tanpa pamitan. Tapi, wallahi, aku nggak tahu harus ngomong apa? Bingung, Ya Rabb! Aku kenalin. Cowok blasteran bule ini bernama Andrew Hazel Stankhoff nama yang sulit untuk dieja, aku tahu. Itu karena Papanya seorang warga berkebangsaan Kanada. Terus nama Stankhoff didapat dari kakeknya yang keturunan Jerman. Dulu, dia pernah cerita hal itu padaku. Iya, dulu. Dulu kami akrab banget. Dia tetangga sebelah rumah. Meskipun bule, tapi dia dikekang sama mamanya, nggak boleh mainan sama sembarang anak di sekitar perumahan kami. Hanya anak-anak tertentu saja yang boleh mainan sama dia, termasuk aku. Namanya anak kecil belum baligh, dulu kami masih polos-polosnya, belum ada batasan mahram. Jadi kami masih bisa bertingkah konyol, lari-larian kesana kemari, tuker-tukeran permen buat diemut bareng. Sekarang, jelas kami telah berubah. Usia yang membuat kami jauh berubah, nggak bisa balik seperti dulu lagi ketika perbedaan tak menjadi masalah bagi kami. Sejak kepindahannya ke Kanada, saat kami berusia 12 tahun, Andrew harus menyusul papanya untuk melanjutkan sekolah di sana. Tapi bulan lalu, pas aku baru pulang OSPEK, Abi memberitahuku bahwa cowok ini akan pindah kembali ke sini dan kuliah di Universitas Brawijaya ini,tapi beda jurusan. Aku mengambil jurusan Ilmu dan Kebudayaan Asing. Sedangkan dia mengambil jurusan Teknik Elektro. Betapa kagetnya aku mendengar kabar itu. Teman masa kecil yang kukenal sejak balita hingga mendekati baligh dan terpisah selama 6 tahun, tiba-tiba balik lagi. Sedikitpun, aku nggak pernah membayangkan akan bertemu dengan cowok bule ini lagi. Lebih kaget lagi, beberapa hari yang lalu, dia dan kedua orangtuanya bertamu ke rumah kami, demi menjalin tali silaturahim yang sempat terpisahkan jarak. Nah, saat itu pertama kalinya kami bertemu kembali sejak 12 tahun yang lalu. Di pertemuan itu, aku dibuat kagum sama perubahan fisiknya yang begitu drastis. Kalau nggak takut dosa, aku nggak yakin bisa menjaga pandangan mataku darinya. Iya memang, dia segitu tampannya. Serius. Dia blasteran sih, jadi kebayang kan gantengnya kayak apa. Nggak tau deh, udah berapa ratus kali kurapalkan kalimat istighfar setiap kali bertemu dengannya. Jujur, aku tuh takut banget jatuh ke dalam dosa zina mata karena nggak bisa menundukkan pandangan. "Because i'm kafir, isn't it?"  Hah? Dia ngomong apa? Dia bilang dia Kafir? Yaa Rahman. Yaa Rahiim. Masih juga dibahas balasan salamku yang tadi? Dari tadi dia ngapain aja, sih? Udah bagus mainan HP, kok tiba-tiba nanya gitu lagi? Dirundung penasaran, mataku melirik HP tipe canggih yang sedang dia pegang. Di layar HP itu, aku menangkap berderet-deret tulisan, bukan animasi game, atau logo sosmed yang familiar. Tapi semacam tulisan artikel. Loh, jangan-jangan? Hmm, aku paham sekarang. Ternyata sejak tadi dia sibuk browsing balasan salamku. Ampun, Gusti. Kuhela napas panjang. Lalu, kuhempaskan punggung ke sandaran kursi sambil memijit-mijit kening, berusaha mengusir penat yang menumpuk di kepala. Sejak tadi aku sudah menahan gugup dan canggung yang entah sampai kapan akan terus seperti ini.  capek banget, ya Allah, meladeni bule sok rempong ini "Aku tahu, banyak yang nggak suka istilah kafir. Tapi memang seperti itu yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur'an." jawabku menjelaskan semampunya."That's why i don't wanna talk about it," lanjutku sok Inggris. Lha dari tadi dia juga ngomong pakai bahasa Inggris terus, sih. Aku juga bisa kok ngomong pakai bahasa Inggris. Huh! Aku tuh jengkel sama dia. Sudah 6 tahun kami berpisah, tapi dia malah membahas pertanyaan t***l yang seharusnya nggak perlu dipermasalahkan lebih lanjut lagi. Bukankah masih banyak hal lain yang bisa kami diskusikan, topik dan tema bahasan lain selain perbedaan agama kami? Seperti pengalaman belajarnya di Ottawa mungkin, atau perbedaan pergaulan antara di sana dan di sini, atau apalah selain membahas soal balasan salamku.  Alah, mbuh. Mungkin aku yang terlalu berharap banyak dia bisa memahamiku setelah sekian lama kami berpisah. Lebih baik aku segera pergi dari sini. Sebelum mulutku nggak bisa dikontrol lagi untuk nggak memaki-maki dia. Buru-buru kumasukkan buku ke dalam tas, berdiri dan beranjak dari kursi, lalu pergi meninggalkannya. Bubye, Andrew!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD