A Girl Named Maria

1305 Words
Andrew's POV Usai mata kuliah terakhir, kepalaku terasa semakin berat. Entah terlalu banyak berpikir tentang Lia atau memang karena sedang tidak enak badan. Kuputuskan untuk segera pulang. Keluar dari gedung teknik, kupicingkan mata, silau. Aku berhenti sebentar untuk meredam rasa pening yang semakin menjalar. "Are You Okay, Dude?" Seseorang menabrakku dari belakang, lalu memberikan tatapan meremehkan. Fahri. Aku benar-benar tidak suka laki-laki yang punya kebiasaan menabrakku ini. "As if you care," gumamku malas, menutup kepala dengan hoodie kaos, dan melanjutkan langkah tanpa memedulikan si sinting yang berjalan entah kemana. Dalam perjalanan menuju tempat parkir sepeda, aku melewati segerombolan gadis yang sedang berkasak-kusuk dan tertawa cekikikan melihatku. Bukan sombong, pemandangan seperti ini sering kulihat di Ottawa maupun di kampus ini sejak pertama kali datang. Aku sudah menjadi bahan pergunjingan mereka. Wajar saja, cowok blasteran sepertiku masih jarang ditemui di sini. Tanpa peduli, aku terus berjalan mengabaikan mereka. "Andrew!" Seseorang memanggilku. Aku menghentikan langkah untuk berbalik ke arah suara. Seorang perempuan salah satu dari mereka sedang berjalan menuju padaku lalu tersenyum. "Ya?" tanyaku mengernyitkan dahi, merasa tak mengenalnya. "Hai, kenalkan, aku Maria." katanya sambil mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya dengan senyum yang terpaksa, karena masih menahan rasa pening di kepala. Setelah kami melepas jabatan tangan, dia bercerita profil singkatnya, jurusan hukum, kakak kelas tingkat setahun di atasku, beragama Katolik, agama yang sama denganku. Dia mengenalku dari rumor yang tengah beredar luas, bahwa aku dinilai sebagai cowok terkeren di kampus ini. Aku tersenyum ketika mendengar dia bercerita seperti itu. "Aku senang, ternyata kamu seiman denganku eh, dengan kami maksudnya." katanya melempar pandangan pada gerombolan gadis-gadis tadi, sekitar 4 orang, 5 termasuk Maria. Mereka semua beragama Katolik. Dari ke-limanya, Maria yang paling terlihat. Berambut panjang lurus kuning kecoklatan. Berpawakan tinggi langsing, berkulit putih, bergaya busana girly dan make-up ala artis Korea kekinian. "Minggu depan, hari Sabtu sampai Minggu, Keluarga Mahasiswa Katolik mengadakan acara retret di Tumpang. Kami harap, kamu bisa ikut." Dia mengerluarkan selembar kertas dari map yang dipegangnya. "Ini, isi formulirnya, ya. kalau sudah kamu isi, serahkan padaku. Nomor hpku ada di bagian bawah formulir ini." ucapnya sambil menyodorkan selembar formulir itu padaku. Kuambil formulir dari tangannya, menyisir isinya sebentar, lalu memasukkan ke dalam tas. "Akan kuhubungi jika berminat ikut, thank's." balasku tersenyum. Maria mengangguk, lalu berpamitan dan berlari kembali pada teman-temannya. kulanjutkan perjalananku menuju tempat parkir sepeda. ***** Aku mengayuh sepeda lebih cepat, sial! Sakitnya semakin menjalar. Kalau aku tumbang dan dilihat banyak orang, apalagi Fahri atau bahkan Lia, akan sangat memalukan! Ketika berbelok memasuki gerbang depan cluster rumah, aku merasa ada cairan jatuh di kaos. Hujankah? Tapi ketika kulihat cairan itu berwarna merah! Tangangku meraba hidung, sial! Aku mimisan. Pantas saja seharian ini kepalaku terasa pusing. Turun dari sepeda, kuambil saputangan dari saku celana. Lalu menundukkan kepala agar darahnya tidak menyumbat batang hidungku. Akan sangat menyedihkan jika Lia melihat hal memalukan ini. Dia pasti akan menganggapku laki-laki berpenyakitan yang tidak bisa diandalkan. Tidak, aku bukan laki-laki lemah seperti itu. Beberapa saat aku menunggu hingga darahnya berhenti mengalir lalu setelah yakin sudah berhenti, kulanjutkan langkah dengan satu tangan menuntun sepeda. Dari kejauhan kulihat mama dan tante Najwa, Umminya Lia, sedang berbincang-bincang di halaman rumahku. Aku berhenti sejenak di depan rumah Lia untuk membersihkan darah yang masih tersisa. Untung darahnya sudah berhenti. Harus segera kumasukkan lagi saputangan ini ke dalam saku celana. Aku tidak mau mereka berisik karena khawatir padaku. Ibu-ibu yang sedang panik biasanya mengerikan. Sebelum masuk ke halaman rumah, iseng kudongakkan kepala pada jendela kamar Lia, berharap bisa melihat sosok yang selama ini menghindariku. Dan ternyata benar, aku melihat Lia sedang mengintipku dari balik gorden. Dia terkejut, buru-buru bersembunyi di balik gorden. Rasanya ingin kujatuhkan sepedaku, dan berlari ke kamarnya untuk menanyakan alasan menghindariku seperti ini. Cih. Tak perlu. Aku sudah memutuskan untuk tidak menunjukkan sikap putus asa seperti itu padanya. Tapi nanti saat kondisiku sudah membaik, tak akan kuijinkan dia berlari menghindariku lagi. Tunggu saja, Lia. ***** Aku membuka mata, berusaha mengumpulkan kesadaran ketika mendengar pintu kamar diketuk dan suara mama memanggilku. Kupaksa tubuhku bangun untuk duduk sebentar di tepian kasur. Sekitarku gelap, hanya diterangi lampu jalan yang terlihat dari luar kaca jendela. Tanganku terjulur untuk menyalakan lampu baca di atas nakas, dan melihat jam waker digital menunjukkan angka 21:00, itu artinya sudah 3 jam aku tertidur. "Andrew, Honey.. are you okay?" tanya mama, dari balik pintu kamar. Aku berdiri, menyeret langkah, lalu memutar kunci untuk membuka pintu. Ya, aku selalu mengunci pintu kamarku, karena tidak suka privasiku diusik, meskipun oleh mamaku sendiri. "I'm okay, Mom," kataku tersenyum, setelah membuka pintu. "Really? But what is this?" Mama membuka lebar saputanganku yang penuh darah. "I found this just now, when i was about to wash your trousers. Don't you think we should go to see a doctor?" Wajah mama terlihat cemas. "No. I'm okay, it was just a heat stroke, nothing more," kataku menenangkannya. "I'm worried, last time was about a month ago, before we moved here, your nose was bleeding too, right?" Mama masih menatapku cemas. Kecemasannya yang tidak mereda ini disebabkan karena aku sering mengabaikan ajakannya ke dokter untuk memeriksa kondisiku yang sering mimisan waktu di Canada kemarin. "Besok mama anterin kamu ke rumah sakit, ya." lanjutnya dengan tatapan memaksa. "Besok aku sibuk, Ma. Ada workshop, beli buku Fisika, terus ...." Belum selesai aku bicara, mama menutup mulutku dengan tangannya. "Kalau nggak sibuk ya capek, terus kapan kamu mau ke dokter?" tanyanya kesal. Kuangkat tangannya pelan-pelan dari mulutku "But, i'm really Ok, Mom." ucapku berusaha meyakinkannya lagi. "I don't trust you, pokoknya besok mama jemput kamu di kampus, kita ke rumah sakit, titik!" tegasnya benar-benar kesal, ia tak mau kesehatanku dianggap sebagai hal yang remeh. "Ok, fine." Aku mengangkat kedua tangan, menyerah dengan paksaan mama. Melihatku seperti itu, mama tersenyum lega. "Aren't you hungry?" tanya mama mengajakku makan, dan detik itu baru kusadari bahwa perutku sedang dilanda kelaparan akut. "I'm dying to eat. Did you cook for me?" Satu tanganku mengusap perut. "No. Don't you remember? Tante Najwa gave us semur jengkol, you greeted her when she was here." Mama sudah mengubah moodnya menjadi senang. "Oh, yes. I remember. Wow, semur jengkol." jawabku antusias. "Bule suka jengkol itu ya kamu" ledek mama tertawa. Ya, aneh memang.. Kalau gadis-gadis di kampus tadi, terutama Maria, tahu aku suka makan jengkol, mereka pasti hilang selera padaku, haha.. But who cares? Aku suka semur jengkol buatan tante Najwa sejak berumur 7 tahun. Berawal dari keherananku pada jengkol. Makanan berbau busuk seperti itu kenapa ada yang mau makan? Dan rasa heranku itu berakhir dengan paksaan dari Lia, mencekoki-ku semur jengkol sampai muntah. Di lain waktu, Lia memaksaku lagi dan aku muntah lagi. Begitu seterusnya, berturut-turut kuhitung sampai 10 kali, dan benar saja, Magic 10, paksaan ke sepuluh, aku sudah ketagihan semur jengkol, haha, Gila! Puk! Tiba-tiba mama menepuk pipiku, pelan tapi cukup membuatku tersadar dari lamunan masa kecilku. "What's wrong, mom?" tanyaku masih mengulas senyum. "What's wrong with you? Diajak ngobrol kok malah senyum-senyum sendiri," dengkus mama kesal. Sambil mengusap pipi, aku cengengesan menanggapi pertanyaan mama. Lalu menyuap sendokan yang kelima sambil melanjutkan obrolan dengan mama, menghabiskan waktu bersama dengannya. Terdengar mengenaskan, tapi aku tak punya teman hang out di kota ini. Lia yang kuanggap satu-satunya sahabat, sedang mati-matian menghindariku. Dan aku juga belum punya teman akrab yang bisa kuajak melakukan hal gila bersama. Ada sebenarnya, kak Fandi. Tapi dia selalu sibuk bekerja, aku merasa tak enak hati kalau terus-terusan mengganggunya. Dan aku juga tak punya saudara. Karena aku anak semata wayang dari mama dan papa. Mama pernah bercerita, dulu setiap kali hamil selalu keguguran, disebabkan rhesus darah yang berbeda dengan janin. Kemudian setelah melakukan banyak perawatan dan pemantauan dari dokter, aku satu-satunya kehamilan yang bisa dipertahankan. Oleh sebab itu, dulu mama mengekangku dan sangat overprotective, membuatku menjadi anak yang introvert, susah bergaul dengan anak-anak di sekitar sini. Hanya Lia dan kak Fandi yang diperbolehkan bergaul denganku karena rumah kami berdekatan. Dengan latar belakang seperti itu, bagiku Lia adalah teman sekaligus sahabatku satu-satunya disini. Dan, kuharap hubungan kami akan segera membaik sebentar lagi. Karena jujur, aku kesepian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD