The Past

744 Words
Aulia POV "Assalamu'alaikum." sapaku ketika memasuki pintu rumah, baru pulang dari kampus. Setelah melepas sepatu, aku berjalan menuju lemari es, membuka pintunya kemudian meraih tumbler milikku, duduk berjongkok dan mulai meneguk air es dingin yang seketika memuaskan dahaga. Alhamdulillah, lega rasanya. Setelah berjalan kaki berpanas-panasan, air es mampu menyegarkan tenggorokanku yang kering. "Wa'alaikumsalam. Subhanallah, Liaa. Anak gadis kok minumnya jongkok, duduk Nak, duduuk." protes Ummi, menggelengkan kepala keheranan melihat tingkahku yang slebor. "Keburu haus, Umm." jawabku jujur setelah mengembalikan tumbler ke dalam lemari es. Aku berdiri lalu berjalan menuju meja makan dan membuka tudung saji. Saat melihat semur jengkol kesukaanku, seketika mataku terbelalak senang, "Waaa ... Ummi, aku makan sekarang ya," ucapku meminta ijin dengan riang. "Iya, makanlah. Habis makan, Ummi minta tolong kamu anterin semur jengkol ini ke rumah Andrew ya. Dia pasti kangen semur jengkol buatan Ummi.'" kata Ummi tersenyum senang sembari menenteng rantang enamel bermotif bunga-bunga yang berisi semur jengkol. Mataku melotot mendengar ucapan Ummi. Mengantar semur jengkol ke rumah Andrew? Mana mungkin aku bisa? Dia sedang mengacuhkanku. Tempo hari saat aku berangkat ke kampus, dia bersepeda menyalipku, tanpa menyapaku sama sekali. Kalau aku ke rumahnya sekarang, takut ditolak. Apalagi alasannya mengantar semur jengkol. Bagaimana jika kesukaannya pada semur jengkol berubah setelah 6 tahun tinggal di Canada? Dia jadi membenci jengkol lagi seperti waktu kecil dulu. Tidak! Itu terlalu memalukan! "Kok malah bengong? Ayo makan, terus anterin ini ke rumah tante Elliana." kata Ummi, memasukkan rantang ke dalam kresek hitam, kemudian meletakkannya di meja makan. "Maaf, Ummi. Lia capek. mau istirahat di kamar. Semurnya biar dianter kak Fandi aja, ya." kataku mengurungkan niat untuk memakan semur jengkol masakan Ummi, karena nafsu makanku mendadak sirna. "Lho, nggak jadi makan? makan dulu, Lia." kata Ummi dengan tatapan cemas. "Nanti, Umm. Lia ngantuk." jawabku menaiki lantai atas menuju kamarku. ***** Aku meletakkan tas yang sedari tadi terselempang di pundak, lalu membanting diri di kasur dan mendesah panjang. Aku sudah membuat Andrew marah, hingga dia mengacuhkanku. Setiap kali kami berpapasan, dia menganggap kehadiranku tidak pernah ada. Aku yang menyebabkan hubungan pertemanan kami menjadi seperti ini. Sejak kami bertemu untuk pertama kalinya setelah berpisah selama 6 tahun, aku terus-menerus menghindarinya. Kucoba untuk bersikap normal, tapi tidak bisa. Jantungku berdegup kencang, gugup dan salah tingkah setiap berada di dekatnya. Berkali-kali berusaha kubingkai sosok Andrew kecil yang biasa kukenal dulu, yang selalu akrab dan dekat denganku. Tapi ketika berhadapan dengan Andrew sekarang, buyar sudah bayangan masa kecil itu. Kini dia berubah menjadi sosok pria dewasa yang sangat tampan. Bukan lagi anak kecil yang bisa berpelukan denganku tanpa rasa malu dan canggung, bukan lagi anak kecil yang bisa kuajak berlari-larian tanpa mengenal tempat, bukan lagi anak kecil yang bisa diam-diam kubagi permen bergantian dari mulut ke mulut -itu yang membuat kami sering tertular penyakit satu sama lain, karena transfer bakteri-, dia bukan lagi sosok Andrew yang kukenal dulu. Hhhh ... Sekali lagi, kuhela napas berat. Astaghfirullah, ampuni aku, Ya Allah. Sebulan ini pikiranku penuh dengan Andrew. Sudah berusaha menghindar, tapi mustahil karena rumah kami berdekatan, hampir setiap pagi kami berpapasan di pintu pagar untuk berangkat ke kampus karena tempat kuliah kami pun sama. Ya, Rabb. Aku bangkit, merapikan kerudung lalu beranjak dari kasur untuk berjalan menuju jendela. Dari balik gorden aku mengintip halaman depan rumah Andrew. Ada Ummi yang sedang asyik berbicara dengan tante Elliana, mamanya Andrew. Pikiranku menerawang jauh pada masa lalu ketika aku sakit, Andrew selalu menemaniku di kamar ini. bercerita banyak hal lucu yang membuatku jadi bersemangat untuk sembuh. Berulang kali Ummi menyuruhnya pulang, tapi Andrew bersikeras menungguku, berharap aku bisa langsung sembuh sampai Ummi kebingungan bagaimana membujuknya pulang. Ketika aku sudah pulas tidur, baru dia pulang. itupun sudah menjelang maghrib. Dan keesokan harinya, ganti dia yang sakit tertular aku, dan mamanya menghukum untuk tidak bermain denganku hingga dia sembuh. Lalu aku yang sudah membaik, ingin menemuinya dan memberinya semangat agar segera sembuh, sama seperti yang dilakukannya padaku. Tapi Ummi melarang, mengunci semua pintu, dan menyembunyikan kuncinya agar aku tak tertular penyakit Andrew lagi, dan itu membuatku menangis tantrum, bersikeras ingin bertemu Andrew. Aku tersenyum mengingat masa lalu kami. Tanpa kusadari, mataku tertuju pada sosok Andrew yang sedang berjalan menuntun sepeda, sepertinya baru pulang dari kampus. Kemudian tiba-tiba dia berhenti, mendongak, dan.. melihatku? Mata kami bertemu! "MasyaaAllah!" Aku terpekik, buru-buru menutup gorden lalu kubekap mulutku, panik. Astaghfirullah.. Astagfirullah.. Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia berpikir aku sengaja mengintipnya dari balik gorden? Padahal tadi dia tidak ada disana, hanya ada Ummi dan tante Elliana yang sedang berbincang. Kenapa tiba-tiba dia muncul? "Tidaakk...!" Aku berlari, membenamkan diri di kasur, menutup kepalaku dengan bantal. Aku malu, Ya Allah. Malu sekali. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD