Aulia's Family Background

2403 Words
Setelah menyelesaikan raka'at terakhir sholat Maghrib, aku tidak segera beranjak dari sajadah. kutengadahkan kedua tangan di depan d**a lalu mengadu lirih pada Sang Pemilik Hati.. "Ya Allah, ampuni hamba yang mulai tertarik pada Andrew. Jika Andrew adalah cobaan keimanan hamba, maka kuatkan, jangan celakakan hamba, Ya Rabb." pintaku dengan sungguh-sungguh lalu berdzikir agar hatiku tenang, tak mau terbebani lagi masalah Andrew. "Lia, Nak. Ayo makan dulu, Sayang. dari tadi siang kamu belum makan, lho." kata Ummi, mengetuk pintu kamarku. "Iya, Umm, sebentar. Lia baru selesai sholat Maghrib." jawabku, melepas mukena lalu melipat dan membungkusnya dengan sajadah. Ketika kubuka pintu kamar, kulihat ummi sedang menatapku cemas. "Ada masalah apa, Nak? ceritakan sama Ummi." pintanya dengan tatapan sedih. Aku tersenyum, menggelengkan kepala, "Nggak ada masalah apa-apa kok, Umm. Hanya lagi bingung menghadapi Andrew." kataku jujur, tidak ingin menutupi masalahku dari Ummi. Ummi membelai kerudungku, memastikan bahwa aku baik-baik saja,"Iya, Abi Ummi lihat, sejak kedatangan Andrew, kamu jadi banyak diam dan nggak pernah cerita soal Andrew." kata Ummi yang seketika membuat tenggorokanku tercekat, kemudian bingung harus menjawab apa. "Turun yuk, kita makan dulu. Setelah itu ceritakan semuanya pada Ummi, ya." lanjutnya tersenyum, masih dengan tatapan cemas. Aku hanya bisa menganggukkan kepala, suaraku masih kelu, belum bisa keluar. Kami berdua turun ke lantai bawah. Di ruang makan, kulihat sudah ada Abi dan kak Fandi sedang duduk menungguku. Tiba-tiba aku merasa gugup. seperti narapidana yang akan dieksekusi oleh algojo. Rasa bersalahku karena sudah mengurung diri di kamar membuatku gugup. Selain itu, aku juga gugup memikirkan apa yang akan kuceritakan pada mereka nanti? Bagaimana jika mereka kecewa, putri dan adiknya yang selama ini mereka didik sesuai tuntunan Islam sedang jatuh cinta pada laki-laki yang berbeda keyakinan? Tidak, tidak. Kugelengkan kepala, mengusir cemas. Aku masih belum yakin apakah ini cinta atau hanya sekedar reaksi terkejutku melihat sosok Andrew yang telah berubah drastis. "Kok bengong, ayo duduk, Lia." kata Abi membuyarkan lamunanku. Kutarik nafas lalu mengembuskannya pelan. Bismillah.. Tenang Lia, jangan gugup. Serahkan semua pada Allah. Kemudian sambil tersenyum pada Abi dan kak Fandi aku mengambil tempat duduk di sebelah kak Fandi, "Maaf sudah membuat kalian menunggu lama." kataku berusaha bersikap normal dan menekan rasa gugup. "Hehe.. Takut ya diinterogasi Abi Ummi soal Andrew?" Kak Fandi menggodaku dengan wajah yang jahil. "??!!!!?!?!" Aku terpekik tertahan dan seketika melotot tak suka dengan ucapannya. Tapi malah justru dia balas dengan tawa yang kurang ajar. "Apa sih? Memangnya ada apa aku sama dia?" tanyaku mengelak. Kupaksa wajahku untuk berekspresi senormal mungkin. Menyebalkan! Dia selalu tahu titik lemahku, seolah-olah dia itu pengeras suara yang sewaktu-waktu akan meneriakkan semua kesalahan-kesalahanku di hadapan Abi Ummi, agar mereka tahu, dan membuatku malu. Aku tak pernah merasa aman berada di dekat kakak sialan ini. "Sudah, sudah. Ayo kita makan dulu. Kasian Ummi, udah capek-capek masak nggak dihargai." kata Abi melerai kami. Ucapan abi membuatku merasa bersalah sudah menolak semur jengkol Ummi tadi siang, aku juga menolak mengantar semur jengkol Ummi ke rumah Andrew. Kulihat Ummi sedang sibuk menyiapkan makan malam kami di dapur yang lokasinya tak jauh dari meja makan kami. Sibuk menata piring, memanaskan semur jengkol, menata gelas dan merebus air untuk membuatkan Abi secangkir kopi. Aku beranjak dari kursi, berniat untuk membantu Ummi. "Ummi, biar Lia yang bikin kopi sama menata piring, ya." Melihatku menawarkan bantuan, ummi balas tersenyum lalu mengangguk. Di sela-sela pekerjaan kami, kulirik Abi sedang membaca buku dan kak Fandi berkutat pada Hpnya. kudekati Ummi untuk kupeluk dari belakang. "Umm, maafin Lia tadi, ya. Lia nolak nganterin semur jengkol Ummi ke rumah tante Elliana, Lia juga nolak makan semur jengkol Ummi yang enak banget." Ummi terkekeh, mengusap-usap punggung tanganku. "Nggak apa-apa, Sayang. Ummi tahu Lia sedang galau memikirkan sesuatu." ucapnya dengan nada lembut yang menentramkan hatiku. "Janji ya, nanti Lia harus cerita sama Ummi apa yang bikin Lia galau?" bisik Ummi lirih, seolah tak ingin suaranya didengar Abi dan kak Fandi. mungkin Ummi paham, aku belum siap menceritakan kegundahanku pada mereka. Aku mengangguk, melepaskan pelukan, kemudian ummi berbalik menghadapku, lalu membelai pipiku, "Jangan takut, serahkan semua pada Allah. Sebaik-baik penolong adalah Allah. Hasbunallah wani'mal wakil ni'mal maula wani'man nasir." Mendengar perkataan Ummi dan merasakan belaian halus tangannya, air mataku tergenang oleh bulir-bulirnya yang siap meluncur di pipi. Ya Rabb, rasanya sudah tidak tahan ingin menangis. Aku segera mengusap air mata dengan ujung kerudung, agar tidak membuat Abi cemas, dan kak Fandi curiga. Ummi menyuruhku membasuh wajah di wastafel di sudut ruang makan. Aku mengangguk, lalu berjalan tertunduk menuju wastafel, segera kubasuh wajahku agar jejak air mataku tidak lagi terlihat. Aku berkaca sebentar, memastikan wajahku tidak terlihat baru menangis. Katakan aku berlebihan, menangis hanya karena masalah yang belum pasti, tapi debaran jantung dan perasaan suka yang dari hari ke hari membuatku tak nyaman ini semakin menegaskan bahwa ada benih cinta yang sedang tumbuh di hatiku untuk Andrew. Padahal, selama kami berbeda keyakinan, mustahil bagiku untuk menyukai laki-laki itu. Ah sudahlah.. Lebih baik segera kukeringkan wajah dengan handuk, lalu kembali membantu Ummi. Setelah semua siap, aku dan Ummi duduk di meja makan. Abi membuka dengan doa dan kalimat basmalah, kemudian kami pun menikmati makan malam bersama. MasyaaAllah.. perut yang lapar, masakan Ummi yang lezat dan keluarga harmonis yang berkumpul bersama dalam satu tempat adalah nikmat dari Allah yang tidak akan bisa aku dustakan. Dan hatiku yang tadinya gundah karena memikirkan Andrew, barubah menjadi hangat dan tenang kembali. Alhamdulillah, Ya Allah.. Aku merasa beruntung dilahirkan dalam keluarga ini. Abi selalu menyayangi dan memuliakan Ummi. Ummi juga menyayangi dan menghormati Abi. Tidak pernah sekalipun kami melihat Abi dan Ummi bertengkar. Hanya sesekali mereka berdebat, tapi tidak sampai berteriak apalagi memukul. Ketika Abi kesal pada Ummi, beliau memilih diam sampai suasana hatinya berubah tenang, begitu pula sebaliknya. Mereka berdua selalu menyelesaikan masalah dalam rumah tangga dengan baik dan santun. Merekapun mendidik aku dan kak Fandi dengan penuh kelembutan. Tidak pernah terekam dalam memori otakku, Abi Ummi memukulku dengan cara yang kasar. Semasa kecil, jika aku berulah atau sedang tantrum parah mereka lebih memilih mengunciku di dalam kamar. Meskipun dalam teori parenting dan ilmu psikologi hal itu tidak dibenarkan, karena bisa memengaruhi kejiwaan anak. Tapi kata Ummi, hal seperti itu lebih baik, daripada Ummi ikut tersulut emosi dan kalap memukuliku. Karena Ummi bukan seorang malaikat yang tanpa emosi, tapi Ummi dibekali akal untuk berpikir cara terbaik mendidik anak-anaknya. Aku tidak pernah mengalami trauma terhadap ruangan kecil dan sempit, karena setelah mereka mengunciku dalam kamar, mereka segera memelukku dan meminta maaf lalu menjelaskan alasan mereka menghukumku. Dari situ aku jadi paham bahwa yang kulakukan salah, dan menghentikan tantrum konyolku. Sebaliknya, hubunganku dengan Kak Fandi seperti anjing dan kucing, tidak pernah akur, saling melempar kesalahan dan tanggung jawab. Ini yang sering membuatku merasa tertipu punya kakak seperti dia. Aku menganggap kak Fandi salah dilahirkan dalam keluarga kami, mungkin dia tertukar dengan Andrew. seharusnya Andrew yang jadi kakakku, dan kak Fandi yang jadi Andrew. Dengan begitu, aku tidak perlu bersusah payah menghindari Andrew dan aku pun akan mempunyai kakak yang sangat baik padaku. Astaghfirullah.. segera kutepis angan-angan itu. Sebab ketika seorang Muslim berandai-andai maka ia tengah dibisiki setan, untuk selalu berandai-andai dan tidak mau menerima kenyataan yang sedang menimpanya sehingga tidak bersyukur dengan pemberian Allah. Astaghfirullahal'adzim.. Ampuni Lia, Ya Allah.. Seburuk apapun kak Fandi, pasti dia kakak yang terbaik untuk Lia. Hanya saja sekarang, Lia belum menemukan kebaikannya. Aku melirik kak Fandi yang sedang lahap makan. Sadar sedang kulirik, dia melotot, memasang tampang galak. Aku mendengus kesal, mengalihkan pandangan. Aku tidak yakin bisa menemukan kebaikan darinya. "Alhamdulillah." Abi menutup makan malam dengan hamdalah. Aku segera beranjak dari kursi untuk membantu Ummi membersihkan meja makan. Terdengar suara adzan berkumandang. "MasyaaAllah. Sudah masuk waktu Isya'." kata Abi, beranjak dari kursi dan segera masuk ke kamar mandi, setelah Abi keluar, ganti kak Fandi yang masuk kamar mandi. Sudah menjadi kebiasaan, setelah makan dan sebelum sholat, kami menyikat gigi untuk membersihkan mulut dari sisa-sisa makanan. Dengan begitu kami bisa khusyuk sholat tanpa terganggu bau mulut. "Ayo Fandi, kita ke masjid sekarang." ajak Abi mengambil songkok dan berjalan ke depan rumah "Siap, Bi." jawab kak Fandi menyusul Abi. Setelah mereka berdua pergi menuju masjid, aku bernapas lega. seolah beban yang sedari tadi menghimpit dadaku, terlepas sedikit, hanya sedikit, karena akar masalahnya belum terselesaikan, aku masih belum menemukan solusinya. Selesai membersihkan meja sisa makan malam, Ummi membuatkanku teh bunga Peony yang sangat unik. Kuncup bunga Peony kering ditaruh di dalam cangkir kemudian dituang air panas, setelah beberapa menit kuncup bunga Peony tersebut mekar membesar memenuhi cangkir. Indah sekali. "Bagus bangeeet, Ummiii..!!" pekikku girang, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru. Ummi tertawa melihatku kegirangan. "Nggak usah pakai gula sudah enak banget. Coba minum." kata Ummi sambil meminum tehnya. Akupun mencoba meminumnya, wow.. rasanya enak, hangat menenangkan dan aromanya wangi. Meskipun tanpa gula, ada terselip sedikit rasa manis, asam dan didominasi rasa hambar namun pas dengan hangatnya air. Teh ini memberiku efek menenangkan. "Ummi beli dimana?" tanyaku penasaran. Mendengar pertanyaanku, Ummi tak langsung menjawab, terdiam sebentar lalu tersenyum. "Ummi nggak beli, ini dikasih Andrew. Oleh-oleh dari Canada." jawab Ummi yang membuat jantungku kembali berdebar. Hanya dengan mendengar namanya saja, hatiku menjadi tidak tenang. Telingaku selalu ingin mendengar namanya disebut karena bibirku tidak sanggup menyebutnya, seolah tabu untuk kusebut, membuatku bingung dan gelisah. "Beberapa hari yang lalu dia datang kemari. Sudah berkali-kali berusaha menemuimu untuk memberikan teh ini, tapi kamu selalu menghindar. Jadi dia titipkan pada Ummi." kata Ummi membuat jantungku semakin berdebar. Aku diam, memandangi bunga di dalam cangkir teh yang kupegang. kelopak-kelopaknya bergerak gemulai, seolah sedang menari dalam air karena cangkirnya kuputar ke kiri dan ke kanan. Aku merasa, bunga ini sama sepertiku, dan cangkirnya adalah Andrew. Dia membuatku menari dalam kebimbangan, mengendalikan perasaanku, membelai lembut hatiku namun membelengguku dalam dosa yang indah, membuatku benar-benar tak berdaya. Ah.. sejak kapan aku jadi puitis melankolis seperti ini? "Kalau kamu nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa. Ummi tunggu kapanpun kamu siap cerita." kata Ummi memahami kegundahanku. Sebenarnya, aku merasa enggan bercerita, entahlah.. semacam ingin kusembunyikan pada dunia perasaanku pada Andrew. karena aku tahu perasaan ini terlarang. Tapi jika kutunda-tunda, akan ada beban yang selalu membuat berat langkahku. Sampai kapan akan terus seperti ini? "Aku bingung, Umm." kataku membuka cerita, Ummi diam, menunggu kalimat berikutnya meluncur dari lidahku. "Sejak sebulan yang lalu, saat aku dan Andrew kembali bertemu, aku kaget melihat dia yang sudah tumbuh dewasa." lanjutku. Ummi mengernyitkan dahi, seperti ingin berkata sesuatu tapi ditahan, kemudian memberiku isyarat agar melanjutkan cerita. Ragu-ragu kulanjutkan bercerita,"Aku bingung harus bersikap bagaimana pada Andrew. Dia sudah dewasa, tidak seperti ketika kami kecil dulu, sekarang aku sadar dia bukan mahramku. kami sudah tidak bisa seakrab dulu. Tapi Andrew terus mengejarku, menanyakan pertanyaan-pertanyaan konyol yang membuatku kesal. sampai akhirnya dia menjauh." aku berhenti sebentar, mengatur napas dan menghalau gugup, tak mudah berkata jujur seperti ini pada ummi,"kami sekarang seperti dua orang yang tidak saling kenal." lanjutku. Aku menunduk malu, tidak berani menatap Ummi. Tapi karena tak kudengar sepatah katapun darinya, aku mendongak, untuk meminta tanggapan dari Ummi. "Terus? Sudah ceritanya?" tanya Ummi memastikan. Aku mengangguk. Ummi tersenyum, meneguk teh, lalu meletakkan kembali cangkirnya ke lapik di atas meja. "Wajar kalo kamu terkejut dengan perubahan penampilannya yang super ganteng seperti Brad Pitt jaman muda dulu, hahaha.." kata Ummi terbahak, membuatku yang tadinya malu menjadi terkejut melihatnya tertawa. "Ummi.. Ih.. serius, nih" protesku. Ummi masih terbahak hingga batuk-batuk, berusaha meredam tawanya, lalu menghela napas.. "Iya, serius.. Kalau Ummi saja kaget, apalagi kamu. Sangat wajar. Apalagi kamu sedang masa puber, suka melihat yang ganteng-ganteng, ya kan?" lanjut Ummi tak berhenti menggodaku, aku kembali tersipu malu. "Tapi Ummi yakin, anak Ummi yang sholehah ini sudah ber-ghadul bashar, menjaga pandangan mata dari yang ganteng-ganteng. Ya, kan?" tanya Ummi retoris, tidak membutuhkan jawabanku. Meskipun aku tak yakin, sudah benar-benar menjaga pandangan dari yang bukan mahram atau belum. Karena beberapa kali sempat tidak sengaja melihat jelas wajah Andrew, sehingga jantungku berdebar tak karuan. "Wajar kalau Andrew kecewa padamu. Setelah sekian lama kalian tidak bertemu, tanggapanmu malah acuh tak acuh seperti itu. Kenapa tak kamu jelaskan, kalau kondisimu sekarang berbeda dengan waktu kecil dulu?" tanya Ummi dengan tatapan lembut. "Aku tidak tahu cara menjelaskannya, Umm. Kita berbeda keyakinan. Bagaimana kalau penjelasanku nanti akan membuatnya marah dan tersinggung?" tanyaku menyampaikan kegundahan hati. Hal itu yang selama ini membuatku cemas, ingin menjelaskan pada Andrew tentang kondisiku sekarang, sebagai seorang Muslimah yang harus menjaga jarak dengan lawan jenis, tapi tak tahu bagaimana cara menjelaskan padanya. "Lho, mengapa tersinggung? Apa Andrew juga tersinggung kita memeluk agama Islam?" tanya Ummi mengangkat satu alisnya. "Tidak, kan? Kalau dia tidak tersinggung karena kamu beragama Islam, pastinya dia juga tidak akan tersinggung jika kamu menjelaskan dengan baik apa yang kamu lakukan itu sesuai dengan ajaran Islam." jelas Ummi yang kutanggapi dengan manggut-manggut mengerti. "Tapi, Umm. Bagaimana aku bisa menjelaskan padanya kalau bertemu dengannya saja sudah membuatku gugup?" tanyaku jujur, mulai bisa menyuarakan isi hati karena sudah tidak secanggung tadi. "Allahu Akbar. Kamu hidup di zaman apa, Nak? Jaman yang sudah canggih seperti sekarang ini kan bisa berkirim pesan lewat w******p, telegram, Line atau apalah itu aplikasi kekinian. Biasanya lewat tulisan malah bisa lebih lengkap penjelasannya, karena kamu tidak perlu gugup melihat wajahnya. Ya, kan?" jelas Ummi yang membuatku merasa menjadi anak yang terlahir dari jaman batu. "Tapi aku tak punya nomor hp nya, Umm." jawabku sedikit kesal. Ummi merogoh saku gamisnya untuk mengeluarkan HP, kemudian menggeser layar, dan mulai mengetik sesuatu,"Ini." ucapnya memberikan Hp itu padaku. "????!!!" Pekikku tertahan ketika melihat layar hp Ummi yang sedang menampakkan foto profile Andrew di w******p. Dalam foto itu, Andrew memakai hoodie abu-abu dan tangannya yang memakai jam sedang menutupi mulutnya menggunakan bagian depan kaos. Matanya yang berwarna kuning kecoklatan itu sedang menatapku intense, seolah menyeretku masuk ke dalam pelukannya. Seketika suhu tubuhku jadi tidak normal, kembali panas dingin tak karuan. Astagfirullah.. Segera kukembalikan Hp itu pada Ummi. "Lia minta tolong Ummi kirimkan nomer Hpnya ke w******p Lia ya, Umm." kataku merogoh saku gamis, mengambil Hp sambil mengatur kembali debaran jantungku. Kalau begini terus, lama-lama aku bisa mati jantungan. Duh, Ya Allah.. "Tunggu, Ummi kirim sekarang" Tak berapa lama, pesan dari Ummi muncul di layar Hp ku. Segera kusimpan nomor Andrew dan menutup layar Hpku secepat mungkin, takut kembali terseret ke dalam zina mata. Debaran jantung yang tidak beraturan ini semakin menegaskanku bahwa aku bukan lagi anak polos yang tidak mengenal cinta. Aku sadar, perasaanku pada Andrew sudah berubah menjadi cinta. Meskipun berulang kali kutepis, tapi perasaan ini terus berkembang semakin kuat. Ingin kuceritakan hal ini pada ummi, tapi aku takut. "Ummi.." kataku ragu-ragu, masih menimbang, haruskah kuceritakan pada Ummi atau kupendam sendiri? "Assalamu'alaikum." Namun dari teras rumah terdengar suara salam dari Abi dan kak Fandi yang baru saja pulang dari masjid. "Wa'alaikumsalam." Aku dan Ummi membalas salam mereka secara bersamaan. Kuurungkan niat untuk bercerita pada Ummi. Perasaan cintaku pada Andrew ini, mungkin harus kusimpan rapat-rapat di dalam hati. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD