Never Be The Same

811 Words
Andrew POV Aku keluar dari perpustakaan kampus, menyusul Lia yang meninggalkanku begitu saja. Berani-beraninya dia meninggalkanku lagi! Sekesal apapun, tak bisa kuabaikan rasa penasaranku beberapa minggu ini. Sampai kapan dia mengacuhkanku? Aku mengejarnya kemanapun dia pergi, dan dia berlari tiap kali melihatku. Seperti anjing dan kucing. Aku tak suka itu! Langkahku terhenti, ketika melihat Lia sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu karena tertutup topi. Meski Lia membelakangiku, masih samar kudengar dia berbicara dengan santai dan tertawa dengan laki-laki itu, sangat kontras dengan cara bicaranya padaku. Tak bisa kutepis, rasa kecewaku menyaksikan pemandangan menyebalkan itu. Kupikir dia bersikap acuh pada setiap laki-laki yang bukan mahram, dan harus menundukkan wajah untuk menghindari tatapan lawan bicaranya yang berbeda jenis kelamin. Tapi ternyata aku keliru. Dia hanya acuh padaku. Tunggu. Atau jangan-jangan karena lelaki itu sama dengannya, seorang Muslim, sedangkan aku bukan? Tidak, aku tak mau menuduh tanpa bukti. Aku bukan orang yang berpikiran sepicik itu. Atau mungkin laki-laki itu pacarnya? Lia menjauhiku karena takut pacarnya cemburu? Terlalu ganjil jika benar begitu. Menjauhiku karena bukan mahram, tapi justru berpacaran dengan laki-laki itu? Non sense. Seandainya dia mau jujur mengatakan alasannya mengacuhkanku, aku takkan berharap bisa akrab dengannya seperti dulu, akan kukubur kenangan masa kecil kami. Tidak sepantasnya aku merindukannya. Entahlah. Mendadak kepalaku sakit hanya memikirkan masalah ini. Beberapa minggu berpikir, tak juga mendapat jawaban. Such wasting time. Kuputuskan berjalan ke arah lain. Biar saja Lia dengan urusannya sendiri. Kalau dia tak mau mengatakan alasannya, aku akan berhenti mengejar, that's it! Persetan dengan masa lalu kami! Masa kecil kami, masa lalu kami, itu dulu. Sekarang kami tak lagi sama. As you wish, Lia! ***** Jam kosong 1 jam ke depan sebelum mata kuliah berikutnya, kuhabiskan dengan berdiam diri di salah satu sudut cafe kampus. Sebenarnya aku lebih suka berada di perpustakaan, menghabiskan waktu dengan membaca buku, tapi tidak untuk kali ini, aku malas bertemu Lia. Sudah kuputuskan untuk tidak peduli lagi padanya. Kemarin ketika berangkat ke kampus, aku melihat Lia sedang berjalan kaki sedangkan aku bersepeda. Sengaja kukayuh pedal sepeda lebih cepat untuk menyalipnya tanpa menyapa. Sudah tak sudi menjatuhkan harga diriku hanya untuk mendekatinya. Kami jadi seperti orang asing yang tak saling kenal. Sejujurnya, aku tak suka dengan situasi seperti ini. Padahal dulu kami selalu bersama, tidak terpisahkan. Ketika Lia sakit, aku menungguinya di samping tempat tidur untuk bercerita hal-hal yang menyenangkan agar dia segera sembuh, sampai menjelang malam. Keesokan harinya, ganti aku yang sakit. Mama sangat marah hingga menghukumku tidak boleh bermain dengan Lia atau teman-teman yang lain sampai sembuh. Sedangkan Lia bersikeras menemuiku meskipun dilarang oleh Umminya. Karena letak dinding rumah kami yang saling berdempetan aku bisa mendengar suaranya yang menangis, tantrum dan mengamuk karena ingin menemuiku. Mendengar Lia menangis, aku juga ikut menangis, hingga mama semakin murka. Tanpa sadar bibirku membentuk garis lengkung, tersenyum mengingat peristiwa itu. "Hei, ada yang lucu?" tanya seorang laki-laki bertubuh dan wajah di atas rata-rata, tapi masih berada di bawahku. Entah sejak kapan dia duduk di depanku. Seketika kuurungkan senyum menggantinya dengan kernyitan dahi. Aku tidak suka pada laki-laki ini Fahri Abdu Said, teman satu SMP dan SMA Lia. Dia yang kulihat sedang berbicara dengan Lia di depan perpustakaan kampus. Dia yang bisa membuat Lia berbicara santai, bahkan tertawa. Dia yang kuduga pacar Lia. Na'asnya, dia sekarang satu jurusan denganku, satu tingkat yang sama denganku, Sial! "Who the hell are you?" tanyaku sinis. Aku bersedekap lalu membuang muka, malas melihat wajahnya. "Hell?" Dia terkekeh."Come on, you know who i am. Kita satu kelas angkatan, Bro. Keterlaluan kalo kamu tidak mengenalku." lanjutnya bertingkah sok akrab padaku. "Aku merasa tak mengenalmu" kataku datar lalu ditanggapi dengan dengkusan sinisnya. "Kamu tidak mengenalku. tapi aku sudah mengenalmu jauh sebelum kita sekelas." Ucapannya membuatku menoleh penasaran. Apa maksudnya dia mengenalku jauh sebelum ini? Seingatku, kami tidak pernah bertemu sebelum masa kuliah ini. Kulihat, dia tersenyum dengan raut wajah menjengkelkan. "Kapan kita pernah bertemu?" tanyaku penasaran. "Not in person. Dari cerita-cerita Lia. Not a single day i've passed without story about you. Andrew ginilah, Andrew gitulah." Dia menirukan mimik muka dan gerak bibir Lia. Laki-laki ini terlihat semakin menjijikkan di mataku. Tapi aku masih menatapnya serius, memastikan apa yang dia katakan benar, bukan sekedar iseng. "You're such pain in the ass," dengkusnya kesal. "Dengar. Jangan bertele-tele. Langsung saja terangkan, apa maksudmu mendatangiku kemari?" Aku malas meladeni ocehannya. "Maksudku, jangan merasa senang dulu, aku tidak akan menyerah." jelasnya "You declare me a war?" Aku berusaha memperingkas kalimatnya agar waktuku tidak terbuang sia-sia dengan makhluk aneh ini. "Exactly. I'm declaring a war. Watchout you, dude." katanya membentuk sebuah isyarat dengan dua jari diarahkan pada matanya lalu di arahkan padaku dan berdiri untuk pergi meninggalkanku. Orang gila. Entah aku harus senang atau kesal dengan deklarasi perangnya. Senang, ternyata dia bukan pacar Lia, berarti dugaanku salah. Dan kesal, karena sepertinya dia menyukai Lia. Apa aku harus bersaing dengan orang bodoh seperti dia? Yang jelas, aku harus menemui Lia untuk meminta penjelasan. Takkan kubiarkan dia lari lagi dariku, sampai memberiku jawaban pasti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD